Jumaat, 28 Mac 2025

BERBURU TELUR BURUNG MALEO NYARIS MENDATANGKAN MAUT

Berburu Telur Burung Maleo Nyaris Mendatangkan Maut

Karya: Nus Pariama


Di wilayah timur matahari terdapat sebuah desa bernama Hatusua. Penduduk di sana bermata pencaharian petani dan nelayan. Nuansa iklim dan tata letak menjadikan Hatusua bernilai strategis bagi jalur komoditas dan transportasi antar desa. Sejak era 80-an, tidak sedikit penduduk yang telah mengembangkan pola-pola baru dalam dimensi pertanian, apalagi dengan panorama alam yang mendukung seperti hutan, gunung dan laut yang masih terjaga, tentu nilai plus bagi pendapatan penduduk cenderung tercukupi. Penduduk desa pun menjaga budaya yang menjadi ciri khas mereka seperti; legenda, tarian, nyanyian rakyat, dongeng dan sejenisnya sebagai unsur penting folklore yang mesti diwarisi turun-temurun. Meski demikian terdapat juga kejadian-kejadian nyata yang kemudian oleh penduduk desa menjadi pengalaman tersendiri dalam banyak generasi sebagai lensa pengalaman bersama, karena bagi kebanyakan warga “di balik setiap peristiwa yang terjadi ada hikmah di baliknya.” 

Apa yang dialami Denis dan kawan-kawannya dalam kisah berikut bukan hanya menjadi semacam wacana terbatas atau kenangan masa lalu yang terkubur tetapi juga dapat memberikan suatu sentakan batin bahwa “sekolah terbaik adalah pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.” 

Suasana terasa cukup panas siang itu, cukup menantang, bahkan membuat sekujur tubuh terasa gerah. Tetapi begitulah, namanya juga masa remaja, tiada kapoknya Denis dan teman-teman untuk main di tengah panas. 


Ajakan ke pantai

“Nge, bagaimana? apakah sebentar siang sepulang sekolah kita jadi ke pantai ‘cari telur burung Maleo?” tanya Denis tiba-tiba. 

“Jangan tunggu siang Den, sekarang saja... mumpung masih jam istirahat ‘kan?”

“Boleh sih, cuma apakah bu Kori tidak marah? soalnya ‘kan kita sudah berulang kali bolos… dan kalau kali ini ketahuan pak Kuparuh dan guru yang lain, tamatlah sudah riwayat kita,” kata Denis sambil menepuk jidatnya. 

Memang bagi Denis, untuk urusan menggali telur burung Maleo di pantai itu sudah menjadi kebiasaan ala makan siang gratis. Cuma masalahnya karena kebiasaan itulah Denis sering dimarahi ayah dan kakanya karena sering bolos dan banyak alasan untuk tidak ke sekolah. Tetapi siang itu entah kenapa Denis agak sedikit berbeda dari biasanya.


Kenangan indah si Unyil

 “Den, kamu masih ingat tidak? sewaktu minggu lalu tangannya Unyil kelojotan dengan tinja karena dengan rakus mencari telur Maleo tepat di samping perahu jalan turun dari kali Temi?” tanya Inge pada Denis sambil mengadegankan ulang gerakan Unyil menggali tumpukan pasir. 

“Astaga… Den… dia kaget betul saat merasa tangannya agak hangat, padahal yang dipegang bukan rembulan bercahaya, alias telur burung Maleo pagi itu, tapi tinja…” kata Inge dengan aksen dan mimik yang mecairkan suasana. 

La Irwan, La Bolo, Wa Mardia La Tamring dan beberapa yang lain yang ada saat itu pun turut tertawa bersama. 

Memang mencari telur burung Maleo adalah suatu kebahagiaan bagi anak-anak desa masa itu. Tetapi tidak seperti saran Denis kepada Inge untuk mencarinya waktu siang, justru kebanyakan dari mereka lebih memilih turun ke pantai saat subuh karena suasana subuh dianggap cukup menyenangkan. Dengan bermodal suluh bambu dan senter enam baterai, mereka menempuh jalan setapak ke pantai beramai-ramai. Hanya terkadang suara-suara bising dari langkah dan nyanyian sesaat terkadang menyentak suasana subuh sehingga mereka seringkali ditegur warga karena terjaga dari tidur.


Pagar sekolah sebagai jalan keluar

“Kalian kalau mau jalan, sekarang saja, jangan nanti… tuh… bu Kori tidak ada di kantor… kalian pasti aman dehhh…” kata La Irwan mengingatkan rencana Inge. “Tapi ingat, jangan lupa bagian untuk saya ya? kalau dapat lebih dari dua…”

“Bagaimana Den, apakah kita gas sekarang…?

