Ahad, 23 Mac 2025

TUJUH BATU KERAMAT


Tujuh Batu Keramat 

Oleh: Eko Yuli Priharyanti 




Sungai curam itu, bernama Sungai Jaran. berada di tengah-tengah desa terpencil di perbukitan gersang berbatu di wilayah Jawa Tengah. Sungai ini sangat terkenal di kalangan pecinta batu keramat. 

Konon katanya, barang siapa yang bisa menemukan tujuh batu, berbentuk bulat pipih dengan tujuh warna yang berbeda, maka sepanjang hidupnya akan diliputi kemakmuran. Kabar burung, yang mengguncangkan jagat pencinta batu keramat dan takhayul, tersebar dari mulut ke mulut, dari ponsel ke ponsel, merambah dengan cepat ke penjuru negeri.

Bisa kaya dengan seketika, tanpa harus bekerja keras, itulah dambaan orang-orang malas yang percaya takhayul. Termasuk Saripudin, lelaki berusia 40 tahun itu sangat percaya pada benda keramat dan takhayul. 

Saripudin, ayah satu anak ini tinggal di pemukiman padat penduduk, di kawasan Jakarta Pusat. Ia dan istrinya, Haryati yang biasa dipanggil Ncing Ati. Ncing itu sama seperti bibi atau tante, sedangkan ncang sama seperti om atau paman. 

Mereka mempunyai usaha warung kelontong yang cukup laris, yang populer dengan sebutan warung Ncang Udin. Selain itu mereka juga memiliki beberapa rumah yang disewakan.

Ncang Udin merupakan penduduk asli Jakarta, sedangkan istrinya berasal dari dusun terpencil di daerah Jawa Tengah. Mereka bertemu ketika mereka sama-sama bekerja di suatu pabrik di kawasan Jakarta Utara.

Ncing Ati, seorang wanita yang rajin dan hemat, walaupun tidak sekolah tinggi, namun marketing dan manajemen keuangannya, boleh diacungkan jempol. Berkat istrinya inilah, keluarga Ncang Udin, hidup dalam kecukupan secara finansial.

Ncang Udin juga dikenal sebagai seorang dermawan, ia sering membantu orang yang kesulitan keuangan. Istrinya yang perhitungan dan cerewet itu, terkadang bersungut-sungut, bila ada yang tak mau melunasi utangnya. Namun Ncang Udin menanggapinya dengan santai, “Sudahlah mak, relakan saja! mereka itu sangat kekurangan, toh kita tidak bangkrut kan?”

Ncing Ati hanya bisa cemberut dan kesal mendengar komentar suaminya.

Namun Ncang Udin sangat percaya pada takhayul, seperti batu keramat itu. Ia juga masih sering meninggalkan ibadah Salat, karena lalai dan malas. Itulah yang menjadi sumber masalah dari kehidupannya.

***

Ncang Udin bersama tiga temannya menyambangi dusun terpencil tempat Sungai Jaran berada. Kebetulan dusun itu adalah kampung dari Ncing Ati, jadi mereka bisa menginap di rumah mertua Ncang Udin, selama mencari batu keramat itu.

Pada suatu pagi menjelang siang, di musim kemarau yang kering, mentari sudah bertengger semakin tinggi di cakrawala. Hamburan sinarnya yang panas menyengat seolah membakar bumi. Sesekali terdengar kicauan burung-burung yang bertengger pada pohon-pohon di tepian sungai. Segarnya aroma pedesaan masih tercium walaupun di musim kemarau yang panas.

Saat itu, air di Sungai Jaran sedang surut, terlihat batu-batu besar menjulang ke permukaan sungai. Terdengar suara gemericik air sungai yang mengalir menerpa batu-batu besar di sungai itu. Nampak beberapa orang sedang sibuk mencari sesuatu di sungai itu, termasuk juga Ncang Udin. Mereka sudah sejak pagi-pagi sekali, sudah ada di sungai, namun belum ada seorangpun yang beranjak dari sungai itu. 

