Selasa, 4 Mac 2025

Sesalan dan Keinsafan

 Sesalan dan Keinsafan

Karya: Suci Zalfani Putri



Sore ini, hujan turun deras di luar rumah. Suara petir yang menggelegar membuat setiap orang di dalam rumah berdebar-debar dan merasa takut. Di antara keramaian suara alam, terdengar isak tangis dari sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Fania, seorang gadis berusia sembilan belas tahun, duduk di sudut kamarnya, memandang kosong ke langit yang kelabu. Seakan semua warna kehidupannya telah sirna.

Fania mengingat kembali perjalanan hidupnya, bagaimana ia sampai pada titik ini. Ia adalah anak seorang buruh tani yang telah meninggal dunia setahun yang lalu dan ibunya yang sakit-sakitan. Sejak kepergian ayahnya, Fania merasa beban hidupnya semakin berat. Ia bekerja paruh waktu di sebuah cafe dan melakukan segala sesuatu untuk menghidupi ibunya, namun semua itu hanya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Keinginan untuk meraih impian dan melanjutkan pendidikan tinggi pun terpaksa ia lupakan.

Di satu sisi, Fania selalu merasa bersyukur. Teman-temannya, termasuk Lala dan Jhek, selalu ada untuknya. Mereka saling mendukung, mendorong Fania untuk terus berjuang. Namun, Fania sering merasa iri, melihat Lala dan Jhek yang berprestasi di kampus, sementara ia terjebak dalam rutinitas kerja dan tanggung jawab yang tak kunjung berhenti.

Pada suatu sore, Fania mendapat kabar bahwa Lala dan Jhek akan berpartisipasi dalam kompetisi tingkat nasional. Mereka mengundang Fania untuk bergabung, tetapi Fania merasa tidak layak. “Aku tidak bisa, aku hanya seorang pelayan cafe,” katanya sambil menunduk. Lala dan Jhek berusaha meyakinkannya bahwa bakat dan usaha lebih penting daripada latar belakang, tetapi Fania tetap menolak.

“Kalau begitu, kita akan menunggu kamu di sini. Jangan hilang dari kami,” kata Jhek, tersenyum. Namun, ucapan itu justru semakin menghantui Fania. Dia merasa, semakin terpuruk dalam kesedihan dan ketidakberdayaannya.

         Hari-hari berlalu, dan Fania terjebak dalam rutinitas yang monoton. Ia merasa semakin jauh dari impian. Namun, suatu malam, ketika sedang membuat pesanan, Fania tidak sengaja mendengar percakapan dua pelanggan. Mereka membicarakan tentang pentingnya mengejar mimpi dan tidak menyerah pada keadaan. Kata-kata itu membangunkan satu sisi dalam hati Fania yang telah lama tertidur. Sejak saat itu, setiap kali pulang kerja, ia duduk di depan jendela, memandang bintang-bintang dan merenung. Dia ingin mengubah hidupnya, tetapi bagaimana?

Beberapa hari kemudian, Fania mendengar sebuah audisi untuk program beasiswa di kota. Hatinya bergetar mendengar peluang itu. Tetapi, keraguan kembali menghantui. “Aku tidak punya cukup kemampuan dan aku tidak terlalu pintar,” pikirnya. Tetapi suara dari dalam hatinya berbisik, “Cobalah, Fania. Setidaknya, kamu harus berusaha.”

Dengan penuh keyakinan, Fania akhirnya mendaftar. Dia dihadapkan pada tantangan luar biasa. Mempersiapkan audisi sambil bekerja dan merawat ibunya adalah hal yang sangat melelahkan. Namun, semangatnya tak pernah padam. Dia belajar dari video, mencatat setiap gerakan dan nada yang perlu dibawakan. Setiap malam ia berlatih dengan penuh semangat, meskipun tangisan ibunya kadang menghentikannya sejenak.

Hari audisi tiba. Fania melangkah ke panggung dengan perasaan campur aduk, antara harapan dan ketakutan. Di hadapannya berdiri para juri yang terlihat sangat berpengalaman. Fania menarik napas dalam-dalam, menampilkan semua yang telah dipersiapkan. Suara merdunya menggema di seluruh ruangan, dan untuk sesaat, ia melupakan segala kesulitan hidupnya.