“Bolehlah kalau begitu,” kata Denis sambil membalikan badan berjalan ke dalam kelas untuk mengambil tasnya.

“Nge, nanti kalian keluar saja melalui pintu belakang yang kawat pagarnya sudah bolong itu, kalau jalan samping pasti anak-anak yang melihat bisa melaporkan kalian kepada guru kelas lain,” kata La Irwan mengingatkan.

“Okeylah, makasih ya…”

Inge dan Denis pun berlalu dari keramaian sekolah melalui pagar belakang seperti yang diusulkan La Irwan. Sesampainya di jalan utama tempat mobil lalu lalang, mereka kaget, bahwa ternyata ada juga Bemi, Elvis, Minggus dan Adipapa di sana. Mereka sedang menikmati buah jeruk berukuran besar yang diambil entah darimana. 

“Astaga… kalian tidak sekolah?” tegur Denis.

“Biasalah… kami ‘kan anak-anak cerdas, santai sajalah... urusan sekolah nanti saja,” kata Adipapa sambil terus menggigit buah jeruk. “Kelas kami sedang bersih-bersih Den, bu guru juga ada rapat, makanya kami jalan lajulah,” kata Adipapa lagi.

“Eh… apakah kalian mau menemani kami ke pantai Labuang Salam? soalnya jam segini pasti air laut lagi pasang dan pasti telur Maleo sisa pun masih ada… kalau mandi dan berjemur, tentu wah sekali tuh,” kata Inge kepada mereka.

“Bolehkah kita sama-sama”? tanya Elvis kepada Inge.

“Ya… silahkan, tidak ada yang larang kok, cuma masalahnya pakaian seragam kalian bagaimana? apakah siap basah?” kata Inge sambil melepaskan tasnya sesaat. “Jangan sampai nanti kami yang disalahkan oleh orangtua kalian kalau pulangnya basah kuyup.”

“Tidak juga, ‘kan masing-masing yang mengurus pakaiannya sendiri-sendiri ‘kan?” kata Elvis.


Kisah yang sungguh mendebarkan

“Hey, kawan-kawan, kalian akhir-akhir ini dengar tidak isu tentang orang potong kepala?” tanya Bemi mendadak. “Saya di rumah sering dinasehati oleh bapak, kalau pergi bermain tidak boleh terlalu jauh apalagi pulangnya sampai larut malam. Kata bapak, akhir-akhir ini sedang marak pencarian kepala manusia untuk pembuatan jembatan oleh orang-orang jahat. Minggu lalu kata bapak saya, ada orang hilang di desa sebelah. Menurut cerita yang beredar orang itu adalah anak sekolah, dia perempuan dan saat sedang bermain sendirian ia diculik oleh bapak-bapak yang menggunakan mobil Hartop bewarna hitam. Ih… jadi takut sekali…” kata Bemi.

“Saya juga dengar cerita itu beberapa hari kemarin, cuma saya anggap ah… tidak mungkinlah itu cerita benar, mana ada orang menculik warga dalam desa yang lagi ramai? Menurut saya itu mustahil karena kalau mau mengambil kepala orang, orang itu sendiri harus siap dibunuh juga dong… ‘kan ada banyak orang dewasa ‘kan?” kata Denis sambil berupaya untuk meredakan kepanikan yang mulai hadir.

Memang di era itu, cerita demi cerita tentang adanya sekelompok orang tertentu yang sering berjalan mencari kepala orang untuk dijadikan bahan penopang jembatan, hangat dibicarakan di masyarakat. Mereka kadang menggunakan mobil Hartop, atau orang yang pura-pura gila, atau kalau di laut menggunakan speed boad bahkan perahu nelayan. Menurut desas-desus yang beredar mereka adalah para preman yang ketika keluar dari sel tidak memiliki pekerjaan dan memilih pekerjaan pemburuan kepala sebagai solusi ekonomi. Meski cerita ini masih dianggap simpang siur tetapi bagi generasi era 80-an, rumor ini tidak bisa dihapus.  

“Saya pun kadang berlari sembunyi di semak-semak manakala ada mobil Hartop yang terdengar dari arah kejauhan ketika sedang berjalan sendiri itu pun bukan karena masalah orang potong kepala tetapi selalu waspada,” kata Denis.

“Ah sudahlah… berhentilah membahas hal ini, kalian mau ikut tidak?” kata Inge sambil mengangkat tasnya bersiap ke pantai.