Terdengar azan berkumandang tanda orang harus pergi untuk menunaikan ibadah Salat Zuhur, namun mereka hanya menganggapnya sekedar angin lalu saja. Mereka begitu terpaku oleh kesibukan mencari batu keramat itu. Bagi mereka batu keramat lebih berharga dibandingkan pergi untuk ibadah Salat Zuhur. Tidak hanya ibadah Salat Zuhur saja yang mereka abaikan, makan siang pun mereka abaikan.

Matahari mulai tergelincir dari tempatnya bertahta di tengah cakrawala, hamburan sinarnya mulai redup terasa tidak begitu menyengat seperti pada waktu tengah hari tadi. Itu berarti hari sudah menjelang sore, angin sore yang sejuk mulai terasa meliputi kawasan itu. Terdengar kicauan burung dari pohon yang tumbuh di sekitar sungai. 

    “Besok pagi saja kita lanjutkan mencarinya! Aku sudah lelah!” ujar lelaki yang mengenakan topi berwarna merah itu. 

    “Baiklah! kita akan lanjutkan besok pagi!” Teman-temannya pun setuju, kecuali Ncang Udin. Lelaki bertubuh gempal dan berambut agak ikal itu menolak untuk beranjak dari sungai itu. 

    “Aku akan coba mencari sampai matahari terbenam. Kalian pulang ke rumah mertuaku duluan saja!”  ujar Ncang Udin, dia masih penasaran. Pikirnya bila dia mencari sendirian, mungkin batu itu akan ditemukan. 

Terdengar azan berkumandang, memanggil orang untuk bergegas ibadah Salat Asar. Teman-teman Ncang Udin beranjak menjauhi sungai. Tujuan mereka bukan menuju surau, tetapi untuk mampir ke warung makan di sebelah surau. Mereka sudah terbiasa meninggalkan ibadah salat. Kata orang, seperti itulah kelakuan orang yang dinamakan Islam KTP.

****

Saat senja menjelang ke pelukan malam, awan lembayung mulai meliputi cakrawala. Hamburan sinar bernuansa oranye kemerahan mulai melukis langit. Terlihat beberapa burung melintas untuk kembali pulang ke sarangnya, mentari pun bersiap-siap untuk kembali ke peraduannya. Alam raya menjadi redup, hening dan sunyi.

Ncang Udin, terlihat masih sibuk menelusuri batu-batu besar dan kerikil yang terdapat di sungai itu. Sampai seorang lelaki setengah baya mengenakan pakaian hitam dan bercaping tiba-tiba ada di dekatnya, kemudian menegurnya, “Apakah Kisanak kehilangan sesuatu di sungai ini?”  Wajah Ncang Udin, menjadi pucat seketika seolah aliran darahnya berhenti mengalir. “Sejak kapan orang ini ada di dekatku?” pikiran Ncang Udin pun bergosip dengan benaknya. 

Lelaki berbaju hitam dan bercaping itupun nampak tersenyum, kemudian berkata, “Aku sudah sejak pagi tadi telah memperhatikan kegiatan kalian di sungai ini. Namun Aku baru bisa ke sungai ini saat menjelang senja, karena kesibukan di ladangku yang berada di sekitar sungai ini.” 

Wajah Ncang Udin nampak pucat sekali lagi karena orang itu bisa membaca isi kepalanya. Dengan berhati-hati Ncang Udin menjawab pertanyaan kepada lelaki bercaping itu, “Sebenarnya aku tidak kehilangan apapun! Aku hanya sedang mencari tujuh batu keramat di sungai ini.” 

Lelaki bercaping itu tersenyum dan berkata, “Apakah yang Kisanak cari itu, batu berbentuk bulat pipih dengan warna yang berbeda?” 

