Khamis, 30 Januari 2025

Gerimis Bersahabat Dengan Kenangan

 GERIMIS BERSAHABAT DENGAN KENANGAN


Gerimis turun sebagai bisikan sunyi

menyapa dedaun dengan bahasa hati

ia menari di ranting kenangan

menyulam waktu yang hilang perlahan


Kenangan teman setia meredup

berdiri di ambang senja senyap

setiap titisnya cerita  usang

berbisik tentang rindu yang melayang


Gerimis berbicara pada dahan  layu

"Adakah kau masih ingat saat itu?"

kenangan tersenyum matanya berkabut

mengusap bayang mulai surut


Langit menjadi kanvas pertemuan

awan melukis siluet kerinduan

gerimis menitip pesan pada angin

"Jaga kenangan ini, jangan hilang."


Dan ketika malam menyelimuti bumi

gerimis lenyap dalam dakapan sunyi

namun kenangan tetap berjaga di sisi

menghidupkan semula mimpi-mimpi mati.


KIMS DIWA 

Dataran Bengkoka, Pitas, Sabah 

29 Jan. 2025


BIONARASI


Kims Diwa meminati penulisan semua jenis puisi namun yang paling menonjol ialah penulisan sajak.  Kata-kata pada sebuah sajak mengandung banyak makna dan hal ini membuka ruang kepada pembaca menyampaikan tafsiran masing-masing. Dengan kata-kata, karakter seseorang boleh berubah bergantung cara penyampaian dan penerimaannya.

Risalah Rindu

 ~ Risalah Rindu ~

Oleh: Umi Hanin


Kukumpulkan serpihan malam

Tempat jejak langkahmu menjadi nyala rembulan yang terlambat

Aku dengar suaramu di balik sunyi

Mengalun pelan, seperti doa yang tak selesai diucapkan


Jika kau lukai malam dengan pertanyaan

Aku memintal jawab dalam riuhnya bintang-bintang

Sebab cinta tak butuh kelas

Tak pula memerlukan musim untuk menanam maknanya


Aku melihatmu dari sudut rahasia

Di mana taman itu penuh air mata yang menjelma embun

Jangan malu pada kelam yang tumpah

Sebab ia hanya peluk hangat surga yang tertunda


Bukit lanta telah menjadi saksi

Setiap bisikan yang terpendam

Setiap luka yang kau bungkus

Dengan helai keyakinan


Aku datang bukan untuk mendongak

Tapi menunduk pada keteguhan yang kau simpan

Meski kayuh biduk itu rapuh

Dan samudra memekik dalam amarah senyap


Di tangga kelima itu, aku akan berdiri

Tanpa prasangka, tanpa ragu

Menyeka setiap perih yang kau titipkan pada langit

Dan menjadikannya bait terakhir dari kisah yang kita titipkan pada waktu


Jangan takut menjadi penyair

Sebab puisi-puisimu adalah nyanyian jiwa yang abadi

Dan meski aku bukan Tuhan yang kau panggil

Aku akan tetap berdiri

Menjadi saksi bagi setiap langkah yang kau titipkan pada semesta


Tangerang, 28 Januari 2025




Bionarasi:

Umi Hanin, perempuan kelahiran 22 Juni di Tangerang dan menetap di kota yang sama. Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini pernah belajar di KMO Batch 52, kelas puisi Asqa Imagination School (AIS) dan Ruang Kata (RK).

Semilir Angin Rindu

 SEMILIR ANGIN RINDU

Oleh Syahrul Ramadhan





Kulihat Kamis pagi tanpa mentari, redup dan muram seperti mimpi yang enggan terjaga.

Langit bergelayut mendung, tapi tak satu pun tetes hujan jatuh ke bumi.

Jam dinding di kamar berdetak pelan, memanggil siang yang tiba tanpa jejak fajar.

Waktu berlalu tanpa cahaya, seakan enggan menyinari rindu yang terpendam.


Kubuka jendela, membiarkan angin menyelinap di sela tirai,

Mengusap pipiku dengan dingin yang membawaku ke bayang senyummu.

Ah, senyum itu... bak sinar senja yang jatuh di permukaan danau,

Lembut, hangat, namun meninggalkan riak yang tak kunjung reda.


Oh, Juwitaku!

Baru kemarin lebah menari riang di atas kelopak bunga,

Tapi kini ia melayang-layang gelisah, mencari wangi yang telah menjelma mimpi.

Seperti aku, merindukanmu dalam diam, di bawah langit yang tak bernyanyi.



Tangerang, 30 Januari 2025


BIONARASI

Syahrul Ramadhan, seorang sarjana lulusan Sastra Indonesia yang memiliki minat dan dedikasi dalam bidang bahasa, sastra, dan pendidikan.

Rabu, 29 Januari 2025

Panggilan Lima Waktu

 PANGGILAN LIMA WAKTU

Tarmizi



Lena tebuai selimut kehangatan

Dalam kantuk enggan tuk terbangun

abaikan seruan di penghujung pagi

Panggilan lembut sang ilahi


Siang kian menjelang ditengah keramaian

Kembali Iman teruji dunia yang penuh kesibukan

Waktu terus berlalu tanpa kepastian

Kekosongan jiwa meronta penuh beban


Sang fajar pula kian meredup

Antara jiwa yang sibuk mencari hidup

Kembali terabaikan seruan lembut

Keluh kesah hati yang kelam berkabut


Namun yang berlalu enggan tuk menunggu

Perantara tumpukan semakin membeku

Merenungi hidup kemanakah arah

Dibaluti nafsu jiwa yang resah


Mentuda, 28 januari 2025


BIONARASI

Tarmizi. kelahiran berdarah melayu Kepulauan Riau. Seorang pemuda dengan perjuangan tinggi. Bercita-cita ingin menjadi seorang motivator dan seorang puitis. Mengikuti event puisi dan quotes sambil belajar dan memperdalam ilmu pengetahuan lebih banyak lagi.

TERBAYAR TUNTAS

 TERBAYAR TUNTAS

Syahrul Ramadhan



Rindu…

Kutempuh jalan berliku dari Semarang, Jogja, hingga Cirebon, seperti daun terhempas angin yang mencari pelukan.

Hujan deras menghunjam tubuhku, tapi tak mampu memadamkan nyala rindu ini.

Dari Senin pagi hingga malam merekah, aku hanyut dalam perjalanan, demi membayar hutang pertemuan.