Namun, saat hasil diumumkan, Fania gagal. Hatinya hancur dan semua harapan seolah sirna. Ia kembali ke rumah dengan perasaan yang tidak dapat dijelaskan. Setibanya di rumah, ia menemukan ibunya terbaring lemah. Fania merasa dunia runtuh di hadapannya. Ia pun terus berdoa agar ibunya segera sembuh, tetapi kondisinya semakin memburuk.

         Beberapa minggu setelah gagal audisi, ibunya meninggal dunia. Fania merasa seolah hidupnya kehilangan arah. Sesal dan penyesalan menggigit hatinya. “Seandainya aku lebih berusaha!” teriaknya dalam hati. Ia menyesali semua kesempatan yang terlewatkan, termasuk saat ia menolak ajakan Lala dan Jhek. Dia merasa telah menyia-nyiakan waktu yang sebenarnya bisa membuatnya berhasil dalam meraih mimpinya.

Dalam duka yang mendalam, Fania mulai mengurung diri. Ia menolak untuk bertemu teman-temannya. Namun, Lala dan Jhek tidak menyerah. Mereka datang berkunjung, berusaha menarik Fania keluar dari kesedihannya. “Kami di sini untukmu, Fania. Jangan dipendam sendiri. Bersama-sama kita harus menghadapi ini,” kata Lala.

Dengan dorongan dari sahabatnya, perlahan Fania mulai bangkit. Dia tidak ingin ibunya yang telah pergi kecewa terhadapnya. Ia mulai mengambil langkah kecil untuk membangun hidupnya kembali. Fania memutuskan untuk kembali melanjutkan pendidikan. Dia mencari beasiswa dan mendaftar di program pendidikan jarak jauh (PPJ) yang dilakukan secara daring.

Setiap malam, Fania belajar dengan penuh semangat. Ia berjanji untuk tidak mengecewakan ibu, ayah, dan diri sendiri. Ia menyadari bahwa hidup tidak selalu tentang keberhasilan, tetapi tentang keberanian untuk berjuang meskipun dalam kesulitan.

Beberapa bulan setelahnya, Fania menerima kabar bahagia bahwa ia diterima di salah satu universitas. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Ia merasa bahwa perjuangannya tidak sia-sia. Ia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Ia berjanji pada dirinya untuk berusaha semaksimal mungkin.

Tahun-tahun berlalu, Fania berhasil menyelesaikan studinya dan meraih gelar sarjananya. Dia tidak saja menyelesaikan pendidikan, tetapi juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Ia memberikan bimbingan kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu, agar mereka tidak merasakan kesulitan  yang pernah ia alami. Fania ingin berbagi harapan, menginspirasi generasi penerus agar tidak kehilangan kesempatan.

         Suatu hari, saat mengajar di kelas, Fania bertemu dengan seorang siswa bernama Doni. Doni terlihat memiliki bakat luar biasa, tetapi ia terjebak dalam situasi yang sangat sulit, seperti yang pernah dialami Fania dahulu. Tanpa ragu, Fania memberikan dukungan dan motivasi kepada Doni, dan mendampingi setiap langkahnya.

Fania menceritakan kisah hidupnya pada Doni, bagaimana penyesalan dan keinsafan mengubahnya menjadi orang yang lebih baik. Melalui setiap kata, Fania ingin menanamkan arti pentingnya berjuang meskipun menghadapi kesulitan. Doni terinspirasi dan mulai mengikuti jejak Fania untuk mengejar mimpinya.

Bertahun-tahun kemudian, di tengah hujan yang sama, Fania menemui Doni yang kini telah menjadi seorang dokter. “Terima kasih telah menjadi inspirasi dalam hidupku,” katanya sambil tersenyum. Fania merasakan kehangatan di hatinya. Semua yang ia lewati, semua rasa sakit dan kehilangan itu kini menjadi cerita yang berharga.

Saat melihat kembali perjalanan hidupnya, Fania menyadari bahwa sesalan bukanlah akhir dari segalanya. Keinsafan akan membawa kita pada perubahan. Ia melihat hidup sebagai suatu proses, di mana kita belajar untuk menghadapi setiap rintangan dengan keberanian. Semua takdir yang tampak pahit akhirnya manis, seperti hujan yang menghujani bumi, memberikan kehidupan bagi tanaman dan bunga yang mekar indah.

