Sesalan dan Keinsafan
Karya: Suci Zalfani Putri
Sore ini, hujan turun deras di luar rumah. Suara petir yang menggelegar membuat setiap orang di dalam rumah berdebar-debar dan merasa takut. Di antara keramaian suara alam, terdengar isak tangis dari sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Fania, seorang gadis berusia sembilan belas tahun, duduk di sudut kamarnya, memandang kosong ke langit yang kelabu. Seakan semua warna kehidupannya telah sirna.
Fania mengingat kembali perjalanan hidupnya, bagaimana ia sampai pada titik ini. Ia adalah anak seorang buruh tani yang telah meninggal dunia setahun yang lalu dan ibunya yang sakit-sakitan. Sejak kepergian ayahnya, Fania merasa beban hidupnya semakin berat. Ia bekerja paruh waktu di sebuah cafe dan melakukan segala sesuatu untuk menghidupi ibunya, namun semua itu hanya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Keinginan untuk meraih impian dan melanjutkan pendidikan tinggi pun terpaksa ia lupakan.
Di satu sisi, Fania selalu merasa bersyukur. Teman-temannya, termasuk Lala dan Jhek, selalu ada untuknya. Mereka saling mendukung, mendorong Fania untuk terus berjuang. Namun, Fania sering merasa iri, melihat Lala dan Jhek yang berprestasi di kampus, sementara ia terjebak dalam rutinitas kerja dan tanggung jawab yang tak kunjung berhenti.
Pada suatu sore, Fania mendapat kabar bahwa Lala dan Jhek akan berpartisipasi dalam kompetisi tingkat nasional. Mereka mengundang Fania untuk bergabung, tetapi Fania merasa tidak layak. “Aku tidak bisa, aku hanya seorang pelayan cafe,” katanya sambil menunduk. Lala dan Jhek berusaha meyakinkannya bahwa bakat dan usaha lebih penting daripada latar belakang, tetapi Fania tetap menolak.
“Kalau begitu, kita akan menunggu kamu di sini. Jangan hilang dari kami,” kata Jhek, tersenyum. Namun, ucapan itu justru semakin menghantui Fania. Dia merasa, semakin terpuruk dalam kesedihan dan ketidakberdayaannya.
Hari-hari berlalu, dan Fania terjebak dalam rutinitas yang monoton. Ia merasa semakin jauh dari impian. Namun, suatu malam, ketika sedang membuat pesanan, Fania tidak sengaja mendengar percakapan dua pelanggan. Mereka membicarakan tentang pentingnya mengejar mimpi dan tidak menyerah pada keadaan. Kata-kata itu membangunkan satu sisi dalam hati Fania yang telah lama tertidur. Sejak saat itu, setiap kali pulang kerja, ia duduk di depan jendela, memandang bintang-bintang dan merenung. Dia ingin mengubah hidupnya, tetapi bagaimana?
Beberapa hari kemudian, Fania mendengar sebuah audisi untuk program beasiswa di kota. Hatinya bergetar mendengar peluang itu. Tetapi, keraguan kembali menghantui. “Aku tidak punya cukup kemampuan dan aku tidak terlalu pintar,” pikirnya. Tetapi suara dari dalam hatinya berbisik, “Cobalah, Fania. Setidaknya, kamu harus berusaha.”
Dengan penuh keyakinan, Fania akhirnya mendaftar. Dia dihadapkan pada tantangan luar biasa. Mempersiapkan audisi sambil bekerja dan merawat ibunya adalah hal yang sangat melelahkan. Namun, semangatnya tak pernah padam. Dia belajar dari video, mencatat setiap gerakan dan nada yang perlu dibawakan. Setiap malam ia berlatih dengan penuh semangat, meskipun tangisan ibunya kadang menghentikannya sejenak.
Hari audisi tiba. Fania melangkah ke panggung dengan perasaan campur aduk, antara harapan dan ketakutan. Di hadapannya berdiri para juri yang terlihat sangat berpengalaman. Fania menarik napas dalam-dalam, menampilkan semua yang telah dipersiapkan. Suara merdunya menggema di seluruh ruangan, dan untuk sesaat, ia melupakan segala kesulitan hidupnya.
Namun, saat hasil diumumkan, Fania gagal. Hatinya hancur dan semua harapan seolah sirna. Ia kembali ke rumah dengan perasaan yang tidak dapat dijelaskan. Setibanya di rumah, ia menemukan ibunya terbaring lemah. Fania merasa dunia runtuh di hadapannya. Ia pun terus berdoa agar ibunya segera sembuh, tetapi kondisinya semakin memburuk.