Sekali lagi Ncang Udin wajahnya menjadi pucat sekaligus gemetar, karena lelaki bercaping itu mengetahui yang dia cari, Kemudian lelaki bercaping itu melanjutkan perkataannya, “Sebenarnya batu itu ada banyak di tempat tinggalku! Kalau Kisanak mau, akan aku berikan dengan cuma-Cuma.” 

Antara percaya dan tidak, Ncang Udin bertanya “Di mana tempat tinggal Kisanak? Aku mau melihat batu-batu itu! Aku ingin tahu apakah batu-batu itu sesuai dengan ciri batu keramat?”

Lelaki bercaping itupun mengundang Ncang Udin untuk ikut ke rumahnya. “Aku sangat senang bila Kisanak, mau berkunjung ke gubukku.” 

Kemudian mereka berjabat tangan dan berkenalan. Keinginan Ncang Udin yang besar untuk memiliki batu-batu keramat, mengalahkan logikanya.

Lelaki bercaping pemilik nama Sudiro itu, mengajak Ncang Udin untuk beranjak dari sungai, menuju tempat tinggalnya sebelum azan Maghrib berkumandang. Mereka berjalan menyusuri tepian sungai, kemudian berbelok ke arah jalan setapak, yang di kiri dan kanan jalan ditanami jagung. Setelah melewati kebun jagung, mereka bertemu dengan jalanan berbatu yang tertata dengan apik dan cukup lebar. Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di rumah lelaki bercaping itu.

Mata Ncang Udin pun terbelalak dan berbinar-binar ketika melihat batu-batu berbentuk pipih dengan warna yang berbeda-beda terhampar di halaman rumah itu. Batu-batu itu fungsinya sama dengan batu kerikil yaitu sebagai penghalang tanah agar tidak becek di kala hujan. 

Ncang Udin segera meneliti batu-batu itu. Satu per satu diamatinya dengan cermat. Betapa senangnya hati Ncang Udin, setelah dia yakin batu itu sama persis seperti ciri-ciri batu keramat yang dia dapatkan dari temannya yang berprofesi sebagai seorang dukun. 

    “Kalau boleh aku tahu, dari Mana Kisanak dapat batu sebanyak ini? Sedangkan aku mencari di Sungai Jaran, dari matahari baru muncul hingga tenggelam, tak satupun aku temukan,” ujar Ncang Udin, sambil matanya tak lepas memandangi batu-batu itu.” 

Sudiro sudah menduga jika Ncang Udin akan bertanya seperti itu. Kemudian dia menjawabnya, “Batu-batuan seperti itu banyak tersebar dekat goa di bukit batu, yang letaknya tak jauh dari sini. Bila Kisanak mau melihatnya, Aku bisa mengantarkannya lain waktu.”

Mata Ncang Udin langsung terbelalak, bagaikan sedang mendapatkan sebongkah berlian dari langit. Jantungnya berdegup keras seakan mau copot karena sangat kegirangan. 

    “Ini sungguh luar biasa! tentu aku sangat senang bila bisa melihatnya,” ujar Ncang Udin dengan ekspresi wajah senang 

Kemudian Sudiro mengajak Ncang Udin untuk masuk ke dalam rumahnya. Rumah Sudiro dengan arsitektur bergaya Jawa Tengah, nampak rapi dan bersih. Ada enam tiang penyanggah rumah yang terbuat dari kayu jati berukir. Atap rumah berbentuk joglo tanpa plafon, jadi nampak kayu jati dan genteng tanah liat, lantai rumah dari batu kali yang disusun dengan rapi. Perabotan di rumah itu semua terbuat dari kayu jati dengan model klasik Jawa Tengah. Secara keseluruhan, rumah itu nampak natural dan artistik. 

Ncang Udin tercengang. Apa yang ada di dalam rumah itu, bukan mencerminkan rumah seorang petani desa, tetapi rumah seorang yang mengerti seni dan keindahan. Seperti seorang arsitek atau penggemar seni. 