 

TAMAT

 

BIONARASI

Suci Zalfani Putri yang akrab di panggil Suci, lahir di Muara Bungo, 4 Maret 2006 saya sedang melaksanakan Program Studi PGSD di UMUBA. Saya bukanlah seorang penulis handal tetapi saya memiliki kemampuan menulis cerpen. Nomor WA: 083121436408

 

 

Lira dan Bunga Cahaya

 LIRA DAN BUNGA CAHAYA

Karya : Abby Vancel



Di sebuah negeri jauh, hiduplah seorang gadis peri bernama Lira. Ia tinggal di Hutan Bunga bersama sahabatnya, Kiko, si kelinci. Lira terkenal baik hati dan pemberani.

Suatu hari, Ratu Bidadari mengumpulkan semua peri. 

        "Bunga Cahaya di istana menghilang!" katanya. "Tanpa bunga itu, negeri kita akan gelap selamanya."

Lira ingin membantu. "Aku akan mencari bunga itu, Ratu," katanya yakin.

Ratu Bidadari tersenyum. "Hati-hati, Lira. Bunga itu mungkin dicuri Penyihir Bayangan."

Lira dan Kiko berangkat. Mereka berjalan melewati sungai berkilauan dan pohon tinggi. Saat mereka mencapai Hutan Gelap, udara menjadi dingin dan suram. Tiba-tiba, semak-semak berguncang.

Dari balik semak, muncullah sekelompok kelelawar hitam. Mereka menghalangi jalan Lira. 

        "Tak boleh lewat!" kata salah satu kelelawar dengan suara serak.

Lira mengangkat tongkat sihirnya. "Kami tidak ingin bertarung. Tolong biarkan kami lewat."

  "Tidak!" sahut kelelawar. "Penyihir Bayangan memerintahkan kami menjaga hutan ini."

Lira berpikir cepat. Ia melihat bunga-bunga kecil di sekitar. Dengan sihirnya, ia membuat bunga itu bercahaya lembut. Kelelawar terpesona. Mereka mendekat dan menjadi tenang.

         "Kami suka cahaya ini," kata mereka. "Baiklah, kalian boleh lewat."

Lira dan Kiko melanjutkan perjalanan. Setelah melewati hutan, mereka sampai di Kastil Kabut, tempat tinggal Penyihir Bayangan. Gerbang kastil tertutup rapat.

         "Bagaimana kita masuk?" tanya Kiko.

Lira melihat celah kecil di dinding. "Aku bisa menyusup ke dalam, tapi kamu tunggu di sini, Kiko."

Dengan hati-hati, Lira masuk ke kastil. Ia melihat Penyihir Bayangan sedang memegang Bunga Cahaya di tangannya.

      "Hahaha! Dengan bunga ini, aku akan menguasai seluruh negeri!" katanya.

Lira mengambil napas dalam. Ia harus bertindak cepat. Dengan tongkatnya, ia mengirimkan angin lembut ke arah bunga. Bunga itu terlepas dari tangan Penyihir.

Namun, sebelum Lira bisa menangkapnya, Penyihir Bayangan mengayunkan tongkatnya. Kabut gelap muncul dan menelan bunga itu.

           "Kau pikir bisa mencurinya dariku semudah itu?" ejek Penyihir.

Lira mencoba menyerang dengan cahaya, tetapi sihirnya tidak cukup kuat. Penyihir Bayangan tertawa dan meniupkan angin gelap yang membuat Lira terlempar ke dinding.

Kiko yang menunggu di luar mendengar suara keras. Ia mengintip ke dalam kastil dan melihat Lira terjatuh lemah. 

           "Lira! Kamu baik-baik saja?"

Lira mencoba berdiri, tetapi tenaganya habis. Kiko berpikir cepat. Ia ingat bahwa kelelawar tadi menyukai cahaya. Jika mereka bisa membantunya...

***

Kiko berlari ke hutan dan memanggil kelelawar. 

            "Kalian mau melihat cahaya yang lebih indah?" tanyanya.

Kelelawar tertarik. Mereka mengikuti Kiko ke kastil. Begitu masuk, mereka melihat Penyihir Bayangan dan mengepakkan sayap dengan cepat, menciptakan angin yang meniup kabut hitam.