Beberapa minggu setelah gagal audisi, ibunya meninggal dunia. Fania merasa seolah hidupnya kehilangan arah. Sesal dan penyesalan menggigit hatinya. “Seandainya aku lebih berusaha!” teriaknya dalam hati. Ia menyesali semua kesempatan yang terlewatkan, termasuk saat ia menolak ajakan Lala dan Jhek. Dia merasa telah menyia-nyiakan waktu yang sebenarnya bisa membuatnya berhasil dalam meraih mimpinya.
Dalam duka yang mendalam, Fania mulai mengurung diri. Ia menolak untuk bertemu teman-temannya. Namun, Lala dan Jhek tidak menyerah. Mereka datang berkunjung, berusaha menarik Fania keluar dari kesedihannya. “Kami di sini untukmu, Fania. Jangan dipendam sendiri. Bersama-sama kita harus menghadapi ini,” kata Lala.
Dengan dorongan dari sahabatnya, perlahan Fania mulai bangkit. Dia tidak ingin ibunya yang telah pergi kecewa terhadapnya. Ia mulai mengambil langkah kecil untuk membangun hidupnya kembali. Fania memutuskan untuk kembali melanjutkan pendidikan. Dia mencari beasiswa dan mendaftar di program pendidikan jarak jauh (PPJ) yang dilakukan secara daring.
Setiap malam, Fania belajar dengan penuh semangat. Ia berjanji untuk tidak mengecewakan ibu, ayah, dan diri sendiri. Ia menyadari bahwa hidup tidak selalu tentang keberhasilan, tetapi tentang keberanian untuk berjuang meskipun dalam kesulitan.
Beberapa bulan setelahnya, Fania menerima kabar bahagia bahwa ia diterima di salah satu universitas. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Ia merasa bahwa perjuangannya tidak sia-sia. Ia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Ia berjanji pada dirinya untuk berusaha semaksimal mungkin.
Tahun-tahun berlalu, Fania berhasil menyelesaikan studinya dan meraih gelar sarjananya. Dia tidak saja menyelesaikan pendidikan, tetapi juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Ia memberikan bimbingan kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu, agar mereka tidak merasakan kesulitan yang pernah ia alami. Fania ingin berbagi harapan, menginspirasi generasi penerus agar tidak kehilangan kesempatan.
Suatu hari, saat mengajar di kelas, Fania bertemu dengan seorang siswa bernama Doni. Doni terlihat memiliki bakat luar biasa, tetapi ia terjebak dalam situasi yang sangat sulit, seperti yang pernah dialami Fania dahulu. Tanpa ragu, Fania memberikan dukungan dan motivasi kepada Doni, dan mendampingi setiap langkahnya.
Fania menceritakan kisah hidupnya pada Doni, bagaimana penyesalan dan keinsafan mengubahnya menjadi orang yang lebih baik. Melalui setiap kata, Fania ingin menanamkan arti pentingnya berjuang meskipun menghadapi kesulitan. Doni terinspirasi dan mulai mengikuti jejak Fania untuk mengejar mimpinya.
Bertahun-tahun kemudian, di tengah hujan yang sama, Fania menemui Doni yang kini telah menjadi seorang dokter. “Terima kasih telah menjadi inspirasi dalam hidupku,” katanya sambil tersenyum. Fania merasakan kehangatan di hatinya. Semua yang ia lewati, semua rasa sakit dan kehilangan itu kini menjadi cerita yang berharga.
Saat melihat kembali perjalanan hidupnya, Fania menyadari bahwa sesalan bukanlah akhir dari segalanya. Keinsafan akan membawa kita pada perubahan. Ia melihat hidup sebagai suatu proses, di mana kita belajar untuk menghadapi setiap rintangan dengan keberanian. Semua takdir yang tampak pahit akhirnya manis, seperti hujan yang menghujani bumi, memberikan kehidupan bagi tanaman dan bunga yang mekar indah.
TAMAT
BIONARASI
Suci Zalfani Putri yang akrab di panggil Suci, lahir di Muara Bungo, 4 Maret 2006 saya sedang melaksanakan Program Studi PGSD di UMUBA. Saya bukanlah seorang penulis handal tetapi saya memiliki kemampuan menulis cerpen. Nomor WA: 083121436408