Ahad, 23 Mac 2025

SENJA DI UJUNG PENYESALAN

Senja di Ujung Penyesalan

Karya: Nelly Amalia

Keangkuhan dan Harapan

Di sebuah kota kecil yang tak pernah kekurangan sinar mentari, seorang gadis berlari di sepanjang trotoar kampus dengan tawa yang ringan. Rambutnya yang hitam legam melambai diterpa angin, seakan menari bersama langkahnya yang penuh percaya diri. Rania, nama yang disebut dengan kekaguman oleh banyak orang. Ia adalah mahasiswi yang cemerlang, seorang pemimpi yang tak mengenal batas.

Dosen-dosen di kampusnya mengenalnya sebagai murid yang berani beradu argumen, penuh visi, dan tak ragu dalam menyampaikan gagasannya. Di antara teman-temannya, ia adalah bintang yang bersinar terang, selalu menjadi pusat perhatian dalam setiap percakapan. Tawaran beasiswa ke luar negeri sudah menunggunya, dan jalan menuju masa depan yang gemilang terbuka luas di hadapannya.

Namun, keberlimpahan itu menumbuhkan keangkuhan dalam dirinya. Ia percaya bahwa dunia akan selalu bersabar menantinya. Tawaran-tawaran emas yang datang ia anggap bukan sebagai peluang, melainkan sebagai hal yang bisa ia pilih sesuka hati.

“Kenapa harus terburu-buru?” katanya suatu hari pada sahabatnya, Laila. “Aku punya banyak waktu. Kesempatan ini akan selalu ada.”

Laila menatapnya prihatin. “Tidak semua hal bisa menunggu, Rania. Waktu terus berjalan.”

Rania hanya tertawa. Ia merasa dirinya tak akan pernah tertinggal.

Di antara mereka yang mengelilinginya, ada satu sosok yang selalu berdiri di sisi Rania dalam diam, Adrian. Ia bukan pria yang menonjol, bukan seseorang yang selalu berada di pusat perhatian seperti Rania. Namun, dalam kesederhanaannya, ada ketulusan yang tak tergoyahkan. Sejak hari pertama mereka bertemu di bangku kuliah, Adrian telah jatuh cinta pada Rania, bukan hanya pada kecantikannya, tetapi juga pada keberanian dan kecerdasannya.

Namun, bagi Rania, Adrian hanyalah teman. Bahkan, mungkin lebih rendah dari itu. Ia adalah sosok yang membosankan, terlalu sederhana untuk dunianya yang penuh dengan ambisi besar. Ketika Adrian akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaannya, Rania hanya tersenyum tipis dan berkata, “Kau lelaki baik, Adrian. Tapi aku mencari sesuatu yang lebih.”

Dan saat itu, sesuatu di dalam diri Adrian hancur.

Waktu berlalu, dan kesempatan yang dulu ia abaikan perlahan menjauh. Ia masih merasa dirinya istimewa, merasa masih memiliki waktu. Namun, ketika ia mulai menyadari bahwa dunia tidak menunggunya, semuanya telah berubah. Sahabat-sahabatnya telah melangkah maju, Adrian telah menemukan seseorang yang menghargainya lebih dari yang pernah Rania lakukan, dan pintu-pintu yang dulu terbuka kini tertutup rapat.

Kembali ke Masa Kini

Angin berbisik lirih di antara celah jendela yang setengah terbuka, menari bersama tirai yang terkibar lembut. Di luar, langit memerah, seakan terbakar oleh matahari yang bersiap tenggelam di ufuk barat. Cahaya senja merambat perlahan ke dalam kamar sempit itu, menciptakan siluet seorang wanita yang duduk termangu di depan meja rias tua.

Wajahnya pucat, dengan garis-garis usia yang tergambar jelas di kulitnya, bagaikan jejak waktu yang terukir tanpa belas kasih. Rambutnya, yang dahulu hitam lebat berkilauan seperti arang, kini telah memutih, mencerminkan beban tahun-tahun yang telah berlalu. Tangannya gemetar saat ia menyentuh pigura berdebu di atas meja, jari-jarinya yang keriput meraba sosok gadis muda yang tersenyum cerah dalam balutan gaun putih. Gadis itu dirinya, berpuluh tahun lalu—seorang wanita yang dulu hidup dengan penuh keyakinan, menantang dunia dengan impian-impian besar yang menggantung di angkasa. Namun kini, hanya penyesalan yang tersisa.

Ia menghela napas panjang, membiarkan ingatan masa lalu menyeruak ke permukaan. Dahulu, ia bernama Rania. Seorang wanita yang memiliki segalanya, kepintaran, kecantikan, dan kesempatan emas yang terbentang luas di hadapannya. Namun, dalam kesombongan dan kebebasannya, ia meremehkan waktu, menolak kesempatan, dan melukai hati orang-orang yang mencintainya tanpa pamrih.

Mimpi yang Dihancurkan Oleh Kesombongan

Dulu, Rania adalah pusat perhatian. Ia berjalan dengan dagu terangkat, seolah dunia berputar hanya untuknya. Kecantikannya memikat, kecerdasannya mengagumkan, dan bakatnya membuat iri banyak orang. Namun, semua itu hanya menambah kesombongannya.

“Aku tidak butuh orang lain,” katanya suatu hari kepada sahabatnya, Risa, yang menegurnya karena terlalu egois. “Aku bisa mendapatkan apa pun yang aku mau, sendirian.”

Di kampus, ia sering meremehkan teman-temannya. Saat ada diskusi kelompok, ia enggan bekerja sama. “Aku tidak mau nilainya jelek karena kalian,” ucapnya dengan nada ringan, namun cukup tajam untuk menusuk perasaan.

Saat seorang dosen memuji tulisan salah satu temannya, Rania hanya tersenyum sinis. “Biasa saja. Aku bisa menulis yang lebih bagus dalam semalam,” gumamnya pelan, cukup keras agar yang lain mendengarnya.

Ia juga menertawakan mereka yang memilih jalan hidup sederhana. “Kenapa kalian begitu puas dengan hal kecil? Hidup itu untuk menjadi yang terbaik, bukan sekadar cukup.”

Namun, roda nasib berputar. Keangkuhannya membuatnya kehilangan sahabat, peluang, dan akhirnya… segalanya.

Cinta yang Ia Buang

Sore itu, di bawah langit yang mulai meredup, Andrian berdiri di depan Rania dengan mata penuh harapan. Tangannya sedikit gemetar saat ia menyodorkan sekuntum mawar merah, senyum gugup tersungging di bibirnya.

"Rania… aku sudah lama ingin mengatakan ini. Aku menyukaimu, lebih dari sekadar teman. Aku ingin menjadi seseorang yang selalu ada untukmu," ucapnya lirih namun mantap.

Rania menatap mawar di tangannya, lalu mengalihkan pandangan ke wajah Andrian. Sejurus kemudian, ia terkekeh pelan, lalu melipat tangan di dadanya. "Kamu serius, Andrian?" tanyanya dengan nada penuh ejekan.

Andrian mengangguk, matanya berbinar. "Ya, aku serius."