Lira melihat kesempatan itu. Ia menutup mata, lalu memusatkan pikirannya pada kebaikan dan keberanian. Perlahan, tongkatnya mulai bersinar lebih terang dari sebelumnya. Cahaya itu memenuhi ruangan.

       "Tidak! Tidak!" teriak Penyihir Bayangan. Cahaya itu menghancurkan kabut hitamnya dan mengungkapkan tempat bunga itu disembunyikan.

Lira segera mengambil Bunga Cahaya. Penyihir Bayangan berusaha merebutnya kembali, tetapi kekuatannya melemah. Akhirnya, ia menghilang dalam kilatan cahaya.

Lira berlari keluar kastil dengan bunga di tangannya. Kiko melompat kegirangan. "Kamu berhasil, Lira!"

Mereka kembali ke istana. Ratu Bidadari menerima bunga itu dengan penuh syukur. "Kau telah menyelamatkan negeri kita, Lira!" katanya sambil mengelus kepala Kiko. "Dan kau juga, Kiko. Tanpamu, Lira tak akan berhasil."

Saat bunga diletakkan di tempatnya, cahaya terang menyebar ke seluruh negeri. Langit kembali cerah, dan semua peri bersorak gembira. Sejak hari itu, Lira dikenal sebagai Peri Cahaya. Dan Kiko? Ia menjadi pahlawan kecil yang selalu diingat. Mereka belajar bahwa keberanian dan persahabatan lebih kuat dari sihir jahat.


-- SELESAI --

Kasih Bertaut Kembali


KASIH BERTAUT KEMBALI

 Oleh: AC Jaffrie


         “Nasi dah jadi bubur. Nak menyesal pun dah tak ada guna!” masih terngiang-ngiang suara kasar ayah menempelak di telinga. Aku cuba menahan kesakitan yang amat sangat. Sudah beberapa hari aku terbaring di katil hospital akibat kemalangan jalan raya. Motorsikal yang aku naiki rosak teruk kerana terbabas asbab berlumba motor haram. Saat ini, penyesalan tiada penghujungnya.


       “Sekarang siapa yang susah?” leteran ayah masih bertalu-talu memukul gegendang telinga. Aku sangat tidak selesa apabila menerima leteran demi leteran. Sudahlah seluruh badan aku sakit, ditambah dengan kata-kata kasar daripada ayah, semangat aku jatuh merudum. “Sendiri cari penyakit, sendiri tanggung sakitnya!”
     

        Aku bernama Ismail. Itu kisah kemalangan yang menimpa aku setahun yang lalu. Ketika itu aku berumur 19 tahun. Masa itu aku memang minat sangat dengan aktiviti bermotorsikal. Aku anak lelaki tunggal dalam keluarga. Ayah memberi izin kepada aku menggunakan motorsikal kapcainya. Apabila sudah ada kemahiran menunggang motorsikal, memang aku lenjan motor kapcainya keliling kampung bersama kawan-kawan.  


       Bila sudah seronok, maka timbul idea untuk berlumba motor. Aku dan kawan-kawan sudah sepakat. Maklumlah pada usia yang muda, darah cepat panas. Pantang dicabar oleh kawan-kawan, aku mulalah tidak mahu mengaku kalah. Kebiasaannya kami berlonggok di suatu tempat waktu malam. Sampai berborak dan minum-minum kami mula merancang sesuatu. Setiap kali malam menjelma, aku akan keluar rumah untuk berjumpa dengan kawan-kawan sama hobi ini. Bila sudah buat sekali maka akan ada kali keduanya untuk berlumba. Mulanya sekadar suka-suka tetapi lama-lama sudah menjadi satu kebiasaan pula.


       Pada malam kejadian, aku bersama-sama beberapa orang kawan sepakat mahu melakukan aktiviti lumba motor haram di jalan tar yang baru siap. Ketika itu hujan renyai. Semangat muda kami semua tetap panas membara. Apa yang sudah dirancangkan akan dilaksanakan juga. Tiba masanya, acara berlumba motor akan bermula. Selalunya aku akan digeruni oleh kawan-kawan. Semasa itu, aku memang selalu jadi juara yang sampai dahulu di garisan penamat.


