Khamis, 29 Mei 2025

DI BALIK SENYUM YANG RETAK

 DI BALIK SENYUM YANG RETAK

Karya: Agustina Rahman

Namaku Andin. Aku adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Aku menjadi satu-satunya bunga di antara dua karang, membuatku sering disebut paling manis dan menarik. Ibuku telah pensiun, sedangkan ayahku adalah sosok tangguh, seperti baja, selalu bekerja keras tanpa mengenal lelah. 

Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan dasar dan pendidikan tingkat pertama, aku pun memupuk harapan untuk menggapai jenjang yang lebih tinggi. Dengan semangat menggelora, aku memilih salah satu sekolah paling bergengsi dan ternama di kotaku, tempat yang selama ini hanya kulihat dari balik mimpi.

Tiga tahun telah berlalu, namun kenangan itu masih hangat di ingatanku. Betapa senangnya aku bisa menjadi bagian dari sekolah ini, sebuah tempat yang dulu hanya ada dalam khayalanku. Bagaimana tidak? Di tengah gemuruh tawa dan senyum kemenangan kami, terselip air mata dari mereka yang belum beruntung. Harapan mereka terbang tinggi, namun harus jatuh sebelum sempat menyentuh langit.

Hari pertama sekolah akhirnya tiba. Sejak semalam, mataku enggan terpejam, seolah waktu berjalan dengan langkah yang berat. Aku hanya bisa menatap langit-langit kamar, berharap pagi segera mengetuk jendela. Detik demi detik terasa menjelma menjadi jam, dan jam berubah menjadi hari. Pukul 06.30 WITA pun akhirnya datang. Dengan hati berdebar tetapi penuh semangat, aku melangkah menuju gerbang sekolah.

“Hai, perkenalkan, namaku Andin. Aku dikenal sebagai gadis yang ceria, ramah, dan mudah bergaul,” ucapku menyapa teman-teman baruku. Mereka datang dari berbagai latar belakang. Hari-hari kulalui dengan senyum yang tak pernah absen, penuh semangat dan kehangatan. Tentu saja, karena aku sedang hidup di dalam mimpi yang akhirnya menjadi nyata. 

Di kelas itu, aku pernah menjadi matahari kecil—memberi kehangatan bagi yang lain, meski cahayaku tak pernah benar-benar menyilaukan. Tetapi suatu hari, sinar itu meredup. Ia hilang, ditelan awan kelabu bernama ejekan, cemooh, dan tawa yang menyayat seperti pecahan kaca yang menusuk diam-diam.

Entah apa sebabnya, aku sendiri tak benar-benar mengerti. Sikap teman-temanku berubah drastis, seakan dunia mereka berputar 180 derajat. Ada yang tiba-tiba menjaga jarak, ada yang mulai mengganggu dengan candaan yang tak menyenangkan, bahkan ada yang senang menyulut konflik kecil di antara kami. Perlahan, aku merasa terasing. Mereka mulai menyebutku “aneh,” seperti boneka usang yang retak dan tak pantas lagi dipajang, hanya layak disimpan di sudut gelap dan dilupakan.

Setiap hari terasa seperti sandiwara tanpa akhir. Kursiku sering ditarik diam-diam, sepatuku tiba-tiba menghilang entah ke mana, tasku berubah menjadi papan hinaan yang penuh coretan ejekan, dan kotak nasiku kadang sudah kosong sebelum sempat kusentuh. Itu belum semua—masih banyak kejadian kecil lainnya yang menusuk diam-diam, seperti jarum halus yang tak terlihat, namun terasa. 

Awalnya, aku mencoba kuat, pura-pura tak peduli. Tetapi semakin hari, pundakku terasa berat menanggung semua ini. Aku mulai merasa lelah... lelah menghadapi teman-teman yang kini serasa menjadi bayangan gelap.

Suatu hari, aku memberanikan diri membuka hati pada wali kelasku. Dengan suara lirih, aku mencurahkan semua yang selama ini kupendam—yang membuatku merasa seperti orang asing di tempat yang seharusnya menjadi rumah kedua. Beliau mendengarkan dengan sabar, lalu memanggil beberapa dari mereka untuk mencari akar masalahnya. Setelah pertemuan itu, keadaan sempat membaik. Aku merasa lega dan merasa aman. Tetapi itu tak berlangsung lama, semuanya kembali seperti mimpi buruk yang tak ingin kuingat. Mereka menghina, mengejek, merundung, dan bahkan lebih menyakitkan dari sebelumnya. 

Aku tak sanggup lagi. Aku kehilangan rasa percaya diri. Aku berubah menjadi bayangan yang hanya berdiri di tepi kelas, diam nyaris tak terlihat. Suara tawa dan ejekan mereka menusuk perlahan, yang tak melukai kulit tetapi menembus batin. Luka itu tumbuh perlahan, seperti jamur di musim lembap, menyebar, menyelimuti tiap sudut pikiranku. 