Alih-alih tersentuh, Rania justru menghela napas panjang, seolah permintaan itu adalah beban yang tak perlu. "Andrian, kamu itu baik, tapi… lihatlah kita. Aku dan kamu, jelas berbeda."

Andrian mengernyit. "Apa maksudmu?"

Rania tersenyum miring. "Aku ini punya masa depan cerah. Aku pintar, cantik, dan aku tidak bisa membayangkan hidupku hanya… berakhir dengan seseorang seperti kamu." Matanya menelusuri sosok Andrian, seakan menilai apakah ia layak berada di sampingnya. "Kamu bukan siapa-siapa, Andrian. Aku butuh seseorang yang selevel denganku."

Andrian terdiam, jemarinya mengerat di batang mawar yang masih ia genggam. Ada luka di matanya, tetapi Rania tak peduli. Ia hanya mendengus kecil dan menepuk bahu pemuda itu seolah menghibur seorang anak kecil yang gagal mendapatkan permen.

"Kamu pasti akan menemukan seseorang yang lebih cocok untukmu," katanya enteng, lalu melangkah pergi tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.

Mawar itu jatuh ke tanah, terinjak oleh langkah angkuhnya.

Hubungan yang Hancur dengan Keluarga

Dulu, Rania memiliki keluarga yang selalu mendukungnya. Ayah dan ibunya adalah orang-orang yang sabar, yang meski tak selalu mengerti ambisi putri mereka, tetap berada di sisinya. Mereka tak pernah mengekangnya, hanya sesekali memberikan nasihat dengan harapan Rania tak melupakan akar tempat ia berasal.

Namun, Rania tak pernah benar-benar menghargai mereka. Baginya, dunia terlalu luas untuk dijalani dengan keraguan. Ia terlalu sibuk mengejar mimpinya, melangkah semakin jauh tanpa menoleh ke belakang. Setiap kali ibunya menasihatinya tentang pentingnya menghargai kesempatan dan orang-orang di sekitarnya, ia hanya mengangguk sepintas lalu, tanpa benar-benar mendengarkan.

"Kalian tak perlu khawatir. Aku tahu apa yang aku lakukan," katanya suatu hari dengan nada meyakinkan. Ia tak sadar, di balik senyum ibunya tersimpan kekhawatiran yang tak terucapkan, dan di balik tatapan ayahnya ada kerinduan yang mulai tumbuh.

Waktu berlalu, dan Rania semakin sibuk. Kunjungannya ke rumah semakin jarang, telepon pun hanya sekadar formalitas. Hingga akhirnya, takdir berbicara. Ayahnya jatuh sakit, dan sebelum Rania sempat kembali untuk menemaninya, lelaki itu telah berpulang. Ia menyesal, namun menenangkan diri dengan berpikir bahwa setidaknya masih ada ibunya.

Namun, seperti halnya waktu yang tak bisa dihentikan, kehidupan pun terus berjalan. Ibunya yang dulu kuat mulai rapuh, suaranya yang penuh nasihat kini semakin pelan, dan akhirnya, ia juga pergi. Kali ini, Rania benar-benar sendiri.

Ketika ia ingin kembali ke rumah, rumah itu sudah kosong. Tidak ada lagi suara tawa, tidak ada lagi wangi masakan ibunya yang selalu menyambutnya. Yang tersisa hanyalah perabot tua, dinding yang diam, dan bayang-bayang masa lalu yang terus membayangi dirinya.

Dan di sanalah Rania berdiri, menatap sekeliling dengan dada yang sesak. Seandainya ia bisa mengulang waktu, mungkin ia akan lebih mendengarkan, lebih menghargai, dan lebih sering pulang. Namun kini, yang ada hanya keheningan, yang mengingatkannya pada semua yang telah ia abaikan.

Kesepian yang Menghantui

Waktu berlalu tanpa belas kasih. Tahun-tahun yang dihabiskannya dengan kesenangan semu, pesta-pesta tanpa makna, dan keasyikan mengejar sesuatu yang fana, akhirnya mengantarkannya pada satu hal yang paling ia takutkan—kesepian.

Di usia senja, ia tak memiliki siapa pun. Tak ada tangan yang menggenggamnya saat sakit, tak ada suara yang menyapanya di pagi hari. Tak ada tawa yang mengisi ruang-ruang kosong dalam hidupnya. Orang-orang yang dulu ia abaikan, satu per satu menjauh, meninggalkannya dalam kebisuan yang menyayat.

Ia mencoba mencari kembali jejak yang telah hilang. Namun, kehidupan tak memberinya kesempatan kedua. Orang-orang telah melangkah maju, menutup pintu yang pernah terbuka untuknya, dan tak ada yang menunggu seseorang yang pernah menolak mereka.

Perjalanan Menuju Kesadaran Penuh

Ia memejamkan mata, membiarkan air mata terakhirnya jatuh ke pangkuannya yang sudah renta. Tangannya gemetar saat menyentuh pigura itu, mengusap debu yang menutupi foto-foto masa lalu yang kini terasa seperti ilusi.

Di dalamnya ada wajah Adrian, pria yang dulu mencintainya tanpa syarat, yang pernah berdiri di sampingnya dalam susah dan senang, tetapi kini hanya bayangan di memorinya. Ia ingat bagaimana ia membiarkan egonya merenggut cinta mereka, bagaimana ia memilih ambisinya sendiri dan mengabaikan tangan yang selalu terulur untuknya. Adrian pergi, dan ia tak pernah kembali.

Di sudut lain pigura, ada senyum ibunya—senyum hangat yang dulu sering ia abaikan. Ibunya adalah satu-satunya orang yang selalu menerima dirinya, bahkan saat dunia menolaknya. Namun Rania terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, terlalu sibuk mengejar sesuatu yang bahkan kini tak lagi ia ingat. Hingga suatu hari, ibunya mengembuskan napas terakhir di ranjang rumah sakit, memanggil namanya dalam bisikan lemah yang tak pernah ia dengar karena ia tak ada di sana.

Dan di bagian lain, ada foto sahabat-sahabatnya. Orang-orang yang dulu selalu ada untuknya, yang dulu pernah tertawa bersamanya di bawah langit senja, yang dulu percaya bahwa Rania akan selalu menjadi bagian dari hidup mereka. Tetapi Rania meninggalkan mereka satu per satu, mengabaikan pesan-pesan yang tak sempat ia balas, menghindari pertemuan-pertemuan yang kini tak mungkin lagi terjadi.

Seketika, ia merasa napasnya menjadi berat. Bukan karena usia, bukan karena tubuhnya yang semakin lemah—tetapi karena beban di hatinya yang kian menghimpit.

Ia ingin mengulang waktu. Ia ingin kembali ke hari di mana ia masih memiliki mereka, ingin memeluk ibunya lebih erat, ingin menggenggam tangan Adrian lebih kuat, ingin tertawa sekali lagi bersama sahabat-sahabatnya tanpa rasa takut kehilangan. Tetapi waktu, seperti ombak yang surut, tak akan pernah kembali.

Dan kini, yang tersisa hanyalah dirinya—sendirian, di ruangan sempit yang dingin, ditemani hanya oleh penyesalan yang tak akan pernah membalas tatapannya.