            Betul kata orang tua dulu-dulu. Malang memang tidak berbau. Walaupun kita sudah berhati-hati tetapi kemalangan tetap boleh berlaku dengan sedikit kecuaian. Jalan tar yang ditimpa hujan menjadi licin. Pada selekoh terakhir motorsikal yang aku tunggang terbabas. Akibatnya aku tercampak dan terperesok ke dalam parit di kiri jalan. Kesan hentakan yang kuat membuatkan aku terus hilang ingatan. Sedar-sedar aku sudah terbaring di atas katil hospital. 


     “Kau nak ke mana, Mail? Asal malam saja kau hilang, tak tahu nak duduk rumah!” tukas ayah cuba menasihatkan aku pada malam sebelum kejadian berlaku.


       “Mail nak jumpa kawan kejap. Ada sikit hal nak bincang.” 


Aku sahaja menberi alasan. Kalau aku senyap, makin bertalu-talu pula soalan lain akan ditanya. Bagi aku, ayah memang sengaja tidak mahu faham kehendak orang muda seperti aku. Dahulu ayah juga pernah muda. Kenapa ayah terlalu menyekat apa yang aku mahu buat? Aku tidak mahu menjadi anak yang kurang ajar kepada orang tua. Segala perasaan tidak puas hati aku simpan dalam dada. Kalau marah sekali pun, aku lepaskan di jalan raya. Bila selesai berlumba, perasaan aku sangat lega.


       “Berapa juta projek yang kau nak bincang itu? Ayah dah lama perhatikan kau, bila malam tak lekat di rumah!”


    “Bosanlah hari-hari duduk rumah. Mail keluar jumpa kawan-kawan saja.”


      “Bosan? Kau melepak siang malam tak pula bosan!”


 Ayah berterusan mahu berkeras. Aku menggaru kepala yang tidak gatal. Apa lagi helah yang aku kena buat untuk buat ayah diam? Aku mesti cari alasan supaya ayah benarkan aku keluar jumpa kawan-kawan. Jam dinding di ruang tamu menunjukkan hampir pukul 8.45 malam. Selalunya pukul 9.00 malam kawan-kawan sudah berkumpul di tapak perjumpaan. 


      “Errr… Mail janji balik sebelum pukul 12.00 malam.”


   “Selalunya selagi ayam tak berkokok, mana kau ingat jalan balik rumah!”


     Makin sakit telinga aku mendengar leteran ayah. Ada sahaja jawapannya kalau aku cuba menjawab. Lebih baik aku diam. Diam tidak bermakna aku setuju dengan kata-kata ayah. Kalau melawan nanti dituduh aku anak kurang ajar. Jadinya aku serba salah. Masa berjeda seketika. Akhirnya ayah tenang seketika.


      “Kau nak keluar, sembahyang Isyak dulu.”


     Kata-kata itu buat aku mahu melompat. Sekeras-keras hati ayah, akhirnya dia mengalah juga. Tidak ada seorang ayah mahu anaknya susah. Aku juga faham tetapi demi memuaskan hati sendiri maka aku bukan kesah sangat nasihat daripada ayah. Apa yang penting kehendak diri sendiri tertunai. Dengan berat hati, kaki melangkah menuju ke bilik air untuk mengambil air sembahyang. Cepat aku menunaikan sembahyang Isyak maka cepatlah aku dapat berjumpa dengan kawan-kawan.


         Aku memang ada impian, ada cita-cita dan apa sahaja tentang hidup tanpa memikirkan perasaan orang lain. Bagi aku, apa yang aku lakukan adalah betul. Apa tindakan yang diambil, itulah keputusan yang terbaik. Aku sering mengabaikan nasihat ayah yang sememangnya mengajar tentang erti dan nilai kehidupan yang sebenar. Mungkin pengaruh kawan-kawan sebaya membuatkan aku lebih mempercayai mereka. Keseronokan antara faktor buat aku hanya berfikir untuk diri sendiri. Bila terlalu leka bersama kawan-kawan, tanpa sedar malam sudah jauh berlalu. Situasi ini sudah pasti mengundang leteran daripada ayah keesokan hari. 


        “Waktu subuh dah nak habis, bangun cepat! Inilah bahana balik lambat, tidur lewat!” tukas ayah terus berleter panjang usai pulang bersembahyang subuh dari masjid. “Apa nak jadi dengan kau, Mail?”


    “Hmm… nak bangunlah ni…” ucap aku dengan mata masih terpejam. Rasa malas memang beraja di hati. Kelopak mata pun susah mahu terbuka.