Kau menyambutku di ambang pintu, senyummu bak mentari usai badai.

Hangatnya mengalir ke seluruh tubuhku, mengusir dingin yang menggigit seperti bayang kelabu.

Matamu, cermin langit subuh, menenangkan riak-riak rindu yang menggelegak di dadaku.

Dan wajahmu seperti hujan pertama di tanah kering, melenyapkan dahaga pertemuan.


Bukankah sudah pernah kubisikkan tentang pertemuan ini?

Janji yang kuikat seperti benang merah di pergelangan, akhirnya kucairkan menjadi nyata.

Kita duduk bersama, bertukar cerita seperti burung-burung yang riuh di pagi hari.

Canda dan tawa kita, nyaring bagai lonceng yang berdentang, mengusir hening.

Aku melihatmu, dan kau menatapku, membuat waktu seolah lenyap di antara jarak dan ruang.


Rindu ini, seperti senja yang akhirnya bertemu malam, telah terbayar lunas.

Namun, kepergian esok adalah badai baru, yang menunggu di ufuk langit.


Indramayu, 27 Januari 2025





BIONARASI


Syahrul Ramadhan, seorang sarjana lulusan Sastra Indonesia yang memiliki minat dan dedikasi dalam bidang bahasa, sastra, dan pendidikan. Mencoba menuangkan isi pikiran dan menyampaikan pesan melalui tulisan. Nomor Whatsapp 08989597531

Selasa, 28 Januari 2025

Pengantin Syurga

 PENGANTIN SURGA

Abby Vancel



Teluk Kayutanyo, Sulawesi Tengah. Medio 2009. Di suatu senja yang kering.

Semburat jingga di ufuk barat mulai memudar. Perlahan, mentari menghilang dari pandangan, menyisakan langit yang mulai meredup. Sesekali terdengar cuitan burung Cabak, mengisyaratkan magrib yang segera tiba. Namun, perempuan berkerudung itu masih mematung di pinggir pantai. Dua jam lebih ia berdiri di sana, tak tergerak oleh angin laut yang berhembus kencang. Pikirannya gamang, terombang-ambing seperti arus laut. Tatapannya nanar, terpaku pada batas horizon yang jauh.

Hari ini adalah senja yang ke-360. Sama seperti ratusan senja sebelumnya, ia masih setia menjemput langit jingga di tepi pantai ini. Tak pernah sekalipun ia biarkan senja berlalu tanpa kehadirannya. Baginya, senja bukan hanya pergantian waktu, tetapi sebuah perjumpaan magis. Ia menyematkan asa pada senja, merajut kembali harapan yang telah lama memudar, menyisipkan pesan-pesan rahasia pada alam yang tiada bertepi.

Di tangannya tergenggam sebuah perahu kertas mungil. Perahu itu ia buat dari secarik kertas putih yang bertuliskan bait-bait rindu. Setiap senja, ia melarung perahu itu ke laut, membiarkannya meliuk-liuk di atas arus. Dengan suara lirih, ia mengucap doa dan untaian kata, berharap laut menjadi pengantar pesan yang setia. Tatapannya tak lepas dari perahu yang perlahan menjauh, meliuk diombang-ambing gelombang. Hingga perahu itu tak lagi terlihat, ia tetap menatap dengan mata penuh harap.

Dalam ketidakmungkinan, ia membangun keyakinan bahwa perahu kertas itu akan sampai di Teluk Jakarta. Dalam khayalnya, perahu kecil itu akan berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa dan ditemukan oleh seseorang yang menjadi tujuan dari setiap kalimat rindu yang ditulisnya. Sosok yang ia dambakan hadir kembali, menemaninya menikmati senja seperti dulu kala.

Senja bagi Aisyah adalah perpaduan dari kenangan, kerinduan, kebahagiaan, kesedihan, dan harapan. Ia menyimpan cerita tentang penantian panjang, meski ia tak tahu kapan atau bagaimana penantian itu akan berujung.

Setiap sore, saat sang surya condong ke barat, Aisyah berjalan ke pantai yang hanya berjarak dua puluh langkah dari rumah. Kadang ia berdiri merenung hingga langit berubah gelap, kadang ia duduk di atas batu karang, memandang laut lepas. Ombak menggulung keras, menyentuh kakinya yang semakin dingin. Tetapi ia tak peduli. Semua rasa takut dan kekhawatiran telah ditenggelamkan oleh rasa rindunya.

“Aisyah, pulanglah... sudah magrib!” seruan lantang terdengar dari belakang rumah. Itu suara Indo’ Sitti, ibunya yang renta. Meski panggilan itu menggema, Aisyah tetap terdiam.

“Aisyah… oh Aisyah…” Kali ini suara Indo’ terdengar lebih serak, kalah oleh debur ombak yang menerpa karang. Namun, hati Aisyah yang dirundung gundah tak memungkinkannya untuk menjawab. Ia tetap berdiri, terpaku di bibir pantai.

*****

Dua tahun lalu, di tempat yang sama, kenangan itu bermula. Aisyah menemani seorang lelaki bernama Daeng Iqbal, menyaksikan senja untuk terakhir kalinya.

“Dek, kau tahu kenapa Daeng selalu mengajakmu ke sini?” tanya Iqbal kala itu. Pandangannya tertuju pada langit senja yang berwarna jingga, seolah mencari makna di balik keindahannya.

“Tidak tahu, Daeng,” jawab Aisyah. Ia memiringkan wajah, memandangi lelaki itu. Ada sesuatu dalam dirinya yang selalu tenang saat berada di dekat Iqbal.

“Senja itu seperti kita,” ujar Iqbal dengan nada berat. “Ia indah, tapi sebentar saja. Ia datang tanpa suara, tapi kehadirannya terasa. Esok, senja mungkin tak seindah hari ini. Tapi percayalah, kenangan tentang senja hari ini akan terus hidup.”

Aisyah tersenyum kecil mendengar filosofi yang mengalir dari mulut lelaki itu. Rasa kagumnya pada Iqbal semakin besar. Dalam hatinya, ia merasa telah menemukan seseorang yang mampu membaca pikirannya tanpa kata-kata, seseorang yang menjadi pusat harapannya.

