Selasa, 28 Januari 2025

Pengantin Syurga

 PENGANTIN SURGA

Abby Vancel



Teluk Kayutanyo, Sulawesi Tengah. Medio 2009. Di suatu senja yang kering.

Semburat jingga di ufuk barat mulai memudar. Perlahan, mentari menghilang dari pandangan, menyisakan langit yang mulai meredup. Sesekali terdengar cuitan burung Cabak, mengisyaratkan magrib yang segera tiba. Namun, perempuan berkerudung itu masih mematung di pinggir pantai. Dua jam lebih ia berdiri di sana, tak tergerak oleh angin laut yang berhembus kencang. Pikirannya gamang, terombang-ambing seperti arus laut. Tatapannya nanar, terpaku pada batas horizon yang jauh.

Hari ini adalah senja yang ke-360. Sama seperti ratusan senja sebelumnya, ia masih setia menjemput langit jingga di tepi pantai ini. Tak pernah sekalipun ia biarkan senja berlalu tanpa kehadirannya. Baginya, senja bukan hanya pergantian waktu, tetapi sebuah perjumpaan magis. Ia menyematkan asa pada senja, merajut kembali harapan yang telah lama memudar, menyisipkan pesan-pesan rahasia pada alam yang tiada bertepi.

Di tangannya tergenggam sebuah perahu kertas mungil. Perahu itu ia buat dari secarik kertas putih yang bertuliskan bait-bait rindu. Setiap senja, ia melarung perahu itu ke laut, membiarkannya meliuk-liuk di atas arus. Dengan suara lirih, ia mengucap doa dan untaian kata, berharap laut menjadi pengantar pesan yang setia. Tatapannya tak lepas dari perahu yang perlahan menjauh, meliuk diombang-ambing gelombang. Hingga perahu itu tak lagi terlihat, ia tetap menatap dengan mata penuh harap.

Dalam ketidakmungkinan, ia membangun keyakinan bahwa perahu kertas itu akan sampai di Teluk Jakarta. Dalam khayalnya, perahu kecil itu akan berlabuh di Pelabuhan Sunda Kelapa dan ditemukan oleh seseorang yang menjadi tujuan dari setiap kalimat rindu yang ditulisnya. Sosok yang ia dambakan hadir kembali, menemaninya menikmati senja seperti dulu kala.

Senja bagi Aisyah adalah perpaduan dari kenangan, kerinduan, kebahagiaan, kesedihan, dan harapan. Ia menyimpan cerita tentang penantian panjang, meski ia tak tahu kapan atau bagaimana penantian itu akan berujung.

Setiap sore, saat sang surya condong ke barat, Aisyah berjalan ke pantai yang hanya berjarak dua puluh langkah dari rumah. Kadang ia berdiri merenung hingga langit berubah gelap, kadang ia duduk di atas batu karang, memandang laut lepas. Ombak menggulung keras, menyentuh kakinya yang semakin dingin. Tetapi ia tak peduli. Semua rasa takut dan kekhawatiran telah ditenggelamkan oleh rasa rindunya.

“Aisyah, pulanglah... sudah magrib!” seruan lantang terdengar dari belakang rumah. Itu suara Indo’ Sitti, ibunya yang renta. Meski panggilan itu menggema, Aisyah tetap terdiam.

“Aisyah… oh Aisyah…” Kali ini suara Indo’ terdengar lebih serak, kalah oleh debur ombak yang menerpa karang. Namun, hati Aisyah yang dirundung gundah tak memungkinkannya untuk menjawab. Ia tetap berdiri, terpaku di bibir pantai.

*****

Dua tahun lalu, di tempat yang sama, kenangan itu bermula. Aisyah menemani seorang lelaki bernama Daeng Iqbal, menyaksikan senja untuk terakhir kalinya.

“Dek, kau tahu kenapa Daeng selalu mengajakmu ke sini?” tanya Iqbal kala itu. Pandangannya tertuju pada langit senja yang berwarna jingga, seolah mencari makna di balik keindahannya.

“Tidak tahu, Daeng,” jawab Aisyah. Ia memiringkan wajah, memandangi lelaki itu. Ada sesuatu dalam dirinya yang selalu tenang saat berada di dekat Iqbal.