        Aku memang lebih pentingkan diri sendiri. Leteran yang datang akan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Apa yang keluar dari mulut ayah, terpaksa aku hadap. Pahit atau manis terpaksa aku telan. Nasihat ayah umpama mencurah air di daun keladi. Bukan salah ayah kurang mendidik atau memberi kasih sayang tetapi itu yang aku pilih. Aku mahu bebas dengan dunia sendiri. Aku akan buat apa yang aku suka.


       Ayah memang seorang yang tegas. Apa sahaja yang kurang di matanya tentang aku pasti akan ditegur. Cara ayah memang tidak sama dengan cara arwah emak menegur. Emak lebih berdiplomasi tetapi ayah menegur terus tanpa ada kiasan. Cara emak lebih bertolak ansur banding dengan ayah. Mungkin faktor jantina mewujudkan perbezaan ini. Kalau arwah emak masih ada, aku tidak jadi seperti aku yang sekarang. Tiba-tiba aku rindu kepada arwah emak.


         “Kau nak jadi apa? Orang kalau malas pasti ketinggalan. Hidup ini keras!”


      Setiap kali ayah membebel, aku lebih suka mendiamkan diri. Memang bebelan itu umpama nasihat tetapi aku buat-buat tidak faham. Aku mahu mengisi ruang masa muda dengan melakukan perkara-perkara yang menyenangkan hati. Malas aku mahu memikirkan tentang masalah. Masa sekarang lebih penting dari masa depan. Biarlah ayah bising-bising. Ayah memang mahu melihat perubahan dalam diri aku. Cuma aku yang tidak memberi apa-apa reaksi.


        Suatu malam, pernah aku tidur dengan perasaan yang kosong. Aku teringat semula kata-kata ayah tentang hidup di masa depan. Seiring usia yang meningkat maka tanggungjawab kepada diri juga akan meningkat. Betul kata ayah, sekarang aku bujang. Sampai suatu masa aku akan ada keluarga sendiri. Bila sudah berkeluarga pasti akan datang macam-macam cabaran hidup. Kos hidup, masalah kesihatan dan sebagainya akan timbul. Masa inilah kita akan tertekan dan menyesal mengabaikan masa lalu.


        “Selagi ayah ada, boleh ayah bantu. Esok kalau ayah dah tak ada, macam mana?”


       Ayah bukan sahaja risaukan keselamatan aku, malah sangat khuatir tentang masa depan aku. Sikap acuh tak acuh aku membuatkan ayah sentiasa bimbang. Aku lebih memilih mengejar kenikmatan yang bersifat sementara dari memikirkan akibatnya. Aku lebih melihat waktu sekarang dari kesusahan di masa akan datang. Bukan aku tidak sedar tetapi aku memang keras hati dan degil tidak mahu mengikut kata. Kalau ajakan kawan-kawan, cepat sahaja aku bertindak.


      “Malam ini kita jumpa di tempat biasa. Kalau line clear kita rempit!” 


          “Tak ada hal, beres!”


          “Siapa menang ada habuan menanti!”


          “Kalau bukan aku yang menang, siapa lagi!”


          “Belum cuba, belum tahu!”


         Begitulah selalu berlaku. Cabar-mencabar perkara biasa. Apa lagi apabila ada kawan-kawan lain yang memberi api. Semakin meluap-luap semangat hendak berlumba. Walaupun habuannya tidak seberapa, kemenangan itu yang paling penting. Rasa bangga diri tidak terbendung. Timbul juga perasaan ego sebagai seorang juara. Sanjungan dan pujian kawan-kawan buat aku lupa sebentar kepada diri sendiri. 


      Bukan sekali dua aku sudah berlumba motor haram. Bukan semua perkara manis yang aku dapat. Kesan luka dan melecet terjatuh motor juga biasa. Banyak kali juga aku dan kawan-kawan dikejar pihak polis. Setakat yang ada, belum lagi aku tertangkap oleh pihak berkuasa. Malah ayah juga masih belum menghidu kegiatan malam aku dan kawan-kawan. Cuma ayah pernah berpesan supaya jangan membuat perkara yang boleh merugikan diri sendiri.    

