HUJAN DI UJUNG INGATAN
Karya: Nelly Amalia
Hujan pertama di bulan Juni datang seperti tamu lama yang tahu kapan waktu paling sunyi tiba. Ia turun perlahan-lahan, mengetuk genteng, daun, dan dada-dada yang belum benar-benar pulih. Bagi sebagian orang, hujan adalah penyejuk bumi. Tetapi bagi Aira, hujan adalah lorong kenangan, tempat suara-suara yang telah lama hilang kembali berbisik.
Hari itu, langit menggantungkan awan kelabu tepat di atas rumah tua milik almarhumah neneknya. Rumah yang kini seperti hidup kembali hanya karena Aira memutuskan pulang setelah lima tahun menghindar dari suara hujan, aroma tanah basah, dan bayangan masa lalu.
Aira berdiri di depan jendela, memandangi rintik-rintik yang mulai menari di udara. Ada rasa asing yang menyusup ke relungnya. Rasa yang dulu begitu akrab rindu, kehilangan, dan sedikit sesal yang belum selesai dicerna.
Di balik bayangan kaca, ia melihat dirinya yang berumur delapan tahun. Berlari-lari kecil di halaman bersama Ibu, berusaha menangkap air hujan dengan telapak tangan mungilnya. Ibu tertawa, sambil membawa handuk dan payung, lalu menjemput Aira ke dalam pelukannya yang hangat dan harum seperti kayu manis. Di dalam rumah, mereka akan membuat teh jahe dan menghangatkan diri di depan perapian buatan. Kadang sambil membaca puisi, kadang hanya duduk diam, mendengarkan hujan.
“Aira,” kata Ibu suatu ketika, “hidup akan punya banyak hujan. Kadang deras, kadang rintik kecil yang nyaris tak terdengar. Tapi kau harus tahu, setiap hujan punya alasan. Dan selalu, selalu ada pelangi setelahnya, meski tak selalu terlihat.”
Kata-kata itu selalu Aira ingat. Tetapi semua maknanya lenyap pada hari hujan yang terakhir, saat Ibu pergi tanpa sempat pamit.
Hujan hari itu begitu deras, seperti langit marah. Seperti semesta pun tidak rela melepaskan. Aira remaja hanya bisa menggenggam surat terakhir Ibu yang ditemukan di balik rak buku, berisi kalimat sederhana: “Maafkan Ibu, Aira. Jika satu hari nanti Ibu tak sempat kembali, ingatlah… aku tak pernah pergi dari hatimu.”
Surat itu basah oleh hujan dan air mata. Dan sejak hari itu, Aira berhenti menyukai hujan. Ia bahkan pindah ke kota yang nyaris tak pernah diguyur, hanya untuk menjauh dari semua yang membuatnya ingat. Tetapi kenangan, seperti hujan, punya caranya sendiri untuk kembali. Dan sore itu, setelah lima tahun membisu, Aira kembali berdiri di tanah tempat segalanya dimulai.
Ia melangkah pelan ke teras. Setiap suara hujan seperti memanggil namanya dalam bahasa yang hanya ia dan Ibu yang mengerti. Aroma tanah, rumput yang basah, dan angin yang membawa sisa musim, semua seolah menyusun kembali serpihan hatinya yang sempat tercecer.
Aira membuka pintu depan. Langkahnya pelan, seperti menghampiri sesuatu yang sakral. Di ruang tengah, masih tergantung foto Ibu dengan senyum yang tak pernah usang. Meja kayu masih di sana, cangkir teh keramik tua yang dulu mereka pakai pun masih utuh.
Ia duduk. Kali ini tidak untuk lari dari hujan, tetapi untuk menemuinya.
Air mata turun bersamaan dengan hujan. Tak ada lagi yang ditahan. Di dada yang selama ini penuh sesak, perlahan muncul ruang. Bukan untuk melupakan, tetapi untuk menerima. Bahwa kehilangan adalah bagian dari cinta, dan rindu tak selalu harus disembuhkan. Kadang ia hanya perlu ditemani.