“Senja itu seperti kita,” ujar Iqbal dengan nada berat. “Ia indah, tapi sebentar saja. Ia datang tanpa suara, tapi kehadirannya terasa. Esok, senja mungkin tak seindah hari ini. Tapi percayalah, kenangan tentang senja hari ini akan terus hidup.”

Aisyah tersenyum kecil mendengar filosofi yang mengalir dari mulut lelaki itu. Rasa kagumnya pada Iqbal semakin besar. Dalam hatinya, ia merasa telah menemukan seseorang yang mampu membaca pikirannya tanpa kata-kata, seseorang yang menjadi pusat harapannya.

Beberapa saat mereka terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mentari telah kembali ke peraduannya, meninggalkan langit yang semakin gelap. Sebentar lagi malam akan turun, dan bintang-bintang akan menggantikan sinar mentari yang hilang. Di kejauhan, kerlap-kerlip lampu petromaks perahu nelayan tampak berpendar, seperti api yang menari-nari di atas permukaan laut.

“Dek, mungkin ini terakhir kalinya Daeng mengajakmu ke sini…” ucap Iqbal tiba-tiba memecah keheningan. Ia menghela napas panjang setelah mengucapkan kalimat itu, seakan hendak mengusir beban yang menyesakkan dadanya.

“Kenapa berkata begitu, Daeng?” sahut Aisyah dengan nada terkejut, sambil mengernyitkan dahi. Tatapan matanya tertuju dalam-dalam pada wajah Iqbal, penuh tanya.

Iqbal tidak langsung menjawab. Tangannya yang kokoh menggenggam lembut tangan Aisyah. Ia ingin memberi kekuatan pada perempuan yang amat disayanginya itu.

“Besok Daeng akan berangkat ke Pulau Jawa… bekerja di sana,” jawabnya pelan, suaranya menggantung di udara. Iqbal menatap wajah Aisyah, menunggu reaksi dari perempuan berhati lembut yang usianya dua tahun lebih muda darinya itu. Aisyah terdiam sejenak, menundukkan kepala. Air mata mulai menggenang di kelopak matanya.

“Kenapa harus jauh-jauh ke Pulau Jawa, Daeng?” tanya Aisyah, suaranya serak, seolah tak bisa menahan kesedihan yang mengalir dalam dadanya.

“Di sana ada kakak sepupu yang mengajak Daeng bekerja di hotel. Gajinya cukup besar,” jelas Iqbal dengan lembut, mencoba menenangkan Aisyah.

Aisyah tak menyahut, hanya merapatkan tubuhnya ke tubuh Iqbal. Ia menyandarkan kepalanya di atas bahu lelaki itu, seakan mencari kenyamanan di balik kekar tubuhnya. Matanya kosong menatap riak-riak ombak yang lembut membelai pasir pantai. Di dalam dadanya, gelora perasaan bergemuruh, seperti deburan ombak yang tak pernah berhenti.

“Adek tahu kalau Daeng butuh banyak uang untuk melamar Adek… Tiga puluh juta uang panai’ yang diminta keluarga Adek, belum bisa Daeng penuhi,” ucap Iqbal pelan, namun penuh ketegasan. Suaranya bergetar, seolah menahan sesuatu yang sangat menyesakkan.

Aisyah kembali terdiam. Air mata yang semula menggenang perlahan turun, mengalir di kedua pipinya yang mulus. Suara isak tangis yang tertahan, keluar dari bibirnya. Iqbal terkejut, tak menyangka Aisyah akan sesedih itu. Dengan sigap, ia merangkul tubuh Aisyah, mencoba memberi kenyamanan yang kini sangat dibutuhkannya.

“Daeng tahu, Adek pasti berat menerima kenyataan ini. Tetapi, ini jalan yang harus kita lalui. Daeng berharap Adek sabar menunggu sampai Daeng pulang dan mempersunting Adek,” kata Iqbal sambil mengelus lembut kepala Aisyah.

Rambut Aisyah yang bergelombang tampak melambai, tertiup angin laut yang kencang. Iqbal merapikan rambut hitam perempuan itu dengan usapan tangannya yang penuh kasih. Ia juga merasakan kegundahan yang sama seperti yang dirasakan Aisyah, namun ia berusaha menyembunyikannya. Ia harus tegar demi Aisyah, agar perempuan itu merasa tenang dan memahami keputusan yang harus diambilnya.