Angin malam berbisik melalui celah jendela, membelai kulitnya yang rapuh. Di luar sana, kehidupan terus berjalan, lampu-lampu kota berkedip-kedip seperti bintang yang tak peduli pada luka di hatinya. Dunia tak berhenti hanya karena seseorang menyesal.

Ia menatap kembali kertas di atas meja rias. “Aku menyesal.”

Dua kata yang tak akan pernah cukup untuk mengembalikan semua yang telah hilang. Dan dalam sunyi yang semakin dalam, ia menyadari sesuatu: Tak ada yang lebih menyakitkan daripada menjadi satu-satunya orang yang masih mengingat semua yang telah pergi. 

Ia ingin tidur. Tetapi ia tahu, tak ada mimpi yang akan menyelamatkannya dari kenyataan ini. Dan perlahan, dalam keheningan yang mencekam, malam pun menelannya.

*****

YA RAB, KEKALKAN KESUCIAN IMANKU

 YA RAB, KEKALKAN KESUCIAN IMANKU 

Oleh: Mohd Rani Mohd Tahir


Saat diri diasak pawana dosa 

melayang ligat di minda nafsu

kucuba bersahabat dengan waktu

memercik wuduk menjernih jiwa

menjerlus melenyap aliran dosa 

meluruh melandai di hati pendosa.


Ya Rab, aku rapatkan dahi di lantai sepi

tawajuh santun meruntun doa

membajai hati merapati iman

menyemai jiwa seronok beramal

mengharap kasih mohon keampunan.


Ya Rab, kekalkan iman, biar mekar

terus menyinggah, biar gagah

agar akhlak solat yang aku kerjakan ini

dapat aku bawa dan praktikkan, biar sebati

menjunjung kasih sayangMu, Rabbul Izzati.


Ya Rab, kekalkan kesucian imanku

agar rimbun, meneduh, menguasai hidup

bergulir iman di selimut kesucian 

agar redhaMu bisa terjamin, Rabbul Alamin.


Putrajaya

23 Mac 2025


BIODATA

Mohd Rani Mohd Tahir. Lulusan cemerlang jurusan Seni bina dan Pengajian Melayu. Temui bakat menulis setelah memenangi lebih 20 sayembara pelbagai genre di peringkat kebangsaan dan antarabangsa. Telah menghasilkan lebih 25 Antologi pelbagai genre dan tiga buah buku solo. 

SUCI YANG TERNODA

Suci yang Ternoda

Oleh: Aiman



Suci itu angin yang mengusap qalbu

tidak bersandar pada jasad yang fana

tiada terkurung dalam warna dunia

hanya zahir bagi yang celik mata.


Ia umpama embun di daun firdaus

menitis lembut di hamparan waktu

tiada terpalit lumpur hawa

hanya terang bagi yang tahu.


Namun tangan-tangan ghaflah meragutnya

dilumur debu nafsu yang alpa

ditakwil atas nama cahaya

hingga gelap disangka nur.


Namun suci tetap suci

tiada sirna oleh fitnah dunia

hanya mereka yang rindu hakiki

akan menemunya dalam fana.


PENA_MENARI

21/03/2025

JUM, 09:59PM

REMBAU, NEGERI SEMBILAN

DENDAM YANG TERPADAM

Dendam yang Terpadam 

Oleh: Jcka Daily



Kipas siling yang berputar-putar membuatkan kepala Syamil bertambah 

pening. Sejak semalam lagi asyik berdenyut. Seperti tidak mahu berhenti. Sekejap dia 

mengiring ke kanan. Sekejap pula ke kiri. Rambut yang serabai seperti berus dawai 

digaru kasar. Syamil bangun. Tidak lama baring semula. Mahu saja kepala dihantuk ke  

dinding.


Rengusan kasar dilepaskan. Syamil menarik selimut yang menutupi tubuhnya. 

Lalu, Syamil menuju ke arah beranda. Angin malam bertiup menyapa wajah muram 

dapat juga mengurangkan hangat. Sudah dua bulan hujan tidak turun. Banyak

kawasan yang kekurangan sumber air. Mereka yang hanya berharap pada air bukit

pasti lebih teruk terjejas. 


Telefon yang berdering banyak kali dibiarkan sahaja. Syamil tahu siapa 

yang menelefonnya. Namun, teriakan telefon yang tidak mahu berhenti membuatkan 

Syamil semakin rimas. Kemudian, dia menatap nama yang tertera pada skrin telefon. 

Tiba-tiba sahaja, telefon itu dilempar di atas katil.


Syamil menghempaskan punggung di birai katil. Rambutnya diraup berulang 

kali. Telefon berbunyi menandakan ada pesanan ringkas masuk. Kali ini, tergerak hati 

Syamil mahu membaca pesanan tadi. Seperti ada suara yang menyuruhnya.

***

Malam itu juga Syamil memasukkan beberapa helai pakaian dalam beg 

sandang warna hitam. Cukuplah untuk sehari dua. Pesanan yang dibaca tadi sikit pun 

tidak mengejutkannya. Seolah perasaannya sudah mati terhadap keluarganya sendiri. 

Tetapi, firasatnya kuat menyuruh balik ke kampung. 


Lagipun sudah tiga tahun Syamil tidak balik ke Kampung Sentosa. Setiap 

kali diminta balik, ada sahaja alasan yang sengaja direka Syamil. Padahal, Syamil tidak 

mahu berjumpa dengan keluarganya lagi. Kejadian enam tahun lalu menyinggah

dalam fikiran Syamil.


Syamil menganggap dirinya seorang anak yang tidak berguna. Ditambah 

pula, keluarganya mempermalukan Syamil di depan orang ramai. Siapa yang tidak 

mahu jika diperlakukan seperti binatang dan mereka adalah keluarga sendiri. Syamil 

sangat tercabar. Akhirnya, Syamil mengambil keputusan berhijarah ke bandar dan 

mulai memperbaiki dirinya.


    Desas-desus cerita orang-orang kampung, abangnya Farid telah berjaya membuka 

perniagaan. Perniagaan apa, Syamil sendiri tidak pasti. Lagipun, untuk apa Syamil 

ambil tahu perkara itu. Subuh nanti Syamil akan berdepan dengan Farid. Syamil perlu 

mengawal perasaannya. Tidak mahu pisang berbuah dua kali. Mereka pernah 

bergaduh dan berakhir dengan tumbukan.


Enjin motorsikal dihidupkan. Perlahan-lahan beredar dari kawasan Taman

Mutiara. Motorsikal Syamil membelah jalan raya yang lengang. Jam menunjukkan

pukul 9.45 malam. Untuk sampai di Kampung Sentosa, Syamil mengambil masa lebih 

kurang empat jam setengah. 


Sampai di satu simpang, Syamil berhentikan motorsikal. Kebetulan pula, ada satu 

perhentian bas. Enjin motorsikal perlu disejukkan untuk menggelakkan sebarang 

kejadian yang tidak diingini berlaku. Kalau tidak, malang tak berbau, motorsikal

Syamil terbakar pula. 


Selang setengah jam, Syamil meneruskan perjalanan selepas makan dua keping 

biskut sebagai alas perut. Mujur, Syamil ada membawa sedikit biskut. Perutnya 

berkeroncong pula. 


