Ahad, 23 Mac 2025

SENJA DI UJUNG PENYESALAN

Senja di Ujung Penyesalan

Karya: Nelly Amalia

Keangkuhan dan Harapan

Di sebuah kota kecil yang tak pernah kekurangan sinar mentari, seorang gadis berlari di sepanjang trotoar kampus dengan tawa yang ringan. Rambutnya yang hitam legam melambai diterpa angin, seakan menari bersama langkahnya yang penuh percaya diri. Rania, nama yang disebut dengan kekaguman oleh banyak orang. Ia adalah mahasiswi yang cemerlang, seorang pemimpi yang tak mengenal batas.

Dosen-dosen di kampusnya mengenalnya sebagai murid yang berani beradu argumen, penuh visi, dan tak ragu dalam menyampaikan gagasannya. Di antara teman-temannya, ia adalah bintang yang bersinar terang, selalu menjadi pusat perhatian dalam setiap percakapan. Tawaran beasiswa ke luar negeri sudah menunggunya, dan jalan menuju masa depan yang gemilang terbuka luas di hadapannya.

Namun, keberlimpahan itu menumbuhkan keangkuhan dalam dirinya. Ia percaya bahwa dunia akan selalu bersabar menantinya. Tawaran-tawaran emas yang datang ia anggap bukan sebagai peluang, melainkan sebagai hal yang bisa ia pilih sesuka hati.

“Kenapa harus terburu-buru?” katanya suatu hari pada sahabatnya, Laila. “Aku punya banyak waktu. Kesempatan ini akan selalu ada.”

Laila menatapnya prihatin. “Tidak semua hal bisa menunggu, Rania. Waktu terus berjalan.”

Rania hanya tertawa. Ia merasa dirinya tak akan pernah tertinggal.

Di antara mereka yang mengelilinginya, ada satu sosok yang selalu berdiri di sisi Rania dalam diam, Adrian. Ia bukan pria yang menonjol, bukan seseorang yang selalu berada di pusat perhatian seperti Rania. Namun, dalam kesederhanaannya, ada ketulusan yang tak tergoyahkan. Sejak hari pertama mereka bertemu di bangku kuliah, Adrian telah jatuh cinta pada Rania, bukan hanya pada kecantikannya, tetapi juga pada keberanian dan kecerdasannya.

Namun, bagi Rania, Adrian hanyalah teman. Bahkan, mungkin lebih rendah dari itu. Ia adalah sosok yang membosankan, terlalu sederhana untuk dunianya yang penuh dengan ambisi besar. Ketika Adrian akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaannya, Rania hanya tersenyum tipis dan berkata, “Kau lelaki baik, Adrian. Tapi aku mencari sesuatu yang lebih.”

Dan saat itu, sesuatu di dalam diri Adrian hancur.

Waktu berlalu, dan kesempatan yang dulu ia abaikan perlahan menjauh. Ia masih merasa dirinya istimewa, merasa masih memiliki waktu. Namun, ketika ia mulai menyadari bahwa dunia tidak menunggunya, semuanya telah berubah. Sahabat-sahabatnya telah melangkah maju, Adrian telah menemukan seseorang yang menghargainya lebih dari yang pernah Rania lakukan, dan pintu-pintu yang dulu terbuka kini tertutup rapat.

Kembali ke Masa Kini

Angin berbisik lirih di antara celah jendela yang setengah terbuka, menari bersama tirai yang terkibar lembut. Di luar, langit memerah, seakan terbakar oleh matahari yang bersiap tenggelam di ufuk barat. Cahaya senja merambat perlahan ke dalam kamar sempit itu, menciptakan siluet seorang wanita yang duduk termangu di depan meja rias tua.