Beberapa saat mereka terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mentari telah kembali ke peraduannya, meninggalkan langit yang semakin gelap. Sebentar lagi malam akan turun, dan bintang-bintang akan menggantikan sinar mentari yang hilang. Di kejauhan, kerlap-kerlip lampu petromaks perahu nelayan tampak berpendar, seperti api yang menari-nari di atas permukaan laut.

“Dek, mungkin ini terakhir kalinya Daeng mengajakmu ke sini…” ucap Iqbal tiba-tiba memecah keheningan. Ia menghela napas panjang setelah mengucapkan kalimat itu, seakan hendak mengusir beban yang menyesakkan dadanya.

“Kenapa berkata begitu, Daeng?” sahut Aisyah dengan nada terkejut, sambil mengernyitkan dahi. Tatapan matanya tertuju dalam-dalam pada wajah Iqbal, penuh tanya.

Iqbal tidak langsung menjawab. Tangannya yang kokoh menggenggam lembut tangan Aisyah. Ia ingin memberi kekuatan pada perempuan yang amat disayanginya itu.

“Besok Daeng akan berangkat ke Pulau Jawa… bekerja di sana,” jawabnya pelan, suaranya menggantung di udara. Iqbal menatap wajah Aisyah, menunggu reaksi dari perempuan berhati lembut yang usianya dua tahun lebih muda darinya itu. Aisyah terdiam sejenak, menundukkan kepala. Air mata mulai menggenang di kelopak matanya.

“Kenapa harus jauh-jauh ke Pulau Jawa, Daeng?” tanya Aisyah, suaranya serak, seolah tak bisa menahan kesedihan yang mengalir dalam dadanya.

“Di sana ada kakak sepupu yang mengajak Daeng bekerja di hotel. Gajinya cukup besar,” jelas Iqbal dengan lembut, mencoba menenangkan Aisyah.

Aisyah tak menyahut, hanya merapatkan tubuhnya ke tubuh Iqbal. Ia menyandarkan kepalanya di atas bahu lelaki itu, seakan mencari kenyamanan di balik kekar tubuhnya. Matanya kosong menatap riak-riak ombak yang lembut membelai pasir pantai. Di dalam dadanya, gelora perasaan bergemuruh, seperti deburan ombak yang tak pernah berhenti.

“Adek tahu kalau Daeng butuh banyak uang untuk melamar Adek… Tiga puluh juta uang panai’ yang diminta keluarga Adek, belum bisa Daeng penuhi,” ucap Iqbal pelan, namun penuh ketegasan. Suaranya bergetar, seolah menahan sesuatu yang sangat menyesakkan.

Aisyah kembali terdiam. Air mata yang semula menggenang perlahan turun, mengalir di kedua pipinya yang mulus. Suara isak tangis yang tertahan, keluar dari bibirnya. Iqbal terkejut, tak menyangka Aisyah akan sesedih itu. Dengan sigap, ia merangkul tubuh Aisyah, mencoba memberi kenyamanan yang kini sangat dibutuhkannya.

“Daeng tahu, Adek pasti berat menerima kenyataan ini. Tetapi, ini jalan yang harus kita lalui. Daeng berharap Adek sabar menunggu sampai Daeng pulang dan mempersunting Adek,” kata Iqbal sambil mengelus lembut kepala Aisyah.

Rambut Aisyah yang bergelombang tampak melambai, tertiup angin laut yang kencang. Iqbal merapikan rambut hitam perempuan itu dengan usapan tangannya yang penuh kasih. Ia juga merasakan kegundahan yang sama seperti yang dirasakan Aisyah, namun ia berusaha menyembunyikannya. Ia harus tegar demi Aisyah, agar perempuan itu merasa tenang dan memahami keputusan yang harus diambilnya.

Meskipun hatinya dipenuhi kesedihan, Aisyah tak bisa mengingkari bahwa ia merasakan kasih sayang Iqbal yang begitu besar. Lelaki itu tak mudah menyerah, selalu berusaha keras demi cinta mereka, meski perjuangan untuk bisa bersama harus tertunda oleh syarat uang panai’ yang begitu tinggi.

Aisyah tahu ia tak bisa berbuat banyak terhadap syarat yang sudah ditentukan keluarga mereka. Baik Aisyah maupun Iqbal, dalam tubuh mereka berdua mengalir darah Bugis yang kental, yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat. Mereka berdua sama-sama memahami hal itu. Karena itu, Iqbal harus memenuhi persyaratan itu, meskipun ia tahu betapa sulitnya mengumpulkan uang panai’ sebanyak itu.

Iqbal pun tak bisa berharap banyak dari kedua orang tuanya. Ayahnya hanyalah seorang nelayan kecil, yang hasil tangkapan ikannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena itulah, dengan hati yang berat, Iqbal menerima ajakan sepupunya untuk merantau ke Jakarta, bekerja di sana, meskipun ia harus berpisah jauh dengan perempuan yang amat dicintainya itu.

Senja di penghujung Juni 2007 itu menjadi senja yang penuh dengan perasaan haru bagi keduanya. Ombak dan karang di pantai menjadi saksi bisu dari besarnya rasa cinta yang mereka miliki. Aisyah mengucapkan janji setia, bersumpah akan menunggu kepulangan Iqbal dari perantauan.

*****

Keesokan harinya, Aisyah bersama kedua orang tua Iqbal mengantarkan kekasihnya itu berangkat ke Jakarta, melalui Pelabuhan Lalong di Kota Luwuk. Iqbal menumpang kapal barang yang akan membawanya menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Perjalanan laut yang memakan waktu sekitar seminggu akan membawa Iqbal menuju kota yang menjadi impian banyak orang—Jakarta, tempat orang datang untuk mengais rezeki dan mengumpulkan pundi-pundi harapan.

Derai air mata Aisyah mengiringi keberangkatan Iqbal. Aisyah tak bisa menahan rasa haru yang semakin menguasai dirinya, saat kapal yang membawa Iqbal mulai bergerak perlahan, meninggalkan Teluk Lalong.

Dari atas geladak kapal, Iqbal melambaikan tangan perlahan kepada Aisyah yang berdiri di dermaga pelabuhan, menatapnya dengan pandangan sendu. Dalam momen itu, keduanya merasa ada sebuah lubang besar di dada masing-masing, seperti sebuah kekosongan yang tiba-tiba muncul, akibat perpisahan yang tak terhindarkan—perpisahan yang memisahkan sepasang kekasih oleh ruang dan waktu.