Syamil menghela nafas dalam. Jam tangan dilirik. Jarum jam tepat menunjukkan

pukul 2.00 pagi. Sekujur tubuh seperti menunggu kehadiran Syamil sedang duduk di 

atas anak tangga. 


“Assalamualaikum.” Salam dari Farid. Bibir tak henti melangitkan doa 

agar adiknya selamat sampai di Kampung Sentosa. Dia menghela nafas. Lega melihat 

kepulangan adiknya.


Syamil menongkat motorsikalnya. Sengaja dia mendorong motorsikal tadi

dari luar pagar kerana tidak mahu mengejutkan Mak Tejah. Farid menghampiri Syamil 

sambil cuba bersalam tangan. Namun, Syamil mengendahkan abangnya. 


Farid menggeleng. Sedikit kecewa dengan tindakan Syamil tadi. Farid membiarkan 

sahaja adiknya mendahului masuk ke dalam rumah. Bunyi periuk berlaga di ruang 

dapur. Pasti Mak Tejah sedang menyediakan makanan untuk sahur.


Tubuh dihempas di atas sofa. Mujur sofa masih empuk. Kalau tidak, pasti punggung 

terasa sakit. Sudah bertahun kerusi kayu itu tidak diganti. Sejak kematian ayah Syamil 

enam tahun lalu.


    “Macam mana perjalanan tadi?” Farid buka cerita. Songkok hitam senget dibetulkan. 

Sebenarnya, songkok itu kepunyaan arwah ayah.


Syamil membisu bagai batu. Syamil hanya memandang sekilas wajah abangnya. 

Adakala, Syamil malu bila orang bercerita tentang abangnya. Disebabkan itu, Syamil 

jarang balik ke kampung.


    “Kejap lagi mak siap masak tu. Bolehlah kita sahur bersama, Mil.” 


Kemudian, Syamil berdiri menuju ke arah biliknya. Rumah mereka ada tiga bilik. Bilik 

Syamil bersebelahan dengan Farid. Perlahan pintu ditolak. Kedudukan meja, katil, dan 

almari tidak pernah berubah. Bilik itu dijaga dengan baik. Kemas dan rapi.


    “Kami tak usik barang-barang Mil. Cuma bersihkan habuk yang melekat dan sarang 

lelabah dalam bilik ni,” cerita Farid. Berharap adiknya bersuara.


Mata Syamil tertumpu pada sebingkai gambar di dinding. Lama juga Syamil merenung 

gambar itu.


    “Abang pun rindukan ayah,” luah Farid.


Syamil duduk di birai katil. Kematian ayah memberikan impak besar pada Syamil. 

Ayah mereka meninggal dunia disebabkan Farid. Sejak itu, Syamil jarang bercerita 

dengan Farid.


Kejadian itu masih jelas dalam fikiran Syamil. Ketika itu, arwah ayah dan Farid pergi 

memancing. Mak Tejah melarang mereka kerana keadaan cuaca yang tidak 

mengizinkan. Namun, Farid berkeras hati mahu meneruskan rancangannya. Dalam 

perjalanan mereka pulang, motorsikal yang ditunggang arwah terbabas dan dihempap 

sebatang pokok. 


Pihak hospital mengesahkan arwah ayah Syamil mengalami pembekuan darah dan 

perlu menjalani pembedahan segera. Namun, ketentuan-Nya tiada siapa yang dapat 

melawan. Arwah ayah mereka dalam keadaan koma dan menghembuskan nafas 

menjelang malam Ramadan hari pertama.

    “Mil.”

    “Keluar sekarang!” suara Syamil kesat.

    “Abang cuma…”

    “Kau tak faham bahasa?!” suara Syamil semakin tinggi.

    “Sampai bila, Mil?”

    “Aku tak ada jawapan untuk soalan kau. Aku nak bersendirian!” tujuan Syamil

pulang kampung sekadar mahu menunaikan permintaan Mak Tejah. Kalau ikutkan 

hati,  Syamil takkan jejak kaki ke Kampung Sentosa. 

    “Mil.”

    “Keluarlah!” marah Syamil.

    “Kau dah sampai, Mil. Bila sampai? Kenapa tak bagi salam tadi?” Mak Tejah duduk 

bersebelahan Syamil. Pertengkaran tadi tidak didengari Mak Tejah.

    “Baru saja sampai tadi. Adalah dalam sepuluh minit,” jawab Syamil.

    “Syukur Mil sampai dalam keadaan yang selamat. Farid tu sejak semalam lagi, asyik 

berdoa agar kau selamat dalam perjalanan,” cerita Mak Tejah.

Syamil memandang Farid.

    “Bolehlah kita sahur sekali, Mil. Farid.” Wajah Mak Tejah seperti bunga-bunga

mekar. Saat inilah yang ditunggu-tunggu Mak Tejah. Empat tahun menunggu 

kepulangan anak  bongsunya.


    “Mak dan abang saja sahur bersama. Mil nak tidur. Penat,” sengaja Syamil mereka 

alasan. Pura-pura memicit bahu.

    “Makanlah dulu,” ajak Mak Tejah.

    “Lepas makan, boleh Mil rehat puas-puas,” tambah Farid.

    “Suka hati akulah. Nak makan atau tak. Tak payah menyibuk, boleh!”

    “Astagfirullah, Mil. Farid abang Mil. Cubalah hormat sikit,” kepala Mak Tejah 

digeleng perlahan-lahan.

    “Nak suruh aku hormat? Jauh panggang dari api,” jawapan Syamil membuatkan Mak 

Tejah kecewa. Mana letak rasa hormat adik terhadap abang.

    “Sampai bila kau nak maafkan abang kau ni Mil. Jangan sampai kau menyesal

nanti,” tambah Mak Tejah lagi. 

    “Mak mungkin dah lupa, dia jadi punca ayah meninggal dunia!” Syamil sering kali 

diejek oleh rakan sekolah kerana tidak mempunyai ayah. Setiap kali ada program 

sekolah yang melibatkan orang tua, Mak Tejah dan Farid sebagai ayah selalu 

menyokong  Syamil. 

    “Cukup, Mil. Mak dah lama bersabar dengan Mil. Bukan Mil saja yang terasa 

kehilangan ayah. Mak dan Farid. Semuanya sudah diatur oleh Tuhan. Siapa kita mahu 

menyalahkan takdir dari-Nya,” kelopak mata Mak Tejah seperti sukar dibendung. 

Empangan air mata akan pecah bila-bila masa. 

    “Abang juga tak nak ayah meninggal masa tu. Kalaulah abang tahu pokok akan

rebah dan hempap ayah, abang takkan bawa ayah keluar,” terbit juga rasa sesal

dalam diri Farid. Farid selalu menyalahkan dirinya. Namun, Mak Tejah selalu 

menasihati Farid akan tidak menyalahkan diri atas kematian ayah mereka. 

Mendekatkan diri pada Tuhan. Minta petunjuk agar dada dilapangkan menerima apa 

yang sudah berlaku.

    “Semua disebabkan kau. Si buta!”

    “Astagfirullah, Mil.” Mak Tejah mengusap-usap dada. Air mata merembes laju. 

    “Mak.” Farid mendekati Mak Tejah.