Akhirnya, aku berhenti sekolah. Bukan karena aku malas, tetapi karena jiwaku sudah kehilangan daya untuk melangkah. Kakiku terasa berat setiap pagi—bukan karena tumpukan buku di dalam tas, tetapi karena ada beban tak terlihat yang menggantung di punggungku, perasaan bahwa aku tidak berharga. Aku tidak sanggup menatap wajah-wajah yang dulu terasa akrab, tetapi kini tinggal bayang-bayang yang mengejek dalam diam.

Ayah dan ibuku heran bukan main ketika melihatku masih berada di rumah saat seharusnya aku sudah di sekolah. Mereka menatapku penuh tanya, tetapi aku hanya diam membisu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Mereka terus bertanya, satu demi satu, kenapa aku tidak pergi ke sekolah, apa sebenarnya yang terjadi? Tetapi aku tetap diam. Mulutku terkunci, bukan oleh rasa takut, melainkan oleh dinding tebal yang kubangun sendiri di dalam dada. Aku bungkam... diam seribu bahasa, seolah kata-kata telah tenggelam di lautan luka.

Kamarku menjadi tempat pelarian, sunyi dan remang, seperti gua tersembunyi dari hiruk pikuk dunia luar. Di sanalah aku berdiam diri, menjauh dari sorotan mata dan suara yang menusuk. Hanya dinding-dinding itu yang menjadi saksi bisu. Mereka tahu tentang air mata yang jatuh di tengah malam, tentang teriakan yang tertahan di tenggorokan, dan tentang keinginan untuk menghilang perlahan, setenang kabut yang memudar saat matahari terbit.

Setiap pagi, Ibu memanggil namaku. Aku tidak menjawab, diam dalam dunia kecilku yang hening. Sampai suatu malam, Ibu duduk di sampingku. Tak ada amarah di matanya, hanya kehangatan yang menetes perlahan bagai embun di pagi hari. 

“Nak, kalau kamu terluka, katakan,” bisiknya lirih. “Meski lukamu tak terlihat oleh mata, Ibu percaya ia ada. Ibu di pihakmu. Ceritakan apa yang terjadi. Apa yang membuatmu memilih diam? Apa yang teman-temanmu lakukan hingga membuatmu menghilang dari hari-harimu?” Ia menyentuh pundakku, lalu berkata, “Jangan simpan semua sendiri. Jangan biarkan ucapan mereka menjadi rantai yang menahan langkahmu. Anggap saja semua ejekan itu angin lalu, sekadar usil yang tak punya makna.”

Kata-kata Ibu begitu lembut dan menyelinap masuk lewat celah tirai kamarku. Tidak menyilaukan, tetapi cukup hangat untuk menyadarkanku bahwa dunia ini belum sepenuhnya tenggelam dalam gelap. Perlahan, aku mencoba berdiri. Aku ingin kembali ke sekolah. Aku ingin menghadapi semuanya. Kali ini, bukan untuk melawan dengan amarah, tetapi dengan keberanian.

“Ayo, kamu pasti bisa, Tetap semangat, Jangan menyerah,” bisikku pada diriku sendiri. “Hadapi mereka, dan jangan biarkan rasa takut menang lagi.” Aku mulai percaya, meskipun langkahku kecil, itu tetap langkah menuju terang.

Aku membulatkan tekad untuk kembali ke sekolah. Aku ingin menghadapi semuanya, tak ingin lagi bersembunyi dalam bayang-bayang ketakutan. Aku melangkah dengan hati yang masih gemetar, tetapi penuh niat. Setibanya di kelas, suasana berjalan seperti biasa—mereka menyapa dengan caranya masing-masing: ada yang tertawa lepas, ada yang melempar senyum seolah tak terjadi apa-apa, ada pula yang bernyanyi seakan dunia tak menyimpan luka. 

Aku mencoba melawan, menegakkan keberanian yang tersisa. Tetapi ternyata, langkahku masih goyah. Aku belum sanggup... namun aku tidak menyerah. Aku menggantungkan harapan pada sosok guru BK, guru yang selalu mendengar keluh kesahku. Kata-katanya menjadi penyejuk hati dan pengingat bahwa manusia seharusnya saling menguatkan, bukan menyakiti. Beliau datang seperti pelita di ruang gelap, mencoba menuntun dan menyelesaikan kekusutan yang terjadi di kelas. 

Setelah melalui pembicaraan panjang dan pertimbangan matang dari guru BK, wali kelas, serta orang tuaku, akhirnya aku dipindahkan ke kelas lain. Aku melangkah dengan harapan baru—semoga kelas baru ini bukan sekadar ruang berbeda, tetapi tempat di mana luka bisa sembuh dan cahaya bisa tumbuh.