Aira meraih buku harian kecilnya. Ia mulai menulis:
"Ibu, aku pulang. Maaf aku butuh waktu lama. Tapi hari ini, aku biarkan hujan bicara lagi. Aku duduk di tempat biasa kita minum teh, dan aku dengar suara Ibu di antara dentingnya. Ibu benar, hujan memang menyembuhkan, tapi hanya jika kita cukup berani untuk mendengarkan."
Lalu ia menutup buku, berjalan ke halaman rumah, dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, menari di bawah hujan.
Langkahnya pelan, nyaris seperti ziarah. Setiap jengkal tanah yang ia injak terasa penuh makna, seperti berbisik pelan: "Kau kembali, akhirnya."
Butiran air jatuh di wajahnya, membasuh luka-luka lama yang tak pernah benar-benar mengering. Ia tidak menghindar seperti dulu, tidak mencari atap untuk berteduh. Justru sebaliknya, ia menyerahkan dirinya sepenuhnya pada hujan, seperti seorang anak kecil yang akhirnya memeluk ibunya setelah tersesat terlalu lama.
Tangannya terulur ke langit. Rintik-rintik itu menyentuh jemarinya dengan kelembutan yang tak asing. Seolah langit sedang menuliskan surat dengan air, menyampaikan pesan dari seseorang yang telah lama tiada: “Nak, aku ada di sini. Di setiap hembusan angin, di setiap rintik yang jatuh ke pipimu. Aku tidak pernah benar-benar pergi.”
Hatinya mendadak ringan. Ada suara dari dalam diri yang selama ini terkubur diam-diam muncul ke permukaan suara Ibu, bukan hanya dalam ingatan, tetapi dalam kehadiran yang tak kasat mata. Ia mendengar tawa yang dulu menghiasi malam-malam hujan mereka. Ia mencium aroma jahe dan kayu manis, samar namun nyata. Ia merasa hangat di tengah dinginnya sore.
Sendiri. Tetapi tidak merasa sendiri. Karena ada pelukan tak terlihat yang membalut tubuhnya seperti selimut. Bukan pelukan dari tangan manusia, tetapi dari kenangan yang telah menjadi bagian dari darah dan napasnya. Ada getar dalam jiwanya yang menyuarakan:
"Lepaskan kesedihan, peluk yang tersisa. Karena cinta tidak mengenal kata akhir."
Ia mulai melangkah perlahan, mengitari halaman yang basah, lalu memutar satu kali, dua kali, membiarkan tubuhnya menari bebas dalam irama alam. Bukan tarian indah yang sempurna, tetapi tarian jiwa yang akhirnya merdeka. Ia menari bukan untuk terlihat, tetapi untuk merasa. Ia menari bukan untuk lupa, tetapi untuk mengingat tanpa rasa sakit.
Hujan terus turun, seperti tirai tipis yang memisahkan dunia nyata dan dunia kenangan. Di sela-sela itu, Aira berdiri: bukan sebagai gadis kecil yang kehilangan, tetapi sebagai perempuan yang perlahan mengerti bahwa kehilangan bukan akhir dari cinta, melainkan bentuk paling jujur dari keberlanjutan cinta itu sendiri.
Ada rindu yang tak bisa dilupakan, tetapi bisa diterima. Rindu yang tak butuh pelampiasan, cukup dikenang dan dirawat. Seperti hujan yang tidak meminta kita menari, tetapi selalu hadir jika kita ingin. Seperti kenangan yang tidak menuntut kita untuk lupa, tetapi hanya ingin dikenang dengan tenang.
Dan seperti cinta dari seorang Ibu yang tak pernah pergi meski tubuhnya telah kembali ke bumi. Hujan sore itu menjadi semacam sakramen bagi Aira. Ia merasa dilahirkan kembali, bukan sebagai seseorang yang meninggalkan masa lalu, tapi sebagai seseorang yang kini mampu berjalan berdampingan dengan kenangan. Tanpa takut. Tanpa luka yang terus menganga.
Hidup terus berjalan bersama kenangan, bukan melawannya.
Dan hujan? Ia akan datang lagi. Dan Aira akan menyambutnya. Tanpa tangis. Tanpa lari. Tapi dengan tangan terbuka dan hati yang akhirnya bisa berkata:
"Terima kasih, hujan. Telah menjagaku saat aku tak tahu cara menjaga diri sendiri."
Tiada ulasan:
Catat Ulasan