Wajahnya pucat, dengan garis-garis usia yang tergambar jelas di kulitnya, bagaikan jejak waktu yang terukir tanpa belas kasih. Rambutnya, yang dahulu hitam lebat berkilauan seperti arang, kini telah memutih, mencerminkan beban tahun-tahun yang telah berlalu. Tangannya gemetar saat ia menyentuh pigura berdebu di atas meja, jari-jarinya yang keriput meraba sosok gadis muda yang tersenyum cerah dalam balutan gaun putih. Gadis itu dirinya, berpuluh tahun lalu—seorang wanita yang dulu hidup dengan penuh keyakinan, menantang dunia dengan impian-impian besar yang menggantung di angkasa. Namun kini, hanya penyesalan yang tersisa.

Ia menghela napas panjang, membiarkan ingatan masa lalu menyeruak ke permukaan. Dahulu, ia bernama Rania. Seorang wanita yang memiliki segalanya, kepintaran, kecantikan, dan kesempatan emas yang terbentang luas di hadapannya. Namun, dalam kesombongan dan kebebasannya, ia meremehkan waktu, menolak kesempatan, dan melukai hati orang-orang yang mencintainya tanpa pamrih.

Mimpi yang Dihancurkan Oleh Kesombongan

Dulu, Rania adalah pusat perhatian. Ia berjalan dengan dagu terangkat, seolah dunia berputar hanya untuknya. Kecantikannya memikat, kecerdasannya mengagumkan, dan bakatnya membuat iri banyak orang. Namun, semua itu hanya menambah kesombongannya.

“Aku tidak butuh orang lain,” katanya suatu hari kepada sahabatnya, Risa, yang menegurnya karena terlalu egois. “Aku bisa mendapatkan apa pun yang aku mau, sendirian.”

Di kampus, ia sering meremehkan teman-temannya. Saat ada diskusi kelompok, ia enggan bekerja sama. “Aku tidak mau nilainya jelek karena kalian,” ucapnya dengan nada ringan, namun cukup tajam untuk menusuk perasaan.

Saat seorang dosen memuji tulisan salah satu temannya, Rania hanya tersenyum sinis. “Biasa saja. Aku bisa menulis yang lebih bagus dalam semalam,” gumamnya pelan, cukup keras agar yang lain mendengarnya.

Ia juga menertawakan mereka yang memilih jalan hidup sederhana. “Kenapa kalian begitu puas dengan hal kecil? Hidup itu untuk menjadi yang terbaik, bukan sekadar cukup.”

Namun, roda nasib berputar. Keangkuhannya membuatnya kehilangan sahabat, peluang, dan akhirnya… segalanya.

Cinta yang Ia Buang

Sore itu, di bawah langit yang mulai meredup, Andrian berdiri di depan Rania dengan mata penuh harapan. Tangannya sedikit gemetar saat ia menyodorkan sekuntum mawar merah, senyum gugup tersungging di bibirnya.

"Rania… aku sudah lama ingin mengatakan ini. Aku menyukaimu, lebih dari sekadar teman. Aku ingin menjadi seseorang yang selalu ada untukmu," ucapnya lirih namun mantap.

Rania menatap mawar di tangannya, lalu mengalihkan pandangan ke wajah Andrian. Sejurus kemudian, ia terkekeh pelan, lalu melipat tangan di dadanya. "Kamu serius, Andrian?" tanyanya dengan nada penuh ejekan.

Andrian mengangguk, matanya berbinar. "Ya, aku serius."

Alih-alih tersentuh, Rania justru menghela napas panjang, seolah permintaan itu adalah beban yang tak perlu. "Andrian, kamu itu baik, tapi… lihatlah kita. Aku dan kamu, jelas berbeda."

Andrian mengernyit. "Apa maksudmu?"

Rania tersenyum miring. "Aku ini punya masa depan cerah. Aku pintar, cantik, dan aku tidak bisa membayangkan hidupku hanya… berakhir dengan seseorang seperti kamu." Matanya menelusuri sosok Andrian, seakan menilai apakah ia layak berada di sampingnya. "Kamu bukan siapa-siapa, Andrian. Aku butuh seseorang yang selevel denganku."