Aku mulai merasa aman—ibarat burung yang akhirnya menemukan sarang setelah terbang dalam badai. Di sini, aku bertemu sahabat yang tak hanya menemani, tetapi juga memberi semangat. Bersama mereka, aku mendapat energi baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Hangat, tulus, dan menguatkan. Hari-hariku kembali terisi dengan cahaya. Aku mengikuti pelajaran dengan penuh perhatian, menjalani ulangan harian dengan semangat, bahkan berhasil menghadapi ujian akhir semester. 

Kini, aku bukan lagi siswa baru. Aku telah berhasil naik ke kelas XI. Langkah kecil yang menandai kemenangan besar atas luka dan ketakutan masa lalu. Itu artinya, aku harus belajar lebih giat lagi, dan menjalani hari-hari dengan semangat serta rasa percaya diri. Setiap hari kulewati dengan hati yang lebih tenang, tak lagi dibayangi rasa cemas yang dulu membelenggu. Aku kembali tersenyum dan kembali ceria. Rasanya seperti menemukan kembali diriku yang sempat hilang di tengah badai.

Hari ini aku belajar mata pelajaran favoritku: Seni Budaya. Aku begitu menyukai seni karena menari adalah hobiku sejak SD. Setiap kali ada acara sekolah, aku selalu tampil di panggung, seperti kupu-kupu kecil yang bebas menari di tengah taman bunga.

Lonceng istirahat berbunyi nyaring dan tegas, aku dan teman-temanku bergegas menuju kantin. Kami berlomba, ingin jadi yang tercepat agar tak harus mengantre panjang dan bisa kembali tepat waktu ke pelajaran selanjutnya. Namun, tanpa kuduga, di tengah langkah cepat menuju kantin, mataku menangkap sosok-sosok familiar—teman-teman dari kelasku yang dulu. Teman-teman yang pernah mengukir luka. Seketika, jantungku berdetak lebih kencang. Bayangan masa lalu kembali menari di benakku, mengoyak kepercayaan diri yang susah payah kuperbaiki. 

Sesampainya di kelas, aku tak sanggup lagi menahan semuanya sendiri. Kata-kata mereka tadi masih terngiang di telingaku—menancap dan menyayat tanpa ampun. Dengan suara gemetar, aku ceritakan semuanya kepada sahabat-sahabatku. Tatapan mereka berubah seketika. Mata yang biasanya teduh kini menyala, dipenuhi amarah yang membara. Wajah mereka menegang. “Kita harus lakukan sesuatu!” seru salah satu dari mereka, suaranya setajam pedang yang terhunus. 

Namun aku menatap mereka dengan mata yang basah, dan pelan aku menggeleng. “Jangan...” suaraku nyaris tak terdengar, tetapi cukup untuk membuat mereka terdiam. “Jangan kalian ikut ke dalam gelapnya dunia yang sedang menelanku.” Aku menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang masih tersisa. “Aku harus bisa berdiri, meski sendirian.”

Waktu seolah membeku. Detik-detik terasa menggantung, berat. Jam pulang masih satu jam lagi, tetapi jiwaku sudah letih, remuk. Aku ingin pulang bukan hanya ke rumah, tetapi ke pelukan ibuku ─ satu-satunya tempat di dunia ini yang terasa benar. Aku ingin menangis tanpa harus menjelaskan. Ingin runtuh tanpa takut dihakimi. Ingin menyampaikan luka hari ini tanpa harus berkata apa-apa—karena aku tahu, dengan satu pelukannya, semua luka akan mulai sembuh perlahan. 

“Kenapa, apa lagi yang terjadi? Ceritakan pada Ibu, Nak. Jangan dipendam sendiri, nanti hatimu bisa terluka.” Ibu memeluk tubuhku erat dan membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. Aku menangis terisak-isak, membiarkan air mata mengalir deras dalam dekapan hangatnya. “Bu, kenapa hidupku selalu dipenuhi kesialan?” tanyaku dengan suara gemetar. Ibu menghela napas dan berkata pelan, “Cukup, Nak. Jangan terus menyalahkan dirimu sendiri. Kadang hidup memang tak selalu ramah, tapi kamu tidak sendiri.”

Aku kembali tenggelam dalam kesedihan. Aku lebih memilih mengurung diri di dalam kamar, menjauh dari dunia luar, dan menolak pergi ke sekolah karena bayangan wajah mereka masih menghantui pikiranku. Hari demi hari berlalu, dan kondisiku semakin memburuk—aku kehilangan nafsu makan, tubuhku melemah, stres, dan akhirnya jatuh sakit. Ibuku hanya bisa menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, hatinya tercabik melihat anaknya yang dulu ceria, kini layu seperti bunga yang kehilangan sinar matahari.