   
    Aku tidak pernah terfikir akan melalui detik yang paling menyakitkan dalam hidup. Kemalangan sudah berlaku. Mahu tidak mahu aku terpaksa terima dan tanggung akibatnya. Berbaring di atas katil hospital selama berminggu-minggu buat aku bertambah bosan. Kaki kanan terpaksa disimen kerana retak dan patah. Sakitnya memang tidak tertanggung. Kawan-kawan pun jarang datang melawat. Bukan mereka tidak ingat kepada aku, tetapi takut kena sumpah seranah dengan ayah agaknya. Ayah aku memang tegas dan tidak akan bertolak ansur. 


       “Mana kawan-kawan kau semua? Satu batang hidung pun ayah tak nampak!”


        Sakit hati aku menelan kata-kata ayah itu. Sekarang baru aku tahu siapa yang ada setiap kali ditimpa kesusahan dan musibah. Sebising-bising mulut ayah, dia ayah tetap ada di sisi untuk memberi kekuatan dan semangat. Walaupun caranya keras tetapi itulah hakikat yang aku wajib terima. Hanya pada ayah aku terpaksa bergantung harap dalam keadaan sukar ini. Kawan masa ketawa memang ramai, kawan masa menangis entah pergi ke mana. Semuanya hilang ghaib. 


       Saat inilah aku teringat segala pesan ayah dahulu. Segala yang dikatakan menjadi benar sekarang. Kalau susah kita cari maka susahlah kita mendapat. Kawan-kawan yang ada ibarat air yang mengalir. Masing-masing ada urusan sendiri. Tidak ada masa untuk memikirkan masalah orang lain. Mereka ada dalam hidup tetapi sekadar memandang dan menghulur rasa simpati. Kemalangan ini memang ada hikmahnya. Ini menjadi titik tolak untuk aku melihat pengorbanan ayah melalui mata hati dan fikiran terbuka.


       Ayah tidak pernah meminta apa-apa daripada aku. Dalam apa keadaan sekali pun, ayah tetap ada bersama aku. Dalam marah dia tetap memberi sokongan moral supaya aku kuat melawan sakit yang ada. Ayah tidak mahu aku mengeluh dan menyalahkan takdir. Sakit yang aku dapat adalah pilihan sendiri. Cuba aku tidak berlumba motor haram, tentu kesakitan ini tidak aku tanggung. Cuba aku dengar cakap ayah, musibah ini mungkin tidak berlaku. Nasihat ayah tidak boleh dikesampingkan. Aku mesti berubah.


     Aku akan mendengar segala nasihat ayah. Selain kepada Allah SWT, kepada ayah aku bergantung harap. Pengorbanannya bersama arwah emak memang tidak terbanding membesarkan aku selama ini. Mereka tidak pernah jemu memberi nasihat supaya aku menjadi manusia berguna kepada agama, bangsa dan negara. Cuma aku yang mengeluh dan tidak pernah bersyukur pengorbanan mereka selama ini. Tiada apa yang diminta melainkan sedikit perhatian dan kasih sayang. Impian mereka mahu aku berjaya dunia dan akhirat.


    Aku menyesali segala perbuatan lalu. Aku menyesal kerana mementingkan ego sendiri dan tidak mahu mendengar nasihat ayah. Sesungguhnya, kasih sayang daripada keluarga sangat tinggi nilainya. Sesuatu yang tidak dapat digantikan dengan apa-apa. Penyesalan ini masih belum terlambat untuk mengubah hidup aku di masa depan. Aku akan hargai setiap detik bersama ayah sehingga hayatnya yang terakhir. Aku akan buktikan bahawa masih ada lagi peluang untuk berbakti dan menjadi manusia berguna kepada keluarga dan masyarakat.


       Penyesalan itu memang berat, tetapi ia adalah guru yang terbaik. Ia mengajar aku tentang keinsafan, tentang pentingnya menghargai orang yang kita sayangi, tentang mengutamakan mereka yang selalu berada di sisi kita. Kini, setiap hari adalah kesempatan untuk membuktikan bahawa aku masih anak yang baik untuk keluarga. Aku mahu menjadi seperti kiambang, bila biduk berlalu, kasih bertaut kembali.


****

TITISAN SUNYI

Titisan Sunyi Karya: Bunga Melor Rintik-rintik hujan, iringi kamar hati sunyi tanpa teman bicara. Senyum kuukir kutatap hujan di jendela sep...

Carian popular