    “Farid.” Mak Tejah renung wajah anaknya. Berbekalkan sebelah mata, Farid masih 

mampu menguruskan kebun buah-buahan yang ditinggalkan oleh arwah suaminya. 

Syamil pula berhijrah atau entah melarikan diri ke bandar selepas habis SPM. Farid 

mencadangkan agar Syamil menyambung sekolah. Namun, Syamil tetap dengan 

keputusannya. Mak Tejah faham Syamil berdendam pada Farid dan Syamil malu 

kerana mempunyai seorang abang yang bermata satu. 

    “Tak apa, Mak. Kita biarkan Mil berehat. Siang nanti kita masih boleh borak, ” 

perlahan Farid memapah Mak Tejah.

    “Farid.”

    “Syamil mesti tahu, Farid.” Mak Tejah duduk semula.

    “Cerita lama tak payah nak ungkit, Mak.” Farid tidak mahu mengeruhkan keadaan. 

Lebih baik, Syamil berehat sahaja.

    “Mata kanan kau, mata Farid.” Mak Tejah mulakan cerita.

    “Mak cakap apa ni? Mata ni, mata abang.” Syamil menunduk.

    “Masa Mil berusia dua tahun, mata Mil bermasalah. Farid rela derma matanya. Mak 

minta Mil balik. Mak merayu Mil balik. Lawat kami selalu di kampung sebab usia 

abang kau dah tak panjang,” sekali lagi, Mak Tejah menangis. Usia Farid masa itu baru 

enam tahun. Tetapi, itulah yang dikatakan kasih sayang antara abang dan adik.

    “Mak. Farid.” Pandangan Syamil silih berganti. Gugur juga air mata seorang lelaki 

yang penuh dengan keegoan.

***

Kini, Syamil kerap kali pulang ke Kampung Sentosa. Menemani Farid yang hanya 

terlantar di atas katil. Pengerakkannya terbatas. Siapa lagi mahu membantu Farid.  

Kalau nak harapkan Mak Tejah, usia mak mereka semakin ditelan senja. 


    “Maafkan segala dosa Mil pada abang.” Syamil memeluk erat tubuh Farid yang

tinggal tulang. Sel-sel kanser semakin ganas menyerang Farid.

    “Abang dah lama maafkan Mil. Abang halalkan makan dan minum, Mil.” nada suara 

Farid lemah.

    “Mil sangat menyesal kerana tak bagi abang peluang bersuara selama lima tahun.”

Masa kecil dan masa dewasa tidak sama. Syamil hanya banyak menghabiskan masa 

bersama Farid hanya saat dia terlantar lemah. 

    “Aku senang hati melihat Mil bersujud di atas sejadah dan bersebelahan aku. 

Memohon keampunan dan minta kesembuhan untuk abang,” senyuman Farid terlukis 

pada wajahnya yang cekung. Hanya pada Tuhan saja tempat Farid bersandar. Mungkin 

Farid akan diberikan peluang kali ke-dua.

    “Apa yang berlaku pada abang membuatkan Mil belajar sesuatu. Dendam yang 

disimpan akan menutup kasih sayang. Mata aku sebenarnya buta. Hanya kegelapan 

yang menguasai peribadi Mil. Mil terlupa arwah ayah dan abang adalah hero dalam 

hidup Mil.”

    “Abang sangat bersyukur kerana masih diberi kesempatan untuk melihat Keinsafan 

dalam diri Mil. Abang harap lepas abang ‘pergi’, Mil luangkan lebih masa temankan 

mak,” seolah itu adalah permintaan terakhir dari Farid. Syamil mengambil keputusan 

berhenti kerja dan menguruskan kebun buah-buahan.

    “Abang!”


Senja yang diwarnai jingga dan burung-burung menghiasi wajah langit menjadi saksi, 

jasad Farid dijemput ‘pulang’. Pulang ke rumah abadi. Kehilangan yang benar-benar 

mengajar Syamil untuk tidak berdendam dengan sesiapapun. Lebih baik memaafkan 

seseorang dari menanam duri dalam diri. Apabila mahu mencabut duri itu, kesakitan

itu dirasakan berlipat ganda. Hanya keinsafan yang tulus sahaja dapat menyembuhkan 

diri. 



Bionarasi








Judith Daily memakai nama pena Jcka Daily dan lahir di Sabah, Malaysia. Mulai

menulis sejak tahun 2020. Karya-karya pernah tersiar di koran-koran tempatan. Kini, 

giat menyertai apa saja pertandingan atau sayembara untuk menimbah ilmu penulisan.


TUJUH BATU KERAMAT


Tujuh Batu Keramat 

Oleh: Eko Yuli Priharyanti 




Sungai curam itu, bernama Sungai Jaran. berada di tengah-tengah desa terpencil di perbukitan gersang berbatu di wilayah Jawa Tengah. Sungai ini sangat terkenal di kalangan pecinta batu keramat. 

Konon katanya, barang siapa yang bisa menemukan tujuh batu, berbentuk bulat pipih dengan tujuh warna yang berbeda, maka sepanjang hidupnya akan diliputi kemakmuran. Kabar burung, yang mengguncangkan jagat pencinta batu keramat dan takhayul, tersebar dari mulut ke mulut, dari ponsel ke ponsel, merambah dengan cepat ke penjuru negeri.

Bisa kaya dengan seketika, tanpa harus bekerja keras, itulah dambaan orang-orang malas yang percaya takhayul. Termasuk Saripudin, lelaki berusia 40 tahun itu sangat percaya pada benda keramat dan takhayul. 

Saripudin, ayah satu anak ini tinggal di pemukiman padat penduduk, di kawasan Jakarta Pusat. Ia dan istrinya, Haryati yang biasa dipanggil Ncing Ati. Ncing itu sama seperti bibi atau tante, sedangkan ncang sama seperti om atau paman. 

Mereka mempunyai usaha warung kelontong yang cukup laris, yang populer dengan sebutan warung Ncang Udin. Selain itu mereka juga memiliki beberapa rumah yang disewakan.

Ncang Udin merupakan penduduk asli Jakarta, sedangkan istrinya berasal dari dusun terpencil di daerah Jawa Tengah. Mereka bertemu ketika mereka sama-sama bekerja di suatu pabrik di kawasan Jakarta Utara.

Ncing Ati, seorang wanita yang rajin dan hemat, walaupun tidak sekolah tinggi, namun marketing dan manajemen keuangannya, boleh diacungkan jempol. Berkat istrinya inilah, keluarga Ncang Udin, hidup dalam kecukupan secara finansial.

Ncang Udin juga dikenal sebagai seorang dermawan, ia sering membantu orang yang kesulitan keuangan. Istrinya yang perhitungan dan cerewet itu, terkadang bersungut-sungut, bila ada yang tak mau melunasi utangnya. Namun Ncang Udin menanggapinya dengan santai, “Sudahlah mak, relakan saja! mereka itu sangat kekurangan, toh kita tidak bangkrut kan?”

Ncing Ati hanya bisa cemberut dan kesal mendengar komentar suaminya.

Namun Ncang Udin sangat percaya pada takhayul, seperti batu keramat itu. Ia juga masih sering meninggalkan ibadah Salat, karena lalai dan malas. Itulah yang menjadi sumber masalah dari kehidupannya.