Meskipun hatinya dipenuhi kesedihan, Aisyah tak bisa mengingkari bahwa ia merasakan kasih sayang Iqbal yang begitu besar. Lelaki itu tak mudah menyerah, selalu berusaha keras demi cinta mereka, meski perjuangan untuk bisa bersama harus tertunda oleh syarat uang panai’ yang begitu tinggi.

Aisyah tahu ia tak bisa berbuat banyak terhadap syarat yang sudah ditentukan keluarga mereka. Baik Aisyah maupun Iqbal, dalam tubuh mereka berdua mengalir darah Bugis yang kental, yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat. Mereka berdua sama-sama memahami hal itu. Karena itu, Iqbal harus memenuhi persyaratan itu, meskipun ia tahu betapa sulitnya mengumpulkan uang panai’ sebanyak itu.

Iqbal pun tak bisa berharap banyak dari kedua orang tuanya. Ayahnya hanyalah seorang nelayan kecil, yang hasil tangkapan ikannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena itulah, dengan hati yang berat, Iqbal menerima ajakan sepupunya untuk merantau ke Jakarta, bekerja di sana, meskipun ia harus berpisah jauh dengan perempuan yang amat dicintainya itu.

Senja di penghujung Juni 2007 itu menjadi senja yang penuh dengan perasaan haru bagi keduanya. Ombak dan karang di pantai menjadi saksi bisu dari besarnya rasa cinta yang mereka miliki. Aisyah mengucapkan janji setia, bersumpah akan menunggu kepulangan Iqbal dari perantauan.

*****

Keesokan harinya, Aisyah bersama kedua orang tua Iqbal mengantarkan kekasihnya itu berangkat ke Jakarta, melalui Pelabuhan Lalong di Kota Luwuk. Iqbal menumpang kapal barang yang akan membawanya menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Perjalanan laut yang memakan waktu sekitar seminggu akan membawa Iqbal menuju kota yang menjadi impian banyak orang—Jakarta, tempat orang datang untuk mengais rezeki dan mengumpulkan pundi-pundi harapan.

Derai air mata Aisyah mengiringi keberangkatan Iqbal. Aisyah tak bisa menahan rasa haru yang semakin menguasai dirinya, saat kapal yang membawa Iqbal mulai bergerak perlahan, meninggalkan Teluk Lalong.

Dari atas geladak kapal, Iqbal melambaikan tangan perlahan kepada Aisyah yang berdiri di dermaga pelabuhan, menatapnya dengan pandangan sendu. Dalam momen itu, keduanya merasa ada sebuah lubang besar di dada masing-masing, seperti sebuah kekosongan yang tiba-tiba muncul, akibat perpisahan yang tak terhindarkan—perpisahan yang memisahkan sepasang kekasih oleh ruang dan waktu.

Nasib dan garis tangan memang tak ada yang dapat diprediksi. Aisyah tak pernah menyangka bahwa hari itu adalah kali terakhir ia bisa melihat sosok lelaki yang sangat ia kasihi. Hari-hari setelah itu menjadi hari-hari yang dipenuhi ketidakpastian, sebuah penantian panjang yang harus dijalani dengan hati yang penuh keraguan.

Sebulan setelah keberangkatan Iqbal ke Jakarta, Aisyah menerima kabar pertama dari lelaki itu lewat sepucuk surat yang dikirim melalui pos. Dalam surat itu, Iqbal mengabarkan bahwa dirinya sudah bekerja sebagai room boy di sebuah hotel bintang lima di bilangan Jakarta Selatan. Bersama sepupunya, Iqbal menyewa kamar kos di daerah Penjaringan, Jakarta Utara, tidak jauh dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Setiap hari, ia menumpang motor sepupunya yang bekerja di hotel yang sama.

Di surat itu pula, Iqbal menyampaikan kerinduan yang begitu dalam kepada Aisyah. Ia berjanji akan bekerja keras agar dalam setahun atau dua tahun ia dapat pulang dengan membawa uang panai' untuk menikahi Aisyah. Mendapat kabar itu, hati Aisyah berbunga-bunga. Ia merasa kerinduannya sedikit terobati. Setiap dua minggu sekali, surat dari Iqbal rutin datang. Hubungan mereka terasa hangat meski jarak memisahkan.