Nasib dan garis tangan memang tak ada yang dapat diprediksi. Aisyah tak pernah menyangka bahwa hari itu adalah kali terakhir ia bisa melihat sosok lelaki yang sangat ia kasihi. Hari-hari setelah itu menjadi hari-hari yang dipenuhi ketidakpastian, sebuah penantian panjang yang harus dijalani dengan hati yang penuh keraguan.

Sebulan setelah keberangkatan Iqbal ke Jakarta, Aisyah menerima kabar pertama dari lelaki itu lewat sepucuk surat yang dikirim melalui pos. Dalam surat itu, Iqbal mengabarkan bahwa dirinya sudah bekerja sebagai room boy di sebuah hotel bintang lima di bilangan Jakarta Selatan. Bersama sepupunya, Iqbal menyewa kamar kos di daerah Penjaringan, Jakarta Utara, tidak jauh dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Setiap hari, ia menumpang motor sepupunya yang bekerja di hotel yang sama.

Di surat itu pula, Iqbal menyampaikan kerinduan yang begitu dalam kepada Aisyah. Ia berjanji akan bekerja keras agar dalam setahun atau dua tahun ia dapat pulang dengan membawa uang panai' untuk menikahi Aisyah. Mendapat kabar itu, hati Aisyah berbunga-bunga. Ia merasa kerinduannya sedikit terobati. Setiap dua minggu sekali, surat dari Iqbal rutin datang. Hubungan mereka terasa hangat meski jarak memisahkan.

Beberapa bulan kemudian, Iqbal mengirimkan sebuah ponsel untuk Aisyah. Kini mereka dapat berkomunikasi lebih sering melalui pesan dan panggilan telepon. Setiap hari, mereka bertukar kabar, saling mengirimkan kata-kata mesra, dan berbagi kerinduan seperti pasangan yang sedang dimabuk cinta.

Namun, seperti pepatah mengatakan, langit tak selamanya cerah. Pada bulan ketujuh setelah kepergian Iqbal, perubahan mulai terasa. Komunikasi mereka yang semula hangat perlahan merenggang. Pesan Aisyah sering kali tidak direspon, atau jika dijawab, membutuhkan waktu dua hingga tiga hari. Iqbal menjadi dingin. Seringkali ia mengingatkan Aisyah untuk menunaikan salat, hal yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Bahkan, ia mulai mengirimkan nasihat agama, salah satunya tentang kewajiban mengenakan hijab bagi perempuan. Awalnya, Aisyah merasa aneh, tetapi ia tetap berpikiran positif. Ia bersyukur Iqbal tidak terjerumus ke dalam pergaulan negatif ibu kota.

Perubahan Iqbal juga perlahan membawa dampak pada Aisyah. Ia mulai rajin salat dan akhirnya memutuskan untuk mengenakan hijab. Iqbal tentu senang dengan keputusan itu dan mengirimkan beberapa busana muslim untuk Aisyah. Namun, tak lama kemudian, sikap Iqbal kembali berubah drastis. Ia mulai membahas larangan berpacaran dalam Islam. Ketika Aisyah mencoba mencari kejelasan, Iqbal tidak memberikan jawaban memuaskan. Ia justru semakin sering mengirimkan nasihat agama melalui pesan-pesan pendek. Perubahan itu membuat Aisyah resah.

Aisyah mencurahkan kegelisahannya kepada Indo’ Sitti, ibunya, yang menasihatinya untuk bersabar. Indo’ Sitti meyakinkan bahwa perubahan Iqbal adalah bagian dari pencarian jati diri sebagai calon imam. Meski berusaha tegar, hati kecil Aisyah merasa ada yang tidak beres. Perubahan sikap Iqbal terlalu tiba-tiba, seolah ada sesuatu atau seseorang yang memengaruhinya.

Seminggu setelah diskusi mereka tentang larangan berpacaran, Iqbal menghilang tanpa jejak. Ia tidak lagi menghubungi Aisyah. Ponselnya tidak aktif, dan pesan-pesan Aisyah tidak mendapat balasan. Dengan hati hancur, Aisyah mengunjungi orang tua Iqbal untuk mencari kabar. Namun, Ambo’ Dalle dan Indo’ Besse – Ayah dan Ibu Iqbal – mengaku tidak tahu keberadaan anak mereka itu. Aisyah kembali ke rumah dengan perasaan kecewa dan bingung. Indo’ Sitti berusaha menenangkannya dengan menceritakan kisah-kisah perempuan di zamannya yang menghadapi patah hati karena adat. Indo’ Sitti menyarankan Aisyah untuk menuangkan perasaannya ke dalam tulisan.

Aisyah mulai mencatat semua keresahannya di buku harian. Namun, rasa rindunya kepada Iqbal tetap membelenggu. Setiap senja, ia sering pergi ke pantai, membawa tulisan-tulisannya, dan melarungnya ke laut, seolah berharap ombak membawa perasaannya kepada Iqbal.

Waktu terus berjalan. Bulan berganti tahun, tetapi Iqbal tetap hilang tanpa kabar. Hingga suatu hari, dalam sebuah hajatan, Aisyah bertemu dengan Tenri, sepupu Iqbal. Setelah melihat kesedihan yang teramat dalam pada wajah Aisyah, Tenri memutuskan untuk mengungkapkan sebuah rahasia besar.

“Aisyah, apa yang akan Kakak sampaikan ini mungkin berat. Tapi kamu harus kuat,” ujar Tenri dengan nada serius. Aisyah mengangguk lemah, hatinya berdebar-debar menanti penjelasan.

Dengan suara pelan dan penuh hati-hati, Tenri menceritakan semuanya. Orang tua Iqbal sebenarnya mengetahui keberadaan anak mereka tetapi sengaja merahasiakannya. Selama di Jakarta, Iqbal bergabung dengan sebuah komunitas kajian Islam yang cenderung ekstrem. Pemahaman komunitas itu sangat berbeda dengan Islam yang selama ini mereka kenal. Iqbal yang masih muda dan idealis terbawa arus pemikiran kelompok tersebut. Puncaknya, ia direkrut untuk menjadi pelaku “jihad” dalam sebuah aksi bom bunuh diri di hotel tempatnya bekerja.