***

Ncang Udin bersama tiga temannya menyambangi dusun terpencil tempat Sungai Jaran berada. Kebetulan dusun itu adalah kampung dari Ncing Ati, jadi mereka bisa menginap di rumah mertua Ncang Udin, selama mencari batu keramat itu.

Pada suatu pagi menjelang siang, di musim kemarau yang kering, mentari sudah bertengger semakin tinggi di cakrawala. Hamburan sinarnya yang panas menyengat seolah membakar bumi. Sesekali terdengar kicauan burung-burung yang bertengger pada pohon-pohon di tepian sungai. Segarnya aroma pedesaan masih tercium walaupun di musim kemarau yang panas.

Saat itu, air di Sungai Jaran sedang surut, terlihat batu-batu besar menjulang ke permukaan sungai. Terdengar suara gemericik air sungai yang mengalir menerpa batu-batu besar di sungai itu. Nampak beberapa orang sedang sibuk mencari sesuatu di sungai itu, termasuk juga Ncang Udin. Mereka sudah sejak pagi-pagi sekali, sudah ada di sungai, namun belum ada seorangpun yang beranjak dari sungai itu. 

Terdengar azan berkumandang tanda orang harus pergi untuk menunaikan ibadah Salat Zuhur, namun mereka hanya menganggapnya sekedar angin lalu saja. Mereka begitu terpaku oleh kesibukan mencari batu keramat itu. Bagi mereka batu keramat lebih berharga dibandingkan pergi untuk ibadah Salat Zuhur. Tidak hanya ibadah Salat Zuhur saja yang mereka abaikan, makan siang pun mereka abaikan.

Matahari mulai tergelincir dari tempatnya bertahta di tengah cakrawala, hamburan sinarnya mulai redup terasa tidak begitu menyengat seperti pada waktu tengah hari tadi. Itu berarti hari sudah menjelang sore, angin sore yang sejuk mulai terasa meliputi kawasan itu. Terdengar kicauan burung dari pohon yang tumbuh di sekitar sungai. 

    “Besok pagi saja kita lanjutkan mencarinya! Aku sudah lelah!” ujar lelaki yang mengenakan topi berwarna merah itu. 

    “Baiklah! kita akan lanjutkan besok pagi!” Teman-temannya pun setuju, kecuali Ncang Udin. Lelaki bertubuh gempal dan berambut agak ikal itu menolak untuk beranjak dari sungai itu. 

    “Aku akan coba mencari sampai matahari terbenam. Kalian pulang ke rumah mertuaku duluan saja!”  ujar Ncang Udin, dia masih penasaran. Pikirnya bila dia mencari sendirian, mungkin batu itu akan ditemukan. 

Terdengar azan berkumandang, memanggil orang untuk bergegas ibadah Salat Asar. Teman-teman Ncang Udin beranjak menjauhi sungai. Tujuan mereka bukan menuju surau, tetapi untuk mampir ke warung makan di sebelah surau. Mereka sudah terbiasa meninggalkan ibadah salat. Kata orang, seperti itulah kelakuan orang yang dinamakan Islam KTP.

****

Saat senja menjelang ke pelukan malam, awan lembayung mulai meliputi cakrawala. Hamburan sinar bernuansa oranye kemerahan mulai melukis langit. Terlihat beberapa burung melintas untuk kembali pulang ke sarangnya, mentari pun bersiap-siap untuk kembali ke peraduannya. Alam raya menjadi redup, hening dan sunyi.

Ncang Udin, terlihat masih sibuk menelusuri batu-batu besar dan kerikil yang terdapat di sungai itu. Sampai seorang lelaki setengah baya mengenakan pakaian hitam dan bercaping tiba-tiba ada di dekatnya, kemudian menegurnya, “Apakah Kisanak kehilangan sesuatu di sungai ini?”  Wajah Ncang Udin, menjadi pucat seketika seolah aliran darahnya berhenti mengalir. “Sejak kapan orang ini ada di dekatku?” pikiran Ncang Udin pun bergosip dengan benaknya. 

Lelaki berbaju hitam dan bercaping itupun nampak tersenyum, kemudian berkata, “Aku sudah sejak pagi tadi telah memperhatikan kegiatan kalian di sungai ini. Namun Aku baru bisa ke sungai ini saat menjelang senja, karena kesibukan di ladangku yang berada di sekitar sungai ini.” 

Wajah Ncang Udin nampak pucat sekali lagi karena orang itu bisa membaca isi kepalanya. Dengan berhati-hati Ncang Udin menjawab pertanyaan kepada lelaki bercaping itu, “Sebenarnya aku tidak kehilangan apapun! Aku hanya sedang mencari tujuh batu keramat di sungai ini.” 

Lelaki bercaping itu tersenyum dan berkata, “Apakah yang Kisanak cari itu, batu berbentuk bulat pipih dengan warna yang berbeda?” 

Sekali lagi Ncang Udin wajahnya menjadi pucat sekaligus gemetar, karena lelaki bercaping itu mengetahui yang dia cari, Kemudian lelaki bercaping itu melanjutkan perkataannya, “Sebenarnya batu itu ada banyak di tempat tinggalku! Kalau Kisanak mau, akan aku berikan dengan cuma-Cuma.” 

Antara percaya dan tidak, Ncang Udin bertanya “Di mana tempat tinggal Kisanak? Aku mau melihat batu-batu itu! Aku ingin tahu apakah batu-batu itu sesuai dengan ciri batu keramat?”

Lelaki bercaping itupun mengundang Ncang Udin untuk ikut ke rumahnya. “Aku sangat senang bila Kisanak, mau berkunjung ke gubukku.” 

Kemudian mereka berjabat tangan dan berkenalan. Keinginan Ncang Udin yang besar untuk memiliki batu-batu keramat, mengalahkan logikanya.

Lelaki bercaping pemilik nama Sudiro itu, mengajak Ncang Udin untuk beranjak dari sungai, menuju tempat tinggalnya sebelum azan Maghrib berkumandang. Mereka berjalan menyusuri tepian sungai, kemudian berbelok ke arah jalan setapak, yang di kiri dan kanan jalan ditanami jagung. Setelah melewati kebun jagung, mereka bertemu dengan jalanan berbatu yang tertata dengan apik dan cukup lebar. Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di rumah lelaki bercaping itu.

Mata Ncang Udin pun terbelalak dan berbinar-binar ketika melihat batu-batu berbentuk pipih dengan warna yang berbeda-beda terhampar di halaman rumah itu. Batu-batu itu fungsinya sama dengan batu kerikil yaitu sebagai penghalang tanah agar tidak becek di kala hujan. 

Ncang Udin segera meneliti batu-batu itu. Satu per satu diamatinya dengan cermat. Betapa senangnya hati Ncang Udin, setelah dia yakin batu itu sama persis seperti ciri-ciri batu keramat yang dia dapatkan dari temannya yang berprofesi sebagai seorang dukun. 

    “Kalau boleh aku tahu, dari Mana Kisanak dapat batu sebanyak ini? Sedangkan aku mencari di Sungai Jaran, dari matahari baru muncul hingga tenggelam, tak satupun aku temukan,” ujar Ncang Udin, sambil matanya tak lepas memandangi batu-batu itu.” 