Beberapa bulan kemudian, Iqbal mengirimkan sebuah ponsel untuk Aisyah. Kini mereka dapat berkomunikasi lebih sering melalui pesan dan panggilan telepon. Setiap hari, mereka bertukar kabar, saling mengirimkan kata-kata mesra, dan berbagi kerinduan seperti pasangan yang sedang dimabuk cinta.

Namun, seperti pepatah mengatakan, langit tak selamanya cerah. Pada bulan ketujuh setelah kepergian Iqbal, perubahan mulai terasa. Komunikasi mereka yang semula hangat perlahan merenggang. Pesan Aisyah sering kali tidak direspon, atau jika dijawab, membutuhkan waktu dua hingga tiga hari. Iqbal menjadi dingin. Seringkali ia mengingatkan Aisyah untuk menunaikan salat, hal yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Bahkan, ia mulai mengirimkan nasihat agama, salah satunya tentang kewajiban mengenakan hijab bagi perempuan. Awalnya, Aisyah merasa aneh, tetapi ia tetap berpikiran positif. Ia bersyukur Iqbal tidak terjerumus ke dalam pergaulan negatif ibu kota.

Perubahan Iqbal juga perlahan membawa dampak pada Aisyah. Ia mulai rajin salat dan akhirnya memutuskan untuk mengenakan hijab. Iqbal tentu senang dengan keputusan itu dan mengirimkan beberapa busana muslim untuk Aisyah. Namun, tak lama kemudian, sikap Iqbal kembali berubah drastis. Ia mulai membahas larangan berpacaran dalam Islam. Ketika Aisyah mencoba mencari kejelasan, Iqbal tidak memberikan jawaban memuaskan. Ia justru semakin sering mengirimkan nasihat agama melalui pesan-pesan pendek. Perubahan itu membuat Aisyah resah.

Aisyah mencurahkan kegelisahannya kepada Indo’ Sitti, ibunya, yang menasihatinya untuk bersabar. Indo’ Sitti meyakinkan bahwa perubahan Iqbal adalah bagian dari pencarian jati diri sebagai calon imam. Meski berusaha tegar, hati kecil Aisyah merasa ada yang tidak beres. Perubahan sikap Iqbal terlalu tiba-tiba, seolah ada sesuatu atau seseorang yang memengaruhinya.

Seminggu setelah diskusi mereka tentang larangan berpacaran, Iqbal menghilang tanpa jejak. Ia tidak lagi menghubungi Aisyah. Ponselnya tidak aktif, dan pesan-pesan Aisyah tidak mendapat balasan. Dengan hati hancur, Aisyah mengunjungi orang tua Iqbal untuk mencari kabar. Namun, Ambo’ Dalle dan Indo’ Besse – Ayah dan Ibu Iqbal – mengaku tidak tahu keberadaan anak mereka itu. Aisyah kembali ke rumah dengan perasaan kecewa dan bingung. Indo’ Sitti berusaha menenangkannya dengan menceritakan kisah-kisah perempuan di zamannya yang menghadapi patah hati karena adat. Indo’ Sitti menyarankan Aisyah untuk menuangkan perasaannya ke dalam tulisan.

Aisyah mulai mencatat semua keresahannya di buku harian. Namun, rasa rindunya kepada Iqbal tetap membelenggu. Setiap senja, ia sering pergi ke pantai, membawa tulisan-tulisannya, dan melarungnya ke laut, seolah berharap ombak membawa perasaannya kepada Iqbal.

Waktu terus berjalan. Bulan berganti tahun, tetapi Iqbal tetap hilang tanpa kabar. Hingga suatu hari, dalam sebuah hajatan, Aisyah bertemu dengan Tenri, sepupu Iqbal. Setelah melihat kesedihan yang teramat dalam pada wajah Aisyah, Tenri memutuskan untuk mengungkapkan sebuah rahasia besar.

“Aisyah, apa yang akan Kakak sampaikan ini mungkin berat. Tapi kamu harus kuat,” ujar Tenri dengan nada serius. Aisyah mengangguk lemah, hatinya berdebar-debar menanti penjelasan.