    “Baru kali ini aku masuk rumah petani di tengah dusun terpencil, seperti rumah seorang arsitek. Siapakah Kisanak sebenarnya?” tanya Ncang Udin dengan ekspresi ragu.

Sudiro tersenyum ramah agar keraguan Ncang Udin memudar. Kemudian dia menjelaskan bahwa dia hanya seorang petani yang menyukai seni keindahan. Desain rumah dan perabotannya dia tiru dari media online. Sudiro pun bercerita bahwa dia tinggal sendiri di rumah itu, semenjak istri dan anaknya tewas dalam kecelakaan lalu lintas ketika mereka pergi berlibur.

Tak terasa, hari sudah semakin gelap. Ncang Udin minta diri untuk pulang. Sebelum itu Sudiro memberikan oleh-oleh berupa batu-batu keramat yang berjumlah 28 batu, yang dikemas dalam tas anyaman yang terbuat dari pandan tikar. Semua itu untuk Ncang Udin dan ketiga temannya.

Sebelum beranjak dari rumah itu, Sudiro berpesan jangan menengok ke belakang sebelum berjalan sebanyak tujuh langkah. Itu syarat agar selamat tiba di tujuan. Ncang Udin pun menurutinya.

Setelah berjalan tujuh langkah dari rumah Sudiro, maka secara ajaib Ncang Udin sudah tiba di jalan menuju dusun mertuanya. Ncang Udin pun menjadi takjub bercampur bingung. “Luar biasa, ini sungguh di luar nalar!” gumamnya sambil menggelengkan kepala.

Ketika Ncang Udin berjalan menuju rumah mertuanya, terdengar azan dari surau menggema, pertanda orang harus bergegas untuk melaksanakan ibadah Salat Isya. Ncang Udin baru menyadari dia tidak mendengar suara azan Maghrib saat dia berada di kawasan rumah Sudiro. Mungkin di sana tidak ada surau, pikir Ncang Udin.

Rumah mertuanya nampak ramai dipenuhi oleh orang, sepertinya mereka sedang tahlilan. Seketika jantung ncang Udin berdegup kencang, “Ada apakah?” Alam pikiran Ncang Udin mulai bergosip dengan batinnya, membuat dia semakin tidak tenang. 

Ncang Udin masuk melalui pintu belakang. Terlihat di sana ibu mertua dan istrinya sedang menangis. Ncang Udin pun menghampiri mereka, dan bertanya, “Ada apakah?” 

Ibu mertua dan istrinya sangat kaget melihat Ncang Udin, lalu mereka memeluk Ncang Udin. “Syukurlah kamu selamat, Bang Udin!” kata Ncing Ati sambil terus menangis.

Namun, kepala Ncang Udin terasa berkunang-kunang. Kemudian ruangan itu menjadi redup. Dia melihat wajah istri dan mertuanya samar-samar. Suara tangis mereka pun semakin samar, kemudian semuanya menjadi gelap dan menghilang.


***

Cahaya menyilaukan berasal dari lampu ruangan serba putih itu, yang pertama kali dilihat oleh Ncang Udin, ketika membuka matanya. “Dimanakah aku? apakah ini yang disebut alam kubur?” Alam pikiran Ncang Udin bergosip dengan benaknya.

Terdengar suara ribut-ribut dari istri dan anak lelakinya. “Alhamdulillah! Babe sudah sadar. Cepat panggil suster, Nak!” ujar Ncing Ati, dengan ekspresi wajah yang gembira.

    “Alhamdulillah! Baik Mak!” jawab pemuda jangkung dan berambut agak sedikit ikal itu.

