Ahad, 26 Januari 2025

Coco, Ayam Jago yang Pemalu

     Oleh: Gayatri Jaya Wardani


Coco adalah ayam jago yang sangat pemalu. Ke mana pun dia pergi selalu ditemani ibunya. Ketika Ibu Coco mengajaknya jalan-jalan, Coco selalu berlari pulang. Coco takut berbicara dengan hewan lain. Coco juga malu karena belum bisa berkokok sebaik ayam jago yang lain.

“Setiap hari memang harus berlatih berkokok,” kata Ayah Coco menasehati anaknya.

“Tapi suaraku jelek, Yah,” sahut Coco menundukkan kepalanya.

Ayah Coco mulai berkokok dengan suara nyaring. Terdengar sampai ke seantero desa. Mendengar suara Ayah yang begitu bagusnya, Coco semakin tidak percaya diri. Pertama kali dia berkokok, Ica Bebek yang tinggal di sebelah rumah menertawakannya. Sejak saat itu dia tidak berani lagi berkokok.

“Co, ayo kita mencari cacing,” ajak Kiki, ayam jago sepupunya.

“Di mana?”

“Di hutan dekat sungai.”

“Kan dekat sini bisa. Ibu bilang aku tidak boleh pergi jauh-jauh.”

“Cacing-cacing di sini tidak enak dan kecil-kecil. Nanti kita pulang sebelum sore. Gimana?”

Coco berpikir sebentar. “Baiklah.”

Mereka berdua menyusuri sungai, dan sampailah mereka di hutan yang sepi.

“Kita pulang saja, yuk!” ajak Coco ketakutan.

“Kamu penakut sekali, sih,” gerutu Kiki kesal.

“Bagaimana kalau kita tersesat?”

“Tidak mungkin tersesat. Aku sudah sering ke sini bersama teman-teman.” Kiki terus saja berjalan masuk jauh ke hutan. Coco mengikuti langkahnya.

“Kalau kita dimakan binatang buas?”

“Jangan bicara yang aneh-aneh, Co.” Kiki mulai berjalan sambil mematuki tanah.

“Nah, dapat, kan?” Kiki datang sambil membawa seekor cacing besar di paruhnya.

“Wah, iya. Besar sekali,” seru Coco girang.

Coco ikut mematuki tanah dan menemukan banyak cacing yang gemuk. Mereka berdua makan sampai kekenyangan lalu berbaring di bawah pohon besar. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di langit.

“Wah, mau hujan. Kita harus cepat pulang,” ujar Coco melihat ke atas.

“Sebentar. Jangan buru-buru. Perutku masih penuh, nih.” Kiki mengelus perutnya yang membuncit.

“Tapi mendungnya hitam sekali. Mungkin akan hujan lebat.” Coco mulai khawatir.

Kiki berlambat-lambat sehingga Coco harus menarik sayapnya. Benar juga, hujan turun begitu deras dan mereka berlari supaya segera sampai di rumah. Tapi malangnya, kaki Kiki terperosok ke lubang sehingga dia jatuh terguling. Coco menghentikan larinya dan berteriak memanggil Kiki.

“Kiki, kamu baik-baik saja?” tanya Coco khawatir.

“Kakiku terkilir. Aku tidak bisa berjalan.”

“Coba kepakkan sayapmu.”

“Sayapku berdarah. Tidak bisa dikepakkan,” seru Kiki lemah.

Coco sangat bingung. Bagaimana dengan Kiki? Coco melihat sekeliling. Dia berlari mengambil beberapa daun talas.

“Pakai ini, Ki.” Coco melemparkan daun-daun itu kepada Kiki untuk menutupi kepalanya.

Setelah itu, Coco berlari mencari pohon di dekat situ untuk berteduh. Mereka menunggu berjam-jam sampai hujan berhenti. Ternyata hari sudah sore. Sore hari, ayam sudah tidak bisa melihat lagi. Coco sangat takut mereka akan dimangsa binatang buas jika malam itu mereka tinggal di hutan.

“Jadi, bagaimana ini?” Coco mulai berkaca-kaca.

“Coba kamu mencari pertolongan, Co. Berkokoklah!”

“Aku tidak bisa berkokok,” Coco mulai menangis.

“Kamu bisa. Cobalah! Aku tidak bisa berkokok di lubang ini. Suaraku tidak akan terdengar.”

Coco mengusap air matanya, lalu menarik nafas panjang. Rasanya dia tidak sanggup melakukannya. Tapi bagaimana nasibnya dan Kiki jika dia diam saja? Coco memejamkan matanya lalu mencoba mengeluarkan suaranya. Suaranya begitu pelan dan terdengar sumbang.

“Coba lagi, Co. Lebih keras,” pinta Kiki.

Setelah beberapa kali mencoba, Coco akhirnya mengerahkan segenap kekuatannya untuk berkokok sekeras-kerasnya, senyaring-nyaringnya.

“Iya, benar. Begitu, Co. Ayo berkokok lagi sampai ada yang menolong kita,” seru Kiki gembira.

Coco berkokok berkali-kali dan akhirnya Ayah Ica Bebek datang untuk menolong mereka. Kebetulan Ayah Ica baru saja pulang berenang di sungai bersama teman-temannya dan mendengar suara Coco. Mereka beramai-ramai menolong Kiki dan menggotong Kiki dengan tandu sampai ke rumah.

“Terima kasih, ya, Co. Kamu benar-benar ayam yang pemberani!” puji Ayah Kiki saat mereka sudah kembali ke rumah. Coco tersipu malu. Sejak saat itu dia tidak malu lagi berkokok setiap hari.

*****

 

BIONARASI

Gayatri Jaya Wardani lahir dan dibesarkan di Yogyakarta. Dia suka membaca, menulis, dan traveling. Dia suka mengamati bahasa, masyarakat, dan budaya berbagai negara dan suku bangsa. Silakan follow Instagram @gayatri.jaya.wardani.

 

 

 

 

 

 

 

Tiada ulasan:

TITISAN SUNYI

Titisan Sunyi Karya: Bunga Melor Rintik-rintik hujan, iringi kamar hati sunyi tanpa teman bicara. Senyum kuukir kutatap hujan di jendela sep...

Carian popular