Dengan suara pelan dan penuh hati-hati, Tenri menceritakan semuanya. Orang tua Iqbal sebenarnya mengetahui keberadaan anak mereka tetapi sengaja merahasiakannya. Selama di Jakarta, Iqbal bergabung dengan sebuah komunitas kajian Islam yang cenderung ekstrem. Pemahaman komunitas itu sangat berbeda dengan Islam yang selama ini mereka kenal. Iqbal yang masih muda dan idealis terbawa arus pemikiran kelompok tersebut. Puncaknya, ia direkrut untuk menjadi pelaku “jihad” dalam sebuah aksi bom bunuh diri di hotel tempatnya bekerja.

Aisyah terperanjat mendengar kenyataan itu. Selama ini, ia tidak tahu bahwa hotel yang menjadi sasaran bom adalah tempat Iqbal bekerja. Bahkan, nama pelaku yang diberitakan di televisi bukanlah Iqbal. Ternyata, setelah bergabung dengan komunitas itu, Iqbal mengganti namanya menjadi Abu Uwais. Jasad Iqbal yang hancur akibat ledakan telah dimakamkan di kampung halaman keluarganya di Sulawesi Selatan. Orang tuanya merahasiakan semuanya dari Aisyah, sesuai permintaan Iqbal.

Mendengar semua itu, Aisyah merasa dunianya runtuh. Ia tak kuasa menahan tangis, tubuhnya ambruk dalam pelukan Tenri. Setelah siuman, Tenri mengantar Aisyah pulang. Di rumah, Indo’ Sitti yang mendengar cerita itu juga tak kuasa menahan kesedihan. Namun, ia tetap berusaha menenangkan Aisyah. Dengan lembut, ia menyarankan anaknya untuk menerima kenyataan dan menjadikan cobaan ini sebagai pelajaran hidup.

*****

“Aisyah… di mana kau, Nak?” Suara Indo’ terus terdengar memanggil-manggil Aisyah. Hari semakin malam, dan langit gelap gulita. Bintang-bintang tak tampak lagi, tertutup oleh awan kelabu yang menggantung rendah di langit.

“Aisyah… Aisyah…” Suara-suara panggilan semakin ramai terdengar, bersahutan dari berbagai arah. Warga-warga desa mulai memenuhi pantai Teluk Kayutanyo, beberapa di antaranya membawa obor bambu yang menyala. Mereka mencari Aisyah di antara batu karang dan di balik batang-batang pohon yang terhampar di sepanjang pantai.

Namun, Aisyah tetap tak ditemukan. Perempuan malang itu telah melarungkan dirinya, tenggelam dan terbawa arus laut yang tak bisa dihentikan, bersama perahu kertas yang selalu ia genggam. Sehelai kain putih dengan noda darah yang sudah mengering terikat di pergelangan tangan kanannya. Kain itu bertuliskan, ‘Aisyah Bidadariku’. Itu adalah kain yang sama yang ditemukan terikat pada tubuh Iqbal, tubuh yang hancur setelah menunaikan tugas ‘jihad’-nya.

Kain itu diberikan Tenri kepada Aisyah tiga hari lalu, ketika Tenri mengantarkan Aisyah pulang ke rumah. Tenri berharap sehelai kain itu dapat mengobati kerinduan Aisyah kepada Iqbal yang selama ini telah lama ditunggu.

Kini, Aisyah telah menemui kekasih hatinya di alam lain. Penantian panjangnya telah berakhir. Iqbal menyambutnya dengan senyuman hangat di pintu surga. Tak ada lagi kebutuhan untuk membawa uang panai’ untuk menikahi Aisyah, karena sejatinya mereka kini menjadi sepasang pengantin surga yang abadi.

TAMAT

 

BIONARASI

Abby Vancel adalah seorang penulis yang karya-karyanya sering kali mengangkat beragam tema. Sejak kecil, Abby telah terpesona oleh dunia sastra, dan mulai menulis cerita pendek dan puisi di masa remaja. Ia ingin menyampaikan kisah-kisah yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menggugah pemikiran pembacanya tentang kehidupan sehari-hari yang penuh dengan teka-teki dan makna tersembunyi.

 

 

Tiada ulasan:

TITISAN SUNYI

Titisan Sunyi Karya: Bunga Melor Rintik-rintik hujan, iringi kamar hati sunyi tanpa teman bicara. Senyum kuukir kutatap hujan di jendela sep...

Carian popular