Ncang Udin akhirnya tersadar setelah mengalami pingsan selama tiga hari, karena dehidrasi parah. Dia dalam perawatan di rumah sakit kabupaten, tempat mertuanya tinggal. Setelah menjalani pemeriksaan intensif dan dinyatakan seluruh organ dalam tubuh Ncang Udin berfungsi dengan baik, maka Ncang Udin diperbolehkan makan makanan seperti biasa, tidak melalui selang infus lagi.

Sambil menyuapi suaminya, Ncing Ati bercerita kalau Ncang Udin hilang selama dua hari, dua malam. Para tetua desa mengatakan Ncang Udin dibawa orang bunian yang tinggal di sekitar Sungai Jaran karena ia masih berkeliaran di sungai itu saat menjelang Maghrib. Ncang Udin beruntung dipulangkan lebih cepat sehingga tidak mengalami sakit kelainan jiwa bahkan kematian.

Setelah mendengar cerita istrinya itu, Ncang Udin mengeluarkan air mata. Dia sangat menyesal. Akibat kebodohan yang dia perbuat, membuat panik dan merepotkan orang banyak. 

Ncang Udin ingat kalau saat itu dia hanya dua jam berada di rumah orang bunian yang bernama Sudiro. Ternyata di alam nyata dia hilang selama dua hari, dua malam. Tiba-tiba dia ingat lagi pada oleh-oleh dari Sudiro sebelum dia pulang, berupa tas anyaman pandan tikar, yang berisi batu-batu keramat. Ncang Udin menanyakan pada istrinya., “Apakah Emak menyimpan tas dari anyaman pandan tikar yang aku bawa waktu itu?”

    “Oh… tas itu! Aku bawa ke sini karena tak seorangpun berani menyentuh apalagi membukanya.”  Lalu, tas anyaman yang tersimpan di lemari kecil di ruang itu, diberikan kepada suaminya. 

    “Aku juga penasaran isinya apa Be!” ujar anak lelaki Ncang Udin, yang dari tadi sibuk dengan ponselnya.

Ncang Udin membuka tas itu, dan mengeluarkan isinya ke atas kasur yang telah diberi alas kertas koran sebelumnya. Seketika mata mereka pun terbelalak. Lalu Ncang Udin pun tertawa.  Ternyata isinya hanya batu koral biasa berjumlah 28 batu. Mereka pun tertawa bersama.


***

Tengah hari di musim kemarau yang kering, seolah angin pun malas untuk berembus. Saat itu, kawasan pemukiman padat penduduk di Jakarta Pusat diliputi debu dan hamburan sinar mentari yang terik dan menyengat. Nampak Ncang Udin sedang sibuk merapikan sarung dan pecinya. Dia mau pergi ke surau di ujung jalan sempit itu. Ketika azan Zuhur berkumandang, maka Ncang Udin segera melangkahkan kakinya untuk beribadah Salat Zuhur.

Kini Ncang Udin sangat rajin beribadah salat di surau. Dia juga rajin ikut pertemuan pengkajian Al-Quran. Bahkan kini Ncang Udin menjadi donatur utama untuk surau di lingkungannya.

Tahun depan Ncang Udin akan melaksanakan ibadah haji bersama istri dan anak semata wayangnya. Ncang Udin sudah berhenti menjadi pencari benda keramat. Dia juga selalu berusaha menyadarkan teman-temannya agar tidak percaya takhayul. Hidup keluarga Ncang Udin kini menjadi lebih tenang dan bahagia.


*****


Depok, 22 Maret 2025



BIONARASI 

Namaku Eko Yuli Priharyanti. Aku biasa dipanggil Eko Yuli. Seni merangkai kata sudah menjadi hobiku. Aku ingin menekuninya dengan serius, sehingga aku menjadi mahir di bidang ini.


Tiada ulasan:

TITISAN SUNYI

Titisan Sunyi Karya: Bunga Melor Rintik-rintik hujan, iringi kamar hati sunyi tanpa teman bicara. Senyum kuukir kutatap hujan di jendela sep...

Carian popular