LIRA DAN TONGKAT YANG HILANG
Abby Vancel
Lira berlari riang di antara bunga-bunga yang bermekaran. Kiko, kelincinya, melompat-lompat di belakangnya. Matahari bersinar hangat, membuat hari itu terasa menyenangkan. Namun, tiba-tiba angin dingin berembus. Sebuah bayangan hitam melintas cepat. Sebelum Lira menyadarinya, sesuatu merampas tongkat sihir dari tangannya.
"Tongkatku!" serunya kaget.
Kiko melompat panik. Telinganya berdiri tegak penuh kewaspadaan. Dari balik pepohonan, muncul sesosok tinggi dengan mata merah.
"Penyihir Bayangan!" seru Lira.
Penyihir itu tertawa dingin sambil mengangkat tongkat Lira.
"Kau mungkin mengalahkanku dulu, tapi sekarang aku yang menang!"
Ia melambaikan tangannya, menciptakan pusaran kabut gelap di sekelilingnya. Dalam sekejap, ia menghilang bersama tongkat sihir Lira.
"Kita harus mengejarnya!" kata Lira. Hatinya berdebar keras.
"Tapi bagaimana caramu bertarung tanpa tongkat?" tanya Kiko khawatir.
Lira mengepalkan tangannya sambil mencoba berpikir tenang.
"Aku masih punya keberanian dan akal," katanya yakin.
"Tapi Kastil Kabut dijaga sihir gelap. Kita butuh bantuan," kata Kiko.
Lira mengangguk. Ia mengingat legenda Peri Tua di Pegunungan Angin.
"Ia bisa membaca jejak sihir dan membimbing kita ke sana," ujar Lira.
Tanpa ragu, mereka segera meninggalkan Hutan Bunga untuk mencarinya. Di tengah perjalanan, seekor ular besar menghadang mereka.
"Aku penjaga hutan. Siapa yang berani melewati jalanku?" tanya ular.
"Kami mencari Peri Tua," kata Lira.
Ular itu mengangguk, lalu melingkar membentuk jalan di tanah.
"Ikuti jalur ini, tapi hati-hati dengan kabut yang menyesatkan," katanya.
Lira dan Kiko berterima kasih lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat. Udara semakin dingin. Kabut semakin tebal di sekitar mereka. Tiba-tiba, dari balik batu besar, terdengar suara serak misterius.
"Siapa yang datang mencariku?" suara itu bergema menyeramkan.
Lira menelan ludah sambil tetap melangkah maju.
"Kami butuh bantuan untuk menuju Kastil Kabut," katanya penuh harap.
Dari balik batu, muncullah Peri Tua berjubah biru berkilauan. Matanya bersinar seperti bintang, dan ia memegang tongkat kayu tua.
"Aku bisa membantumu, tapi perjalanan ke sana tidak mudah," katanya.
Ia mengulurkan botol kecil bercahaya yang berpendar lembut.
"Gunakan ini untuk menembus kabut, tetapi jangan sampai kehabisan," pesannya.
Lira menggenggam botol itu erat, lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat. Mereka mendaki jalan berbatu menuju puncak gunung yang gelap. Kabut tebal menyelimuti mereka, membuat segalanya tampak samar. Lira membuka botol itu, cahaya lembut menyebar dan menyingkirkan kabut. Di depan mereka, berdiri kastil hitam besar dengan gerbang tertutup rapat. Dua patung serigala batu menjaga gerbang dengan mata merah menyala. Saat mereka mendekat, patung-patung itu bergerak dan mengaum keras.
"Siapa yang berani datang ke sini?" suara dalam bergema dari serigala.
"Kami datang mengambil kembali tongkat sihirku!" jawab Lira berani.
Serigala batu saling menatap, lalu tertawa dengan suara menyeramkan.
"Kau harus melewati tantangan Penyihir Bayangan!" kata salah satu serigala itu.
Tiba-tiba, tanah di bawah mereka bergetar dan berubah menjadi es. Lira hampir tergelincir, tetapi Kiko menariknya dengan cepat. Dari dalam kastil, suara Penyihir Bayangan terdengar bergema jahat.
"Kau pikir bisa masuk ke sini semudah itu, Lira?" katanya sinis.
Lira mengangkat botol cahaya, membuat es mulai mencair perlahan. Serigala batu melompat ke arah mereka, tetapi terpental mundur. Gerbang besar mulai terbuka, memberi mereka jalan masuk ke dalam. Mereka berlari melewati pintu kastil.
Di dalam kastil, aula besar penuh cermin hitam menyambut mereka. Lira melihat bayangannya di cermin, tetapi bayangan itu bergerak sendiri.
"Awas! Itu bukan bayanganmu yang sebenarnya!" teriak Kiko panik.
Bayangan itu melompat keluar dari cermin, berubah menjadi Lira jahat.
"Aku adalah sisi gelapmu, dan aku akan mengambil tempatmu!" katanya.
Lira menelan ludah, tetapi ia tahu harus tetap tenang. Ia mengangkat botol cahaya tinggi-tinggi, membiarkan sinarnya menyebar. Bayangan itu menjerit, perlahan melebur dan menghilang sepenuhnya. Saat bayangan lenyap, cermin di aula mulai pecah satu per satu.
Di ujung ruangan, Lira melihat Penyihir Bayangan duduk di singgasana. Tongkat sihirnya ada di pangkuannya, berkilauan redup dalam cahaya lilin.
"Kau memang berani, tapi keberanianmu tak akan menyelamatkanmu," katanya.
Lira menggenggam botol cahaya. Keberanian mengalir dalam dirinya.
"Tongkat bukan sumber kekuatanku, hatiku yang membuatku kuat!" serunya.
Cahaya dari botol semakin terang, memenuhi seluruh ruangan. Penyihir Bayangan menjerit saat cahaya itu menyelimuti tubuhnya.
"Tidak! Ini tidak mungkin!" suaranya menggema lalu lenyap dalam kegelapan.
Tongkat sihir Lira melayang, lalu jatuh ke tangannya kembali. Kiko melompat kegirangan.
"Kita berhasil, Lira! Kau tidak butuh tongkat untuk menjadi kuat!"
Lira tersenyum. Ia mengayunkan tongkatnya, membuat kastil mulai runtuh perlahan.
"Ayo keluar sebelum semuanya roboh!" serunya sambil menarik Kiko.
Mereka berlari melewati lorong hingga akhirnya tiba di luar. Tak lama kemudian, kastil itu runtuh dan menghilang sepenuhnya.
"Kastil itu sudah lenyap. Penyihir Bayangan tidak akan kembali," kata Lira. Kiko mengangguk, lalu melompat ke pelukan sahabatnya itu.
Mereka kembali ke Hutan Bunga, membawa kemenangan dan pelajaran berharga. Lira kini tahu, keberanian dan hati yang kuat lebih penting dari sihir.
*****