Andrian terdiam, jemarinya mengerat di batang mawar yang masih ia genggam. Ada luka di matanya, tetapi Rania tak peduli. Ia hanya mendengus kecil dan menepuk bahu pemuda itu seolah menghibur seorang anak kecil yang gagal mendapatkan permen.

"Kamu pasti akan menemukan seseorang yang lebih cocok untukmu," katanya enteng, lalu melangkah pergi tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.

Mawar itu jatuh ke tanah, terinjak oleh langkah angkuhnya.

Hubungan yang Hancur dengan Keluarga

Dulu, Rania memiliki keluarga yang selalu mendukungnya. Ayah dan ibunya adalah orang-orang yang sabar, yang meski tak selalu mengerti ambisi putri mereka, tetap berada di sisinya. Mereka tak pernah mengekangnya, hanya sesekali memberikan nasihat dengan harapan Rania tak melupakan akar tempat ia berasal.

Namun, Rania tak pernah benar-benar menghargai mereka. Baginya, dunia terlalu luas untuk dijalani dengan keraguan. Ia terlalu sibuk mengejar mimpinya, melangkah semakin jauh tanpa menoleh ke belakang. Setiap kali ibunya menasihatinya tentang pentingnya menghargai kesempatan dan orang-orang di sekitarnya, ia hanya mengangguk sepintas lalu, tanpa benar-benar mendengarkan.

"Kalian tak perlu khawatir. Aku tahu apa yang aku lakukan," katanya suatu hari dengan nada meyakinkan. Ia tak sadar, di balik senyum ibunya tersimpan kekhawatiran yang tak terucapkan, dan di balik tatapan ayahnya ada kerinduan yang mulai tumbuh.

Waktu berlalu, dan Rania semakin sibuk. Kunjungannya ke rumah semakin jarang, telepon pun hanya sekadar formalitas. Hingga akhirnya, takdir berbicara. Ayahnya jatuh sakit, dan sebelum Rania sempat kembali untuk menemaninya, lelaki itu telah berpulang. Ia menyesal, namun menenangkan diri dengan berpikir bahwa setidaknya masih ada ibunya.

Namun, seperti halnya waktu yang tak bisa dihentikan, kehidupan pun terus berjalan. Ibunya yang dulu kuat mulai rapuh, suaranya yang penuh nasihat kini semakin pelan, dan akhirnya, ia juga pergi. Kali ini, Rania benar-benar sendiri.

Ketika ia ingin kembali ke rumah, rumah itu sudah kosong. Tidak ada lagi suara tawa, tidak ada lagi wangi masakan ibunya yang selalu menyambutnya. Yang tersisa hanyalah perabot tua, dinding yang diam, dan bayang-bayang masa lalu yang terus membayangi dirinya.

Dan di sanalah Rania berdiri, menatap sekeliling dengan dada yang sesak. Seandainya ia bisa mengulang waktu, mungkin ia akan lebih mendengarkan, lebih menghargai, dan lebih sering pulang. Namun kini, yang ada hanya keheningan, yang mengingatkannya pada semua yang telah ia abaikan.

Kesepian yang Menghantui

Waktu berlalu tanpa belas kasih. Tahun-tahun yang dihabiskannya dengan kesenangan semu, pesta-pesta tanpa makna, dan keasyikan mengejar sesuatu yang fana, akhirnya mengantarkannya pada satu hal yang paling ia takutkan—kesepian.

Di usia senja, ia tak memiliki siapa pun. Tak ada tangan yang menggenggamnya saat sakit, tak ada suara yang menyapanya di pagi hari. Tak ada tawa yang mengisi ruang-ruang kosong dalam hidupnya. Orang-orang yang dulu ia abaikan, satu per satu menjauh, meninggalkannya dalam kebisuan yang menyayat.