Sudiro sudah menduga jika Ncang Udin akan bertanya seperti itu. Kemudian dia menjawabnya, “Batu-batuan seperti itu banyak tersebar dekat goa di bukit batu, yang letaknya tak jauh dari sini. Bila Kisanak mau melihatnya, Aku bisa mengantarkannya lain waktu.”

Mata Ncang Udin langsung terbelalak, bagaikan sedang mendapatkan sebongkah berlian dari langit. Jantungnya berdegup keras seakan mau copot karena sangat kegirangan. 

    “Ini sungguh luar biasa! tentu aku sangat senang bila bisa melihatnya,” ujar Ncang Udin dengan ekspresi wajah senang 

Kemudian Sudiro mengajak Ncang Udin untuk masuk ke dalam rumahnya. Rumah Sudiro dengan arsitektur bergaya Jawa Tengah, nampak rapi dan bersih. Ada enam tiang penyanggah rumah yang terbuat dari kayu jati berukir. Atap rumah berbentuk joglo tanpa plafon, jadi nampak kayu jati dan genteng tanah liat, lantai rumah dari batu kali yang disusun dengan rapi. Perabotan di rumah itu semua terbuat dari kayu jati dengan model klasik Jawa Tengah. Secara keseluruhan, rumah itu nampak natural dan artistik. 

Ncang Udin tercengang. Apa yang ada di dalam rumah itu, bukan mencerminkan rumah seorang petani desa, tetapi rumah seorang yang mengerti seni dan keindahan. Seperti seorang arsitek atau penggemar seni. 

    “Baru kali ini aku masuk rumah petani di tengah dusun terpencil, seperti rumah seorang arsitek. Siapakah Kisanak sebenarnya?” tanya Ncang Udin dengan ekspresi ragu.

Sudiro tersenyum ramah agar keraguan Ncang Udin memudar. Kemudian dia menjelaskan bahwa dia hanya seorang petani yang menyukai seni keindahan. Desain rumah dan perabotannya dia tiru dari media online. Sudiro pun bercerita bahwa dia tinggal sendiri di rumah itu, semenjak istri dan anaknya tewas dalam kecelakaan lalu lintas ketika mereka pergi berlibur.

Tak terasa, hari sudah semakin gelap. Ncang Udin minta diri untuk pulang. Sebelum itu Sudiro memberikan oleh-oleh berupa batu-batu keramat yang berjumlah 28 batu, yang dikemas dalam tas anyaman yang terbuat dari pandan tikar. Semua itu untuk Ncang Udin dan ketiga temannya.

Sebelum beranjak dari rumah itu, Sudiro berpesan jangan menengok ke belakang sebelum berjalan sebanyak tujuh langkah. Itu syarat agar selamat tiba di tujuan. Ncang Udin pun menurutinya.

Setelah berjalan tujuh langkah dari rumah Sudiro, maka secara ajaib Ncang Udin sudah tiba di jalan menuju dusun mertuanya. Ncang Udin pun menjadi takjub bercampur bingung. “Luar biasa, ini sungguh di luar nalar!” gumamnya sambil menggelengkan kepala.

Ketika Ncang Udin berjalan menuju rumah mertuanya, terdengar azan dari surau menggema, pertanda orang harus bergegas untuk melaksanakan ibadah Salat Isya. Ncang Udin baru menyadari dia tidak mendengar suara azan Maghrib saat dia berada di kawasan rumah Sudiro. Mungkin di sana tidak ada surau, pikir Ncang Udin.

Rumah mertuanya nampak ramai dipenuhi oleh orang, sepertinya mereka sedang tahlilan. Seketika jantung ncang Udin berdegup kencang, “Ada apakah?” Alam pikiran Ncang Udin mulai bergosip dengan batinnya, membuat dia semakin tidak tenang. 

Ncang Udin masuk melalui pintu belakang. Terlihat di sana ibu mertua dan istrinya sedang menangis. Ncang Udin pun menghampiri mereka, dan bertanya, “Ada apakah?” 

Ibu mertua dan istrinya sangat kaget melihat Ncang Udin, lalu mereka memeluk Ncang Udin. “Syukurlah kamu selamat, Bang Udin!” kata Ncing Ati sambil terus menangis.

Namun, kepala Ncang Udin terasa berkunang-kunang. Kemudian ruangan itu menjadi redup. Dia melihat wajah istri dan mertuanya samar-samar. Suara tangis mereka pun semakin samar, kemudian semuanya menjadi gelap dan menghilang.


***

Cahaya menyilaukan berasal dari lampu ruangan serba putih itu, yang pertama kali dilihat oleh Ncang Udin, ketika membuka matanya. “Dimanakah aku? apakah ini yang disebut alam kubur?” Alam pikiran Ncang Udin bergosip dengan benaknya.

Terdengar suara ribut-ribut dari istri dan anak lelakinya. “Alhamdulillah! Babe sudah sadar. Cepat panggil suster, Nak!” ujar Ncing Ati, dengan ekspresi wajah yang gembira.

    “Alhamdulillah! Baik Mak!” jawab pemuda jangkung dan berambut agak sedikit ikal itu.

Ncang Udin akhirnya tersadar setelah mengalami pingsan selama tiga hari, karena dehidrasi parah. Dia dalam perawatan di rumah sakit kabupaten, tempat mertuanya tinggal. Setelah menjalani pemeriksaan intensif dan dinyatakan seluruh organ dalam tubuh Ncang Udin berfungsi dengan baik, maka Ncang Udin diperbolehkan makan makanan seperti biasa, tidak melalui selang infus lagi.

Sambil menyuapi suaminya, Ncing Ati bercerita kalau Ncang Udin hilang selama dua hari, dua malam. Para tetua desa mengatakan Ncang Udin dibawa orang bunian yang tinggal di sekitar Sungai Jaran karena ia masih berkeliaran di sungai itu saat menjelang Maghrib. Ncang Udin beruntung dipulangkan lebih cepat sehingga tidak mengalami sakit kelainan jiwa bahkan kematian.

Setelah mendengar cerita istrinya itu, Ncang Udin mengeluarkan air mata. Dia sangat menyesal. Akibat kebodohan yang dia perbuat, membuat panik dan merepotkan orang banyak. 

Ncang Udin ingat kalau saat itu dia hanya dua jam berada di rumah orang bunian yang bernama Sudiro. Ternyata di alam nyata dia hilang selama dua hari, dua malam. Tiba-tiba dia ingat lagi pada oleh-oleh dari Sudiro sebelum dia pulang, berupa tas anyaman pandan tikar, yang berisi batu-batu keramat. Ncang Udin menanyakan pada istrinya., “Apakah Emak menyimpan tas dari anyaman pandan tikar yang aku bawa waktu itu?”

    “Oh… tas itu! Aku bawa ke sini karena tak seorangpun berani menyentuh apalagi membukanya.”  Lalu, tas anyaman yang tersimpan di lemari kecil di ruang itu, diberikan kepada suaminya. 

    “Aku juga penasaran isinya apa Be!” ujar anak lelaki Ncang Udin, yang dari tadi sibuk dengan ponselnya.