Esokya, Ibu ke sekolah dengan wajah penuh kekhawatiran untuk bertemu wali kelasku. Dengan suara lirih namun tegas, beliau menceritakan keadaanku yang sebenarnya—betapa aku mulai menjauh dari dunia, enggan makan, dan diliputi kecemasan yang tak kunjung reda. Wali kelasku menanggapi dengan anggukan penuh empati, “Terima kasih atas informasinya, Bu. Insya Allah, semua akan kami tindak lanjuti sebaik mungkin.”

Melihat keadaanku yang semakin memburuk dari hari ke hari, Ibu akhirnya mengambil keputusan untuk membawaku ke psikiater. Ia sangat cemas, takut jika beban pikiranku yang terus menumpuk bisa menyeretku ke jurang gangguan mental. Esok paginya, aku diajak ke sebuah tempat yang awalnya terasa asing di mataku. Namun, bukan ruangan dingin dengan bau obat menyengat seperti bayanganku, melainkan tempat yang hangat dan menenangkan, dipenuhi warna lembut, suara yang mengayun pelan, dan tatapan penuh pengertian yang seolah berkata, “Kamu aman di sini.”

Namanya Bu Intan. Ia tidak memaksaku untuk berkata apa pun, hanya menyodorkan selembar kertas putih dan sebatang pensil. Dalam diam, aku mulai menggambar—sebuah kepala dengan mulut terkunci rapat oleh gembok besar. Setiap goresan terasa seperti suara yang tak sanggup keluar. Bu Intan memandangi gambarku sejenak, lalu dengan suara pelan dan penuh makna, ia bertanya, “Kenapa harus dikunci?”

“Karena kalau kubuka... suara-suara itu bisa keluar, aku takut,” ucapku pelan, nyaris seperti bisikan yang tercekat. Bu Intan tidak tertawa—berbeda dari mereka yang dulu menertawakanku tanpa ampun. Ia hanya menatapku dalam, dengan mata yang seolah berkata bahwa aku berarti. Untuk pertama kalinya, aku merasa utuh—bukan barang cacat yang dibuang, tetapi seseorang yang masih punya nilai di dunia ini.

Hari-hari selanjutnya, aku mulai belajar memahami luka-luka yang pernah kuabaikan. Aku menulis—bukan sekadar kata, tetapi tentang pergolakan hebat yang pernah berputar di dalam dadaku, tentang malam-malam sunyi yang terasa dingin menusuk, dan tentang senyum yang selama ini kupakai seperti topeng yang retaknya tak kasatmata. Sedikit demi sedikit, awan kelabu yang dulu pekat mulai memudar. 

Hari ini aku kembali menginjakkan kaki di sekolah. Langkahku pelan, ringan tetapi tak mantap, rapuh namun tetap maju. Beberapa orang masih menatapku dengan pandangan tajam, seolah sedang menilai benda di etalase. Tetapi di antara tatapan-tatapan itu, ada juga sepasang mata yang memandangku seperti sesama manusia—bukan cerita buruk yang harus dijauhi, melainkan seseorang yang sedang mencoba bangkit.

Seseorang menyapaku pelan, “Hai, Andin.” Aku tak menjawab, tetapi kali ini aku juga tak melangkah pergi. Mungkin mereka tak akan pernah benar-benar mengerti tentang riuh pertempuran yang telah lama berlangsung di dalam pikiranku dan tentang malam-malam sepi yang menyesakkan, tentang luka yang tak berdarah tapi menyengat dari dalam.

Namun, aku tak lagi menunggu pemahaman dari mereka. Aku telah berubah. Aku berdiri di sini bukan untuk membalas, melainkan untuk menjadi bukti bahwa luka bisa sembuh, dan jiwa bisa tumbuh kembali. Aku sadar, aku tak butuh izin atau alasan untuk tetap bertahan. Yang terpenting, aku masih di sini—masih berdiri, masih bernapas, dan masih berjuang untuk hidup, meski tertatih. Dan saat aku menoleh pelan ke arah suara itu, aku tersenyum—bukan untuk siapa-siapa, tetapi untuk diriku sendiri. Karena aku tahu, bertahan pun bisa menjadi bentuk keberanian yang paling sunyi.