Aisyah terperanjat mendengar kenyataan itu. Selama ini, ia tidak tahu bahwa hotel yang menjadi sasaran bom adalah tempat Iqbal bekerja. Bahkan, nama pelaku yang diberitakan di televisi bukanlah Iqbal. Ternyata, setelah bergabung dengan komunitas itu, Iqbal mengganti namanya menjadi Abu Uwais. Jasad Iqbal yang hancur akibat ledakan telah dimakamkan di kampung halaman keluarganya di Sulawesi Selatan. Orang tuanya merahasiakan semuanya dari Aisyah, sesuai permintaan Iqbal.

Mendengar semua itu, Aisyah merasa dunianya runtuh. Ia tak kuasa menahan tangis, tubuhnya ambruk dalam pelukan Tenri. Setelah siuman, Tenri mengantar Aisyah pulang. Di rumah, Indo’ Sitti yang mendengar cerita itu juga tak kuasa menahan kesedihan. Namun, ia tetap berusaha menenangkan Aisyah. Dengan lembut, ia menyarankan anaknya untuk menerima kenyataan dan menjadikan cobaan ini sebagai pelajaran hidup.

*****

“Aisyah… di mana kau, Nak?” Suara Indo’ terus terdengar memanggil-manggil Aisyah. Hari semakin malam, dan langit gelap gulita. Bintang-bintang tak tampak lagi, tertutup oleh awan kelabu yang menggantung rendah di langit.

“Aisyah… Aisyah…” Suara-suara panggilan semakin ramai terdengar, bersahutan dari berbagai arah. Warga-warga desa mulai memenuhi pantai Teluk Kayutanyo, beberapa di antaranya membawa obor bambu yang menyala. Mereka mencari Aisyah di antara batu karang dan di balik batang-batang pohon yang terhampar di sepanjang pantai.

Namun, Aisyah tetap tak ditemukan. Perempuan malang itu telah melarungkan dirinya, tenggelam dan terbawa arus laut yang tak bisa dihentikan, bersama perahu kertas yang selalu ia genggam. Sehelai kain putih dengan noda darah yang sudah mengering terikat di pergelangan tangan kanannya. Kain itu bertuliskan, ‘Aisyah Bidadariku’. Itu adalah kain yang sama yang ditemukan terikat pada tubuh Iqbal, tubuh yang hancur setelah menunaikan tugas ‘jihad’-nya.

Kain itu diberikan Tenri kepada Aisyah tiga hari lalu, ketika Tenri mengantarkan Aisyah pulang ke rumah. Tenri berharap sehelai kain itu dapat mengobati kerinduan Aisyah kepada Iqbal yang selama ini telah lama ditunggu.

Kini, Aisyah telah menemui kekasih hatinya di alam lain. Penantian panjangnya telah berakhir. Iqbal menyambutnya dengan senyuman hangat di pintu surga. Tak ada lagi kebutuhan untuk membawa uang panai’ untuk menikahi Aisyah, karena sejatinya mereka kini menjadi sepasang pengantin surga yang abadi.

TAMAT

 

BIONARASI

Abby Vancel adalah seorang penulis yang karya-karyanya sering kali mengangkat beragam tema. Sejak kecil, Abby telah terpesona oleh dunia sastra, dan mulai menulis cerita pendek dan puisi di masa remaja. Ia ingin menyampaikan kisah-kisah yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menggugah pemikiran pembacanya tentang kehidupan sehari-hari yang penuh dengan teka-teki dan makna tersembunyi.

 

 

Hari ini Bukan Akhir Segalanya

 27 Januari 2025



HARI INI BUKAN AKHIR SEGALANYA

Nelly Amalia

Saat mentari perlahan tenggelam di ufuk barat,
Aku berdiri di persimpangan rasa yang berat.
Ada harapan yang tumbuh di sela perpisahan,
Namun juga rindu yang mulai terlukis perlahan.

Langkah kecilku meninggalkan jejak kenangan,
Di ruang hati yang pernah penuh canda dan harapan.
Setiap tawa, setiap tangis, abadi dalam ingatan,
Walau jarak kelak menjadi sekat yang membentang.

Pamit bukan akhir, hanya jeda perjalanan,
Seperti daun gugur yang menanti musim kedatangan.
Kita berpisah untuk merangkai mimpi di tempat lain,
Namun jiwa kita tetap bersua dalam irama angin.

Doa ku titipkan pada setiap hembusan angin,
Semoga langkahmu selalu diberkahi cahaya yakin.
Dan bila waktu mempertemukan kita di masa depan,
Kita sambut dengan hangat, di bawah langit penuh bintang.

 

Bionarasi

Nelly seorang yang senang melukiskan perasaan lewat tulisan, membungkus rasa dalam kata dan menumbuhkan asa lewat pena. Menulis membuat dunia dekat, terasa memeluk asa dan menciptakan yang tiada dalam kata penuh makna. 

Dua Ekor Anak Monyet

 DUA EKOR ANAK MONYET



AC Jaffrie

 

Di pinggir sebuah kampung, ada sekawan monyet. Mereka tinggal di atas pokok-pokok di kawasan hutan berhampiran. Pada waktu pagi mereka akan bergayut riang dari dahan ke dahan. Nyet dan Nyot juga tidak terkecuali.

“Pegang kuat-kuat. Hati-hati, nanti kamu terjatuh,” pesan ibu Nyet dan Nyot.

Nyet dan Nyot terus melompat riang. Dari dahan ke dahan terus berkejaran. Dahan dan ranting pokok tempat mereka bermain. Setiap pagi itulah tempat mereka berdua menghabiskan masa.

“Kami tahu jaga diri, ibu,” ucap Nyot sambil terkinja-kinja di atas dahan.

“Kami sudah biasa bermain di sini,” ujar Nyet pula.

“Kamu berdua mesti berhati-hati. Kalau jatuh kamu juga yang sakit,” beritahu ibu monyet lagi.

Nyet dan Nyot terus bermain. Pesan ibu, mereka tidak ambil peduli. Perasaan mereka hanya mahu bergembira sahaja. Bermain dan terus bermain.

“Ibu mahu pergi cari makan. Kamu berdua jangan ke mana-mana,” pesan ibu monyet.

“Kami nak ikut ibu,” kata Nyet.

“Bosan juga duduk di sini,” sahut Nyot pula.

“Jangan ikut ibu. Kamu masih kecil. Di luar sana banyak bahaya,” jawab ibu monyet.

“Tapi…,” ucap Nyet masih tidak puas hati.

“Dengar cakap ibu. Di sini kamu berdua selamat,” pesan ibu monyet lagi.