Ncang Udin membuka tas itu, dan mengeluarkan isinya ke atas kasur yang telah diberi alas kertas koran sebelumnya. Seketika mata mereka pun terbelalak. Lalu Ncang Udin pun tertawa.  Ternyata isinya hanya batu koral biasa berjumlah 28 batu. Mereka pun tertawa bersama.


***

Tengah hari di musim kemarau yang kering, seolah angin pun malas untuk berembus. Saat itu, kawasan pemukiman padat penduduk di Jakarta Pusat diliputi debu dan hamburan sinar mentari yang terik dan menyengat. Nampak Ncang Udin sedang sibuk merapikan sarung dan pecinya. Dia mau pergi ke surau di ujung jalan sempit itu. Ketika azan Zuhur berkumandang, maka Ncang Udin segera melangkahkan kakinya untuk beribadah Salat Zuhur.

Kini Ncang Udin sangat rajin beribadah salat di surau. Dia juga rajin ikut pertemuan pengkajian Al-Quran. Bahkan kini Ncang Udin menjadi donatur utama untuk surau di lingkungannya.

Tahun depan Ncang Udin akan melaksanakan ibadah haji bersama istri dan anak semata wayangnya. Ncang Udin sudah berhenti menjadi pencari benda keramat. Dia juga selalu berusaha menyadarkan teman-temannya agar tidak percaya takhayul. Hidup keluarga Ncang Udin kini menjadi lebih tenang dan bahagia.


*****


Depok, 22 Maret 2025



BIONARASI 

Namaku Eko Yuli Priharyanti. Aku biasa dipanggil Eko Yuli. Seni merangkai kata sudah menjadi hobiku. Aku ingin menekuninya dengan serius, sehingga aku menjadi mahir di bidang ini.


CAHAYA TANPA BIAS CURIGA

CAHAYA TANPA BIAS CURIGA

Karya: Marlina Mailon


Arunika yang masih perawan

Menyinar indah tanpa bebanan sukma

Tak tersentuh dek awan dusta

Tak tergoda dek lambaian nafsu duniawi.


Ia hening tanpa perigi sunyi

Tetap menyinarkan cahaya tanpa bias curiga

Tidak memuja gelar di hujung takhta

Tidak dahagakan langit pujian di bibir munafik.


Tatkala cakerawala muncul mengetuk lirih

Mengusung badai membisik gemersik janji

Begitu mudah dan rapuhnya akar jiwa

Tersesat dalam belukar gelisah.


Namun, diam yang bersembunyi dalam jasad

Tidak pernah memadamkan pelita suci

Persis embun yang kekal jernih

Meskipun gugur di tanah lelah.


Kesucian tak hanya melodi kata

Ia nur yang menerangi kasur dada

Biar bergebar luka berbantal nestapa

Tidak sirna dimamah igauan derita.


Duhai jiwa yang merindu damai

Usah biarkan terang dibaham kelam

Peliharalah kejernihan permata nurani

Agar kekal suci dalam renjana ikhlas.


Kota Marudu, 20 Mac 2025.

 


Marlina Mailon dilahirkan di Kota Marudu Sabah, Malaysia. Mula berjinak-jinak menulis pada tahun 2018. Sudah menerbitkan beberapa buah buku novel, Antologi Puisi dan Antologi Cerpen. Penulis aktif mengikuti Pertandingan Menulis Puisi dan Cerpen di Malaysia dan Indonesia. Berhasrat hendak pergi lebih jauh dalam bidang penulisan.

KESUCIAN CINTA

 Kesucian Cinta

Karya: Agustina Rahman



Di altar waktu, kita terikat janji

Dua jiwa bersumpah di pelukan fajar

Engkau embun yang menari di petal mawar

Aku angin yang setia, menjaga mekarnya


Cintamu jernih seperti aliran hulu

Murni, tak tercemar oleh keraguan

Kesetiaanmu api yang menyala dalam gulita

Tak pernah redup meski badai menggila


Dalam genggaman tangan takdir

Kita menari di panggung waktu

Kau bulan yang memantulkan cahaya

Aku samudra, merindu dalam desiran doa


Tiada ilusi dalam cinta yang suci

Tiada noda dalam janji yang abadi

Hanya doa yang mengalun syahdu

Menjadi nyanyian dalam keabadian


Makassar, 22 Maret 2025

BIONARASI

Hj. Agustina, S.Pd., M.Pd.  Lahir di Lemoa, Kab. Gowa Sulawesi Selatan, 10 Agustus 1975. Pendidikan terakhir S2 di Universitas Muhammadiyah Makassar. Mengajar di MAN 2 Kota Makassar. Fasilitator Provinsi PKB Guru mapel Bahasa Indonesia 2021-2024 dan Penulis Modul PKB Guru 2023 pada Kementerian Agama. Antologi Cerita Mistis/Horor (2024), Novel Sepenggal Kisah Kehidupan (2024),  Pentigraf Kanvas Kata Penuh Warna (2024), Antologi Jejak Masa Riuh Kenangan (2025), dan aktif menulis Puisi di Blog KGS.

MENDAKAP TAKDIR

 Mendakap Takdir 

Oleh: Djohan bin Abdul Rahman


terkadang cemburu itu benar

hadir mengasak berkali-kali

merobek rapuh hati ini

mengelar tanpa belas

menghenyak tanpa ihsan

dan kerna apa?

kerna putih tampak warnamu


putih yang bertaut suci

yang sekali gus mengangkat darjat kudrat

menebar semacam keindahan 

putih yang tiada tolok tandingnya

bersih hati

kudus jiwa 

sakral raga tidak terperi


namun hitam warnaku bukan bererti hitam nuraniku

baiknya hati budi bukan ditentu rona yang menjengah

hitamku mampu berdiri sama tinggi

duduk seserambi

malangnya ... menurut mereka

hitam bukan putih: hitam tetap hitam


sempat aku mengeluh...

hitam melapik ketelusan hajat 

menyelindung ketulusan niat

menyembunyi kesucian hasrat


arkian ... kudakap takdir ini

cuma perlu ingat

tanggapan yang disemai hari ini

perlu digendong cucu-cicitku pada masa mendatang

 


  

KETENANGAN MENYELIMUTI INDAHNYA INDERALOKA

Ketenangan Menyelimuti Indahnya Inderaloka

Karya: Iza Iman


Bulan demi bulan bisa dibilang

bagai esok akan berakhir

Ramadan mampu menyatu ukhuwah

melakar kesamaan sesama insan. 


Malam nuzul al-quran disantuni

dengan bacaan surah-surah suci kesucian bulan ramadan menyuntik semangat

ketenangan menyelimuti indahnya inderaloka. 


Perbanyakkan amal dan taqwa

ibadah jangan ditinggalkan walau sedetik

andai hari esok masih ada untuk kita

Silaturahim disimpul dalam filantropi. 


Iza Iman. 

Tambunan, Sabah, Malaysia.

TITISAN SUNYI

Titisan Sunyi Karya: Bunga Melor Rintik-rintik hujan, iringi kamar hati sunyi tanpa teman bicara. Senyum kuukir kutatap hujan di jendela sep...

Carian popular