BIONARASI

Hj. Agustina, S.Pd., M.Pd.  Lahir di Lemoa, Kab. Gowa Sulawesi Selatan, 10 Agustus 1975. Pendidikan terakhir S2 di Universitas Muhammadiyah Makassar. Mengajar di MAN 2 Kota Makassar. Fasilitator Provinsi PKB Guru mapel Bahasa Indonesia 2021-2024 dan Penulis Modul PKB Guru 2023 pada Kementerian Agama. Penulis Antologi Cerita Mistis/Horor (2024), Novel Sepenggal Kisah Kehidupan (2024),  Pentigraf Kanvas Kata Penuh Warna (2024), Antologi Jejak Masa Riuh Kenangan (2025), Penulis Antologi Sumbangsih Pemikiran Para Penulis Indonesia Maju (2025), Antologi Puisi Riuh dalam Sunyi (2025), Antologi Senandung Syair (2025), 99 Cerita Edukasi (2025), Antologi Ramadan Hadiah dari Rabb untuk Kita (2025), Antologi Puisi Bait Terakhir (2025), The Female Muse (2025), dan aktif menulis Puisi dan Cerpen di Blog KGS.



DIAGNOSA DOKTER ITU MENYIKSAKU, TETAPI KUASA TUHAN MENGUBAH SEGALANYA

 DIAGNOSA DOKTER ITU MENYIKSAKU, TETAPI KUASA TUHAN MENGUBAH SEGALANYA

Karya: Irena Balawala




       Mentari selalu pergi kala senja, dan akan kembali memberikan harapan baru di kala terbit. Terbitnya mentari memberikan harapan baru untuk meraih setiap impian,walaupun hari itu tidak selalu cerah. Seperti itulah hidup. Tidak selalu baik, selalu ada warna di setiap hari.

       Senja kala itu sangat menggetarkan hati, ketika anak saya jatuh sakit dan harus mendapat perawatan yang serius. Sebagai orang tua saya memilih tempat terbaik untuk pengobatan anak saya.

Saya dan suami lalu memutuskan untuk membawa anak kami ke klinik tempat dokter spesialis anak melakukan praktek setiap hari. Ketika tiba di sana, kami tidak bisa langsung bertemu dokter, karena harus mengantri bersama pasien lainnya. Setelah menunggu dengan sabar, tibalah giliran kami untuk bertemu dokter. Setelah melakukan pemeriksaan kepada anak kami, dokter lalu menjelaskan tentang sakit yang diderita anak kami. Dokter menjelaskan bahwa anak kami menderita sakit jantung (jantung bocor), kami harus segera ke Rumah Sakit Umum Daerah untuk melakukan rontgen untuk pemeriksaan selanjutnya.

Mendengar apa yang disampaikan dokter, hati saya hancur sekali, serasa hidup ini tidak ada artinya. Bagaimana mungkin anak saya bisa menderita sakit seperti yang divonis dokter. Hati saya kalut, pemikiran saya mulai ke mana-mana. Waktu itu sekitar akhir tahun 2019 dan anak saya baru berumur 2 tahun lebih. Ya Tuhan bagaimana mungkin anak saya yang sekecil ini akan melewati hari-hari selanjutnya dengan sakit yang seperti ini?.

Di tengah kegelisahan hati, saya dan suami lalu membawa anak kami ke Rumah Sakit Umum Daerah untuk melalukan rontgen sesuai dengan apa yang disampaikan dokter. Setelah selesai, kami harus kembali bertemu dokter di klinik tempat prakteknya. Sepanjang perjalanan dari Rumah Sakit Umum Daerah ke klinik tempat praktek dokter spesialis anak, hati saya hancur, pikiran saya tidak tentu arah. Saya menangis sejadi-jadinya sambil memeluk anak saya. Di dalam hati saya berucap Tuhan saya mohon sembuhkan anak saya. 

Saya mulai berpikir sampai dengan kondisi terburuk yang nanti akan dialami anak saya. Saya semakin kencang memeluk anak saya dan menangis sejadi-jadinya. Anak saya menatap saya dengan penuh kebingungan. Dia lalu bertanya, “Mama mengapa menangis?” sambil memeluknya saya menjawab, “mama tidak apa-apa ade.” 

Melihat saya yang terus menangis sejadi-jadinya, suami saya lalu menghentikan kendaraan di jalan dan menguatkan saya. Saya yakin perasaan suami juga seperti saya, tetapi beliau berusaha untuk menenangkan dan menguatkan saya. Beliau katakan kepada saya, “Ah.. kamu kuat berdoa, setiap hari berdoa, kenapa menangis? Kemarin-kemarin yang lebih berat saja bisa dilewati semua, kenapa sekarang dokter baru sampaikan seperti itu langsung menangis? kita masih harus melalakukan pemeriksaan lengkap untuk dapat membuktikan diagnosa dokter tersebut. Berhenti menangis biar kita bisa melanjutkan perjalanan.”