Ia mencoba mencari kembali jejak yang telah hilang. Namun, kehidupan tak memberinya kesempatan kedua. Orang-orang telah melangkah maju, menutup pintu yang pernah terbuka untuknya, dan tak ada yang menunggu seseorang yang pernah menolak mereka.

Perjalanan Menuju Kesadaran Penuh

Ia memejamkan mata, membiarkan air mata terakhirnya jatuh ke pangkuannya yang sudah renta. Tangannya gemetar saat menyentuh pigura itu, mengusap debu yang menutupi foto-foto masa lalu yang kini terasa seperti ilusi.

Di dalamnya ada wajah Adrian, pria yang dulu mencintainya tanpa syarat, yang pernah berdiri di sampingnya dalam susah dan senang, tetapi kini hanya bayangan di memorinya. Ia ingat bagaimana ia membiarkan egonya merenggut cinta mereka, bagaimana ia memilih ambisinya sendiri dan mengabaikan tangan yang selalu terulur untuknya. Adrian pergi, dan ia tak pernah kembali.

Di sudut lain pigura, ada senyum ibunya—senyum hangat yang dulu sering ia abaikan. Ibunya adalah satu-satunya orang yang selalu menerima dirinya, bahkan saat dunia menolaknya. Namun Rania terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, terlalu sibuk mengejar sesuatu yang bahkan kini tak lagi ia ingat. Hingga suatu hari, ibunya mengembuskan napas terakhir di ranjang rumah sakit, memanggil namanya dalam bisikan lemah yang tak pernah ia dengar karena ia tak ada di sana.

Dan di bagian lain, ada foto sahabat-sahabatnya. Orang-orang yang dulu selalu ada untuknya, yang dulu pernah tertawa bersamanya di bawah langit senja, yang dulu percaya bahwa Rania akan selalu menjadi bagian dari hidup mereka. Tetapi Rania meninggalkan mereka satu per satu, mengabaikan pesan-pesan yang tak sempat ia balas, menghindari pertemuan-pertemuan yang kini tak mungkin lagi terjadi.

Seketika, ia merasa napasnya menjadi berat. Bukan karena usia, bukan karena tubuhnya yang semakin lemah—tetapi karena beban di hatinya yang kian menghimpit.

Ia ingin mengulang waktu. Ia ingin kembali ke hari di mana ia masih memiliki mereka, ingin memeluk ibunya lebih erat, ingin menggenggam tangan Adrian lebih kuat, ingin tertawa sekali lagi bersama sahabat-sahabatnya tanpa rasa takut kehilangan. Tetapi waktu, seperti ombak yang surut, tak akan pernah kembali.

Dan kini, yang tersisa hanyalah dirinya—sendirian, di ruangan sempit yang dingin, ditemani hanya oleh penyesalan yang tak akan pernah membalas tatapannya.

Angin malam berbisik melalui celah jendela, membelai kulitnya yang rapuh. Di luar sana, kehidupan terus berjalan, lampu-lampu kota berkedip-kedip seperti bintang yang tak peduli pada luka di hatinya. Dunia tak berhenti hanya karena seseorang menyesal.

Ia menatap kembali kertas di atas meja rias. “Aku menyesal.”

Dua kata yang tak akan pernah cukup untuk mengembalikan semua yang telah hilang. Dan dalam sunyi yang semakin dalam, ia menyadari sesuatu: Tak ada yang lebih menyakitkan daripada menjadi satu-satunya orang yang masih mengingat semua yang telah pergi. 

Ia ingin tidur. Tetapi ia tahu, tak ada mimpi yang akan menyelamatkannya dari kenyataan ini. Dan perlahan, dalam keheningan yang mencekam, malam pun menelannya.

*****

Tiada ulasan:

TITISAN SUNYI

Titisan Sunyi Karya: Bunga Melor Rintik-rintik hujan, iringi kamar hati sunyi tanpa teman bicara. Senyum kuukir kutatap hujan di jendela sep...

Carian popular