Nyet dan Nyot sedikit kecewa. Setiap kali mahu ikut ibu keluar, itu sahaja alasan ibunya. Dunia mereka hanya di atas pokok. Hari-hari bermain dan bergayut di ranting pokok. Mereka teringin menikmati dunia luar. Nyet dan Nyot sudah ada satu rancangan.

“Bosanlah hari-hari main di atas pokok,” kata Nyet kepada Nyot.

“Ya, kita mesti cari tempat lain,” sokong Nyot pula.

“Kita nak pergi mana?” soal Nyet tidak sabar.

“Dengar cerita, tepi hutan ini ada kebun pisang. Kalau nasib baik, dapat makan pisang yang masak ranum,” jawab Nyot memberi cadangan.

Nyet dan Nyot sudah sepakat. Mereka berdua mahu pergi ke kebun pisang yang dimaksudkan. Mereka sangat seronok dan gembira. Selepas penat bermain, mereka boleh menikmati pisang yang masak ranum.

Sudah agak lama ibu monyet keluar mencari makan. Inilah masanya Nyet dan Nyot mulakan rancangan mereka. Nyet dan Nyot lupa pesan ibu mereka. Mereka membayangkan keseronokan bermain di tempat baru.

“Kamu berdua mahu ke mana?” tegur Upai, tupai tanah yang sama menghuni di atas pokok tempat Nyet dan Nyot tinggal.

“Kami mahu pergi bermain. Kami sudah bosan bermain di sini,” ucap Nyet kepada Upai.

“Kami mahu ke kebun pisang di hujung sana,” kata Nyot pula.

“Di situ banyak bahaya. Salah langkah kamu akan masuk perangkap,” beritahu Upai lagi.

“Kami sudah besar. Pandailah kami jaga diri,” ujar Nyet terus meninggalkan Upai.

Cuaca semakin panas. Nyet dan Nyot seronok bermain di dalam kebun pisang. Mereka melompat dari pelepah daun ke pokok yang lain. Sampai satu ketika, mereka berdua kelaparan.

“Perut sudah lapar, mari kita cari makanan,” kata Nyet bersuara.

“Mari kita cari pisang yang masak ranum,” ujar Nyot memberi cadangan.

Nyet dan Nyot berjalan di dalam kebun pisang. Akhirnya mereka bertemu dengan pokok pisang yang berbuah. Dalam setandan pisang itu ada sesisir pisang yang sudah masak ranum. Mereka sungguh gembira.

Nyet dengan pantas melompat dan mendapatkan pisang yang ranum itu. Manakala Nyot menunggu di bawah pokok. Pisang yang diambil dicampak ke tanah. Nyot makan dengan gelojoh kerana sudah lapar.

Kini masa untuk mereka pulang ke hutan. Tiba-tiba kaki Nyet tersangkut pada seutas tali. Dengan pantas tali itu menyentap kaki Nyet. Nyet sudah terkena perangkap yang dibuat oleh petani. Dia meraung meminta tolong.

“Tolong! Tolong lepaskan saya!” jerit Nyet ketakutan.

Nyot cukup terkejut. Dia berlari meninggalkan Nyet. Dia mahu menyelamatkan diri. Sampai di pokok, dia bertemu Upai. Upai hairan melihat keadaan Nyot.

“Tolong Upai! Nyet sudah kena perangkap!” ucap Nyot tercungap-cungap.

Upai turut terkejut. Nyawa Nyet dalam bahaya. Dia mahu membantu melepaskan Nyet sebelum petani datang ke kebun waktu petang. Upai dan Nyet segera ke kebun pisang.

Sampai di kebun pisang, Upai segera menggigit tali yang mengikat kaki Nyet. Giginya yang tajam segera memutuskan tali itu. Akhirnya Nyet dapat diselamatkan. Mereka bertiga segera meninggalkan kebun pisang.

“Terima kasih, Upai. Kamu sudah selamatkan saya,” ucap Nyet sedih.

“Tempat itu bahaya. Perangkap ada di mana-mana. Sebab itu ibu kamu larang turun ke tanah,” nasihat Upai kepada Nyet dan Nyot.

“Kami berdua menyesal. Lain kali kami akan dengar cakap ibu,” jawab Nyot.

“Kami tidak akan nakal lagi,” janji Nyet pula.

Nyet dan Nyot kembali bermain di atas pokok. Tempat itu lebih selamat. Mereka bebas melompat dan bergayut dari dahan ke dahan. Semua pesan ibu akan disemat di dalam hati.   

      

Isnin, 27 Januari 2025

Pelajaran Untuk Jovi

 

PELAJARAN UNTUK JOVI

Abby Vancel

Alkisah, di sebuah rumah kecil, tinggal tiga kucing bersaudara: Jovi, Joy, dan Jesi. Mereka hidup bahagia bersama pemilik mereka yang baik hati, Mbah Surti.

Namun, Jovi si sulung merasa kurang puas. Ia sering melihat ke arah rumah besar di seberang jalan. Di situ, tinggal Si Belang dan saudara-saudaranya. Rumah itu punya taman luas dan air mancur. Pemiliknya sering mengajak kucing-kucing itu jalan-jalan naik mobil.

“Joy, kenapa kita tidak tinggal di rumah besar seperti mereka?” tanya Jovi.

“Karena di sinilah rumah kita. Di sini kita lahir dan dirawat Mbah Surti,” jawab Joy.

“Tapi mereka punya kalung cantik dan makan makanan enak setiap hari. Mereka juga sering jalan-jalan pakai mobil,” kata Jovi dengan mata berbinar.

Jesi Si bungsu yang sedang bermain bola benang ikut berbicara, “Kita punya cukup makanan dan tempat tidur nyaman. Itu sudah cukup, Kak.”

Namun, Jovi tetap ingin hidup di rumah mewah itu. Tanpa memberitahu saudaranya, ia merencanakan untuk menyelinap ke rumah itu.

Malam itu, saat bulan bersinar terang, Jovi melompati pagar rumah besar. Di sana, ia bertemu Si Belang yang sedang bersantai di sofa.

“Hei, kenapa kamu ada di sini?” tanya Si Belang kaget.

“Aku ingin tinggal di sini. Rumah kalian besar dan penuh hal menyenangkan. Aku ingin hidup seperti kalian,” jawab Jovi sambil merebahkan diri di sofa.