“Ikut dong…!” kata Minggus. 

“Saya juga,” kata Bemi. 

“Adipapa gimana, mau ikut juga?” tanya Bemi. 

“Bolehlah… kalau saya gas, pasti Elvis juga akan ikut…”


Jalan setapak yang membosankan

Jalan setapak ke pantai memang tidak terlalu jauh dari jalan utama dan permukiman warga Desa Hatusua tetapi masalah kecilnya adalah mereka harus melewati akar-akar hutan mangrove yang lumayan padat. Belum lagi dengan dedaunan kering dan kerisauan ular belang yang kadang tertutup dengan ranting kayu lapuk di bawah akar mangrove yang busuk. Tetapi bagi generasi saat itu getiran mandi di laut dan bersaing mencari telur burung Maleo adalah hal menyenangkan. Urusan dimarahi di rumah karena bolos dari sekolah adalah urusan kedua.

“Astaga... kalau saya tahu jalannya seperti ini, saya malas untuk turun ke pantai… mana ada peceknya lagi, huuff,” kata Adipapa sambil memegang salah satu pelepah anakan kelapa yang kebetulan tumbuh di situ.

“Mulutmu kayak perempuan busuk. Tenang saja… kalau suatu saat saya jadi bupati maka ini semua akan saya jadikan kolam renang besar supaya apabila ke pantai kalian pasti senang,” kata Denis tiba-tiba, yang lain pun ikut tertawa bersama.

“Alaaaa… omong kosong. Urusan sekolah saja kita bolos terus, mana bisa jadi bupati?” kata Minggus berupaya menghindar dari lumpur mangrove yang dalamnya hampir selutut. 

“Akhirnya sampai juga di pantai,” kata Elvis.


Suasana pantai yang menyenangkan

Siang itu cukup panas meski ada banyak pohon yang berjejeran di pantai. Tidak menunggu lama setelah membuka seragam merah putih dengan buru-buru, Elvis dan Bemi langsung menceburkan diri ke laut. Inge dan Denis berbeda, mereka lebih memilih mencakar-cakar tumpukan pasir untuk mencari telur burung Maleo. Akhirnya Minggus yang memilih duduk dan menonton kemudian berdiri dan berlari ke arah Inge dan Denis seraya mengambil ranting kayu dan mulai mencakar juga.  

Sinar matahari siang itu bukan menjadi penghalang bagi para pejuang kebahagiaan pantai. Percikan ombak seakan ikut memberi warna baru bagi kebersamaan yang tengah dinikmati. Hembusan angin yang menderu di telinga dengan keras bukan menjadi sesuatu yang merepotkan. Suara tawa dan canda dalam beberapa menit terjaga kala itu sangat mewarnai nuansa hati yang bersuka. Tetapi itu tidak lama, itu hanya sesaat, bukan dalam sejam. 


Bahaya itu semakin mendekat

Di tengah keheningan pantai Hatusua yang berpasir putih dengan hamparan luas timur dan barat dan tanpa seorang dewasa pun di sana, tiba-tiba dari arah kejauhan muncul dua sosok berbaju hitam berlari datang dengan kencang. Tangan mereka seperti memegang sesuatu dan tampilan itu terlihat sangat menakutkan. 

“Ya Tuhan... Inge, Minggus, Denis… orang potong kepala…” kata Bemi sambil bergegas keluar dari dalam air kemudian berlari mengambil baju dan tas.

“Mama… mama… mama…” isak tangis pecah serentak. Elvis merasa terpukul tiba-tiba dan lari sekuat tenaga dengan tanpa sehelai benang pun di badan. 

“Cepat… mereka sudah dekat… betul, itu orang potong kepala, mereka memegang parang dan karung,” kata Denis juga sambil berlari dengan cepat ke arah hutan mangrove.

Dalam sekejap suasana mangrove berubah total menjadi lapangan adu balap antara Elvis, Denis, Inge, Bemi, Minggus. Akar mangrove, dahan-dahan lapuk dan busuk, ranting-ranting tajam maupun lumpur dan lumpur tebal yang berserakan di sekitar lekukan jalan yang diapit oleh akar-akar panjang tumbuhan bakau itu, bukan menjadi halangan bagi langkah kaki mereka. Bahkan kekhawatiran tentang keberadaan ular belang yang biasa bersembunyi di balik dedaunan gugur di dasar rawa pun serempak hilang total. Tak seorang pun dari mereka yang berani berhenti sesaat untuk menarik