         Mendengar apa yang disampaikan suami, saya lalu menghapus air mata dan mulai menangkan hati dan perlahan-lahan berhenti menangis. Saya teringat akan betapa beratnya proses kehamilan saya pada waktu itu. ketika hamil anak saya, saya mengalami pendarahan sebanyak 2 kali pada usia kandungan 3 dan 5 bulan. Pada usia yang ke 5 bulan, saya mengalami pendarahan yang hebat. Pada waktu itu saya berpikir bahwa saya dan anak saya tidak mungkin selamat. Tetapi karena kehendak Tuhan kami masih bisa menikmati hidup sampai dengan saat ini. Hal itu yang kembali menguatkan saya dan akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan menuju ke klinik tempat dokter spesialis anak melakukan praktek.

Kami pun kembali bertemu dokter dan dokter menjelaskan bahwa kami harus melakukan pemeriksaan lengkap di Kupang, ibu kota Provinsi NTT karena kami tinggal di kabupaten Lembata NTT. Di Rumah Sakit Daerah tempat tinggal kami, belum ada dokter spesialis jantung. Fasilitas juga masih sangat terbatas. Kami lalu mencari waktu terbaik guna mengantar anak kami untuk melakukan pemeriksaan lengkap seperti apa yang disampaikan oleh dokter.

          Mengisi hari-hari sambil menunggu waktu terbaik untuk pemeriksaan selanjutnya, masih ada seribu tanya di dalam hati saya karena gelaja-gejala sakit yang didiagnosa dokter terhadap anak saya tidak terlihat sama sekali. Kondisi anak saya layaknya seperti anak-anak yang lain. Sakitnya juga demam, panas, seperti yang dialami oleh anak-anak yang lain. Anak saya juga sangat aktif. 

Saya tidak pernah mau mencari tahu melalui internet soal sakit yang diderita anak saya seperti yang didiagnosa dokter, tetapi ternyata suami saya diam-diam mencari informasi tentang sakit yang didiagnosa dokter terhadap anak saya di internet. Beliau lalu menjelaskan soal sakit yang didiagnosa dokter terhadap anak saya sesuai informasi yang beliau baca. Hal itu semakin menguatkan saya. Saya selalu berserah diri kepada Tuhan melalui doa-doa saya setiap hari. 

Ketika kami belum menemukan waktu yang tepat, pada awal tahun 2020 virus Covid-19 masuk ke Indonesia. Itu menguburkan niat kami sementara waktu untuk mengantar anak kami menjalani pemeriksaan lengkap di Kupang.

Hari demi hari terus berlalu. Anak saya menjalani hari-harinya seperti layaknya anak-anak yang lain. Lima tahun berlalu sejak diagnosa dokter, tepatnya di akhir  tahun 2024, anak saya jatuh sakit dan harus mendapat perawatan serius, yang akhirnya ia diopname di salah satu rumah sakit swasta di daerah kami. Dokter kembali mengingatkan kami akan diagnosanya 5 tahun yang lalu. Saya mulai tersentak, rasa khawatir mulai menghantui saya. Saya hanya bisa berserah kepada Tuhan di dalam setiap doa saya untuk kesembuhan anak saya. 

Dokter menyampaikan kepada saya dan suami bahwa anak kami harus segera dirujuk ke Kupang untuk pemeriksaan lengkap, sehingga sakit anak kami dapat ditangani dengan serius. Kami lalu mencari waktu yang tepat untuk mengantar anak kami. Berhubung saya dan suami adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) sehingga kami harus mendapat izin terlebih dahulu. Kami mulai mengurus semua berkas untuk rujukan anak kami ke Kupang dan juga urusan perizinan kami.

Hari itu tepatnya hari minggu sekitar pukul 11.00 WITA. Saya mengajak suami  untuk pergi ke pasar membeli sayur-sayuran dan buah-buahan keperluan kami, karena pada hari minggu kami dapat membeli sayur, buah dan keperluan lainnya dengan harga yang sangat murah. Dan seperti biasa, anak saya juga minta ikut bersama kami. 

Ketika sampai di pasar dan membeli semua keperluan kami, tiba-tiba anak saya memanggil saya dan berkata, “Mama kita pulang sudah, saya tidak enak badan.” Saya langsung memanggil suami saya. Kami pun langsung pulang. 

Di dalam perjalanan pulang, badan anak saya lemas. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Saya mulai panik, tetapi saya tetap berdoa di dalam hati. Saya mendaraskan doa Rosario pembebasan sesuai kepercayaan saya. Saya memohon kepada Tuhan untuk memberikan kekuatan kepada anak saya. 

Di tengah perjalanan menuju rumah, saya merasa tubuh anak saya semakin lemah. Saya lalu meminta suami saya untuk langsung ke rumah sakit. Kami sempat berhenti sebentar di jalan karena anak saya muntah. Ya Tuhan saya merasa sudah tidak sanggup melihat kondisi anak saya yang seperti itu. Saya panik luar biasa, badan saya ikut lemas, tetapi di dalam hati saya, saya harus tetap kuat, saya tetap mendaraskan doa di dalam hati. Kami lalu melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit. 

Setibanya di rumah sakit, dokter langsung menangani anak saya. Dokter lalu bertanya kepada saya, “Ibu, ade kenapa? Ibu, ade sakit apa?”

Saya tidak sanggup menjawab pertanyaan dokter. Dokter bertanya sekali lagi. Saya pun menguatkan hati dan menjelaskan tentang diagnosa dokter terhadap anak saya. Dokter lalu mendekat dan berkata, “Ibu jangan panik ya, kasihan anaknya, ibu harus kuat supaya ade juga bisa kuat,”

Ya Tuhan, saya mulai berpikir, selesai kah anak saya? 

Di dalam hati, saya berteriak. Tuhan saya tidak mau, Tuhan tolong sembuhkan anak saya, Tuhan berikan kekuatan untuk anak saya. Entah berapa peristiwa Rosario pembenasan yang sudah saya daraskan.

           Ketika dokter selesai memeriksa anak saya, dokter menyampaikan kepada kami bahwa kondisi anak kami seperti ini bukan karena sakit yang didiagnosa dokter sebelumnya. Dokter lalu menyampaikan kepada saya dan suami bahwa anak kami baik-baik saja. Hasil pemeriksaan semua normal, dan tidak ada gejala-gejala sakit seperti yang didiagnosa dokter sebelumnya. 

Dokter lalu mendekat dan berkata kepada saya, “Ibu, ade tidak apa-apa, mungkin karena cuaca panas jadi ade seperti ini. Ade baik-baik saja, semuanya normal. Ibu boleh bawa ade pulang dan beristirahat di rumah saja.”

Saya sangat kaget dengan apa yang disampaikan dokter. Saya lalu berkata, “Dokter, kondisi anak saya seperti ini, kenapa dokter menyuruh saya membawanya pulang?”

“Ade tidak apa-apa, jadi ade tidak perlu di rawat,” jawab dokter.

Saya lalu memeluk anak saya dan membawanya pulang. Setibanya di rumah, anak saya langsung tidur. Saat bangun, dia sudah segar kembali. Ya Tuhan terima kasih, kataku di dalam hati.

           Awal Februari 2025, kami memutuskan mengantar anak kami untuk pemeriksaan lengkap di Kupang. Setelah tiba di Kupang, keesokan harinya kami harus mengantar anak kami untuk menjalani berbagai pemeriksaan. Malam itu saya tidak bisa tidur. Ketika anak saya tertidur lelap, saya menatapnya. Di dalam hati, saya berkata, Ya Tuhan semoga semuanya baik-baik saja. Saya memeluknya dan menciumnya berkali-kali. 

Hari yang dinanti pun tiba. Pagi-pagi kami sudah meninggalkan rumah tempat kami menginap menuju ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, kami harus mengantri bersama pasien yang lain. Hingga tibalah giliran kami. Pemeriksaan pertama yang anak kami jalani ialah rekam jantung. Ketika selesai pemeriksaan, kami bertemu dokter jantung anak. Dokter menanyakan gejala sakit anak kami sesuai dengan hasil diagnosa dokter sebelumnya. Kami lalu menjelaskan kepada dokter dan dokter menjelaskan kepada kami bahwa hasil pemeriksaan anak kami semuanya baik. Dokter lalu memberikan jadwal untuk pemeriksaan berikutnya yaitu Echo (USG Jantung).Mendengar apa yang disampaikan dokter, saya mulai sedikt lega. 

Ketika tiba waktunya untuk pemeriksaan selanjutnya, rasanya saya tidak sanggup berada di dalam ruang USG. Sejujurnya saya tidak kuat, tetapi saya berusaha untuk menguatkan hati mengantar anak saya ke dalam ruangan itu, meski saya hanya bisa berdiri menunggu dari kejauhan.

Dokter mulai melakukan pemeriksaan. Anak saya kelihatan takut sehingga hasil pemeriksaan tidak maksimal. Dokter lalu memanggil saya untuk mendekat kepada anak saya untuk menguatkan anak saya agar dia tidak takut menjalani pemeriksaan itu. Saya lalu mendekat dan memegang tangan anak saya sambil menguatkan anak saya. Akhirnya pemeriksaan pun berjalan lancar.

Setelah pemeriksaan selesai, dokter lalu menjelaskan kepada kami bahwa hasil pemeriksaan anak kami semua baik. Jantung anak kami sehat, tidak ada masalah sedikitpun. Mendengar apa yang disampaikan dokter, saya senang sekali. Terima kasih Tuhan, terima kasih Tuhan, ternyata anak saya baik-baik saja. Tetapi dokter menyarankan kepada kami untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya Ct Scan untuk lebih jelas dan melihat keadaan pembuluh darah yang lain. Kami pun mengikuti anjuran dokter. 

Waktu pemeriksaan pun tiba. Berdasarkan hasil pemeriksaan itu anak kami dinyatakan sehat. Saya dan suami sangat senang dan bersyukur mendengar apa yang dikatakan dokter. Ternyata anak kami sehat. Terpujilah nama Tuhan, terima kasih Tuhan telah mendengarkan doa-doa kami.

*****


BIONARASI



Nama Lengkap saya Irena Balawala. Saya adalah seorang guru SD yang sudah menikah dan dikaruniai oleh Tuhan 2 orang anak. Yang pertama perempuan dan yang kedua laki-laki. Kisah yang saya ceritakan di atas adalah kisah dari anak saya yang ke-2.

CINTA UNTUKMU

Cinta untukmu 

Karya: Jesica Elfianah

Ibu 

dalam dakapanmu kutemui damai

setiap peluhmu harum seperti kasturi

kasihmu tidak pernah menagih balas

hinggah memberi tanpa henti


Ayah

langkahmu adalah jejak perjuangan 

bisu bibirmu menyimpan ribuan doa

di balik wajah yang jarang menangis 

tersimpan lautan kasih yang tulus dan ikhlas


Ibu dan ayah

kaulah cinta pertama yang ku kenal 

kaulah cahaya di lorong gelap hidupku

tanpamu siapalah aku


Kutulis sajak ini dengan air mata  rindu 

kerana cinta kalian 

lebih luas dari langit

lebih dalam dari laut

dan abadi dalam nafasku


Jesica Elfianah 

SMK penanggah

28/5/2025

JARAK CINTA KITA

 JARAK CINTA KITA

Karya: Ryevialdino Haldan


Ada kamu di ujung sinyal

tapi rasanya tetap jauh

Kita bicara lewat suara

tapi rindu tetap ku pendam


Kadang aku lelah

bukan karena cinta

tapi karena ingin bersandar

dan hanya mendapat layar datar


tapi kita bertahan

dengan janji yang diketik

dengan tawa yang dikirim

dan dengan harapan yang impikan


andai kutitipkan ciuman di awan 

mahukah kau menangkapnya dengan senyuman

sebab meski tubuh tak saling bertemu

namun jiwaku sudah lama menetap di hatimu


SMK PENANGAH

28.5.2025

BAYANGMU DI HUJUNG SENJA

 Bayangmu di hujung senja

Karya: Norbetinelyee binti Profly


Di ufuk senja yang merona jingga

bayangmu hadir dalam tiap cahaya

langkahmu terukir di jalan kenangan

mengiringi rindu yang tak berkesudahan


Angin membawa bisik namamu

menggetarkan hati yang pilu

setiap detik berlalu perlahan

menanti hadirmu dalam harapan


Bintang pun cemburu pada sinarmu

bulan tersipu melihat senyummu

dalam diam aku berdoa

agar cinta ini tak sia-sia


Jika takdir mempertemukan kita

akan ku genggam erat tanpa ragu

namun jika hanya mimpi semata

biarlah kuikhlaskan pemergian mu



Norbetinelyee binti profly

SMK Penangah 

27 Mei 2025

JASAD BENALU MERINGIS

 Jasad Benalu Meringis

Karya: Aksara_Christella



Aku bukan lagi manusia

aku jasad benalu

yang tumbuh menetap

tetapi dari duka yang membiak


Kulitku adalah tanah mati

yang ditumbuhi pucuk-pucuk trauma

Setiap luka menjadi akar

menjalar ke dalam daging

mengikatku ke pohon masa lalu

yang tak pernah sudi tumbang


Aku menumpang hidup 

pada harapan yang tidak lagi bernyawa

Menghisap sisa-sisa cahaya

dari langit yang sudah lupa caranya biru


Aku bernafas

tapi nafas ini bukan milikku lagi—

ia milik luka yang kubela bagai agama

jasad ini dibina dari sunyi yang membatu

berpakaian tangis yang tak bersuara

yang tertawa merintih terseksa


Aku bukan makhluk bebas

aku tumbuhan gelap

yang menjalar di tubuh ingatan

merayap di tulang percaya

hingga segala rasa pun membusuk dalam diam


Dan bila kau lihat aku tersenyum

ketahuilah

itu bukan senyum manusia

Itu adalah kelopak benalu

yang mekar dari jiwaku yang hampir hancur.




Aksara_Christella

27 Mei 2025 

SMK Penangah

TITISAN SUNYI

Titisan Sunyi Karya: Bunga Melor Rintik-rintik hujan, iringi kamar hati sunyi tanpa teman bicara. Senyum kuukir kutatap hujan di jendela sep...

Carian popular