Si Belang mengangguk meski ragu. Sejak malam itu, Jovi mulai tinggal di rumah besar. Ia menikmati makanan lezat, sofa empuk, dan halaman yang luas.

*****

Suatu hari, pemilik rumah itu membawa Si Belang dan saudara-saudaranya pergi tamasya. Jovi ditinggal untuk menjaga rumah. Walaupun merasa kecewa, Jovi senang bisa menjelajahi setiap sudut rumah. Ia bermain di kolam renang, melihat air mancur, dan mencoba mini teater.

Setelah puas bermain, Jovi merasakan perutnya mulai keroncongan. Ia pergi ke dapur dan menemukan ikan di meja dapur. Jovi memakannya dengan lahap.

Beberapa saat kemudian, perutnya terasa sakit. Ia muntah-muntah. Jovi tidak tahu kalau ikan itu diberi racun untuk mencegah tikus.

Jovi lalu sadar di rumah itu tak ada siapapun yang bisa menolongnya. Saat itulah, ia teringat kedua adiknya.

Dengan sisa tenaga, Jovi pulang ke rumah kecil mereka. Joy dan Jesi terkejut melihat kakaknya pulang dengan kondisi lemah.

“Kak Jovi dari mana saja, pulang-pulang kok sakit?” tanya Jesi dengan wajah panik.

“Cepat ambil susu, Jes!” kata Joy sambil memapah Jovi ke tempat tidur.

Setelah meminum susu sapi steril, Jovi mulai merasa lebih baik.

“Maafkan aku. Aku meninggalkan kalian demi mencari kesenangan,” kata Jovi menyesal.

“Tidak apa-apa, Kak. Yang penting, Kakak sudah pulang,” jawab Joy sambil tersenyum.

“Dan kita hidup bersama lagi di sini bersama Mbah Surti,” timpal Jesi.

Jovi memeluk kedua adiknya. “Kalian memang adik-adikku yang baik.”  

Sejak saat itu, Jovi sadar bahwa kebahagiaan bukan tentang rumah besar atau barang mewah. Yang lebih penting adalah keluarga yang saling menyayangi. Ia berjanji tidak akan meninggalkan rumah kecil mereka lagi.

SELESAI

 

BIONARASI

Abby Vancel adalah penulis yang karya-karyanya sering kali mengangkat beragam tema. Sejak kecil, Abby telah terpesona oleh dunia sastra, dan mulai menulis cerita pendek dan puisi di masa remaja. Ia ingin menyampaikan kisah-kisah yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menggugah pemikiran pembacanya tentang kehidupan sehari-hari yang penuh makna.

Top of Form

 

Ahad, 26 Januari 2025

Tips Menulis Cerpen

 Assalamualaikum wbt dan Salam Galeri Sastra Pesona Dunia Baca


Berikut adalah beberapa tips penulisan cerpen bermutu berdasarkan gaya dan pandangan penulisan Dr. Fatimah Syarha: Tokoh Sastera Remaja Malaysia 


1. Mulakan Dengan Niat Yang Ikhlas  

Tulislah dengan niat untuk menyampaikan kebaikan, nasihat, atau panduan hidup kepada pembaca. Cerpen yang ditulis dengan hati yang ikhlas akan lebih mudah menyentuh hati pembaca.  


2.Tema yang Bermakna  

Pilih tema yang relevan dengan kehidupan manusia, seperti perjuangan, kasih sayang, pengorbanan, keimanan, atau cabaran hidup. Pastikan tema itu memberikan impak moral dan spiritual kepada pembaca.  


3.Watak yang Menginspirasi  

Cipta watak yang kuat dan mampu memberikan pengajaran. Watak utama tidak semestinya sempurna, tetapi harus menunjukkan perkembangan positif yang boleh dicontohi.  


4 .Gunakan Bahasa yang Indah dan Bermakna  

Dr. Fatimah Syarha sering menggunakan bahasa yang santun, puitis, dan penuh dengan peribahasa atau kiasan Melayu. Bahasa yang indah mampu memberikan pengalaman membaca yang lebih mendalam.  


5.Konflik dan Penyelesaian yang Realistik  

Ceritakan konflik yang dekat dengan kehidupan sebenar. Konflik itu harus diselesaikan dengan bijak, menonjolkan nilai-nilai Islam atau nilai kemanusiaan sejagat.  


6. Selitkan Elemen Dakwah Secara Halus  

Dr. Fatimah Syarha terkenal dengan kemampuannya menyelitkan mesej Islam atau nilai kebaikan tanpa kelihatan terlalu memaksa. Ini boleh dilakukan melalui dialog, tindakan watak, atau simbolik tertentu dalam cerita.  


7. Plot yang Teratur dan Berkesan  

Pastikan jalan cerita jelas dengan struktur yang tersusun: pengenalan, perkembangan, konflik, kemuncak, dan penyelesaian. Elakkan plot yang terlalu kompleks sehingga menyukarkan pembaca untuk memahami mesej.  


8. Gunakan Peribahasa dan Kiasan Melayu  


Memperkaya cerpen dengan peribahasa atau kiasan Melayu bukan sahaja memperindah karya tetapi juga mengekalkan budaya dan tradisi bangsa.  


9. Sentuhan Emosi  


Cerpen yang baik mampu membuat pembaca ketawa, menangis, atau merenung. Sentuhan emosi ini penting untuk menjadikan cerita lebih hidup dan dekat di hati pembaca.  


10. Sisipkan Nilai Islam dalam Situasi Harian  


Dr. Fatimah Syarha gemar menonjolkan nilai Islam dalam suasana biasa, seperti kehidupan keluarga, pekerjaan, atau pendidikan. Ini menjadikan cerpen lebih relevan dan menyentuh jiwa.  


11. Akhiran yang Meninggalkan Kesan 

 

Akhiran cerpen harus meninggalkan kesan mendalam kepada pembaca. Ia boleh berbentuk nasihat, renungan, atau penghujung yang membuka ruang untuk pembaca berfikir dan mengambil iktibar.  


12. Lakukan Kajian dan Bacaan Luas  


Baca pelbagai genre dan gaya tulisan untuk memperkayakan penulisan anda. Pemahaman mendalam tentang sesuatu isu atau tema juga akan menambah kualiti cerita.  


Contoh Inspirasi:  


Dr. Fatimah Syarha sering mengambil inspirasi daripada kisah kehidupan seharian, peribadi seseorang, atau isu masyarakat yang berlaku di sekeliling. Anda juga boleh melakukan perkara yang sama untuk mencipta karya yang bermutu.  


 

Kesimpulan  


Tulislah dengan penuh kesedaran bahawa setiap perkataan anda adalah medium untuk menyampaikan kebaikan dan hikmah. Cerpen yang bermutu bukan sahaja menghibur tetapi juga memberikan ilmu dan nilai kepada pembaca.


Izz

Ketua Divisi Kurator

Galeri Sastra

Lala, Anak yang Berani

 


LALA ANAK YANG BERANI

Oleh: AC JAFFRIE

 

Di tepi sebuah belukar, seekor anak itik bernama Lala baru menetas. Bulu-bulunya masih basah dan berwarna kekuningan. Lala sedikit bingung. Ketika itu dia sendirian. Di sisinya ada beberapa biji telur yang belum menetas. Ibunya tidak kelihatan.

            “Kuek… kuek… kuek…” Lala memanggil ibunya.

Lala amat sedih. Panggilannya tidak berbalas.

“Kuek… kuek… kuek…” Lala berbunyi lagi. Kali ini agak kuat. Dia mahu ibunya mendengar teriakan itu.

Lala memandang ke kiri dan kanan. Tiada sebarang makhluk lain dilihat. Angin mula bertiup. Rumput hijau dan pokok bunga kecil bergoyang. Bulu-bulu halusnya mula mengering ditiup angin. Dia cuba berkepak tapi sayapnya masih lemah.  

“Kuek… kuek… kuek…” Lala terus memanggil ibunya. Mungkin ibunya keluar mencari makan. “Tapi ibu di mana sekarang?” soal Lala sendirian.

Matahari mula meninggi. Cahaya panasnya membantu bulu-bulu halus di badan Lala kering sepenuhnya. Lala nampak cantik dan comel. Dia sudah bertenaga dan kuat. Lala keluar dari sarang lalu berjalan mencari ibunya. Dia mesti berhati-hati. Mungkin ada bahaya sepanjang jalan.

Lala terus berjalan. Sampai di suatu kebun, terdengar kokokan yang kuat. Di atas pagar, ada seekor ayam jantan. Namanya Pak Jaguh.

“Kamu nak ke mana? Bahaya jalan sendirian di sini,” tegur Pak Jaguh.

“Nama saya Lala. Saya sedang mencari ibu,” beritahu Lala.

Pak Jaguh kasihan melihat Lala. Masih kecil tapi sudah kehilangan ibu.

“Saya tak nampak ibu awak,” ucap Pak Jaguh lagi. “Mungkin ibu kamu ada di tempat lain.”

Lala kembali sedih. Dia teruskan perjalanan. Hari sudah menjelang petang. Lala kemudian bertemu dengan Botet, seekor ibu kucing. Botet sedang tidur di bawah sebatang pokok.

“Wahai ibu kucing, maaf saya bertanya?” soal Lala.

Botet terkejut apabila disapa oleh Lala. Mimpi indahnya terganggu. Dia membuka mata dan menguap juga. Nampak dia keletihan.

“Kamu siapa? Jangan ganggu masa tidur saya,” ucap Botet masih bermalasan.

“Nama saya Lala. Saya mencari ibu yang pergi entah ke mana,” kata Lala dengan sedih.

Botet masih mengantuk. Nampak dia keletihan.

“Saya tak nampak ibu kamu. Mungkin ada di tempat lain,” jawab Botet.

Lala sedikit kecewa. Dia meneruskan perjalanan mencari ibunya. Berjalan dan terus berjalan. Walaupun letih, dia tidak akan berputus asa. Kemudian Lala bertemu dengan seekor anak tupai. Namanya Bubu. Bubu sangat baik hati. Lala menceritakan tujuan dia berjalan di situ.

“Nama saya Bubu. Apa boleh saya bantu?” kata Bubu dengan lembut.

“Saya Lala, sedang mencari ibu. Dari pagi sampai sekarang belum berjumpa,” beritahu Lala.

Bubu simpati dengan nasib Lala. Dia mahu membantu Lala. Dia minta Lala tunggu sebentar. Dia mahu memanjat hingga ke pucuk pokok ara. Dia mahu melihat kawasan sekitar melalui tempat tinggi. Kemudian dia turun semula mendapatkan Lala.

“Dari atas saya lihat ada sebuah kolam tidak jauh dari sini. Mungkin ibu awak ada di sana,” beritahu Bubu dengan yakin.

“Terima kasih Bubu. Biar saya ke sana mencari ibu,” ujar Lala dengan gembira.

Lala menghampiri sebuah kolam. Di situ dia melihat beberapa ekor itik dewasa sedang berenang. Hatinya berbunga riang. Mungkin salah seekor itu adalah ibunya.

“Kuek… kuek… kuek!” jerit Lala dari tepi kolam.

Seekor ibu itik mendengar panggilan itu. Dia segera mendapatkan Lala di tepi kolam. Dia yakin anak itik itu adalah anaknya. Naluri keibuannya sangat kuat.

“Maafkan ibu. Kamu menetas semasa ibu keluar mencari makan,” ucap ibu itik sambil mengembangkan kepaknya memeluk Lala.

Lala sangat gembira. Akhirnya dia bertemu dengan ibunya. Mereka berenang bersama-sama di kolam. Mandi dan menyelam sambil mencari makan.

“Mari kita pulang. Mungkin telur-telur lain juga sudah menetas. Mari kita jumpa adik-beradik kamu,” ujar ibu Lala.

Lala sangat bahagia. Ibunya sudah ada di sisi. Lala dapat belajar sesuatu. Dia yakin jika berusaha tanpa jemu pasti akan berjaya. Mesti percaya kepada diri sendiri dan hidup mesti berani.

 


 

 BIONARASI PENULIS

AC JAFFRIE anak kelahiran Negeri Melaka, Malaysia. Genre penulisan yang diminati seperti buku kanak-kanak, cerpen, sajak, novel dan pantun. Menekuni bidang penulisan dengan moto menulis biar sampai jadi buku.

TITISAN SUNYI

Titisan Sunyi Karya: Bunga Melor Rintik-rintik hujan, iringi kamar hati sunyi tanpa teman bicara. Senyum kuukir kutatap hujan di jendela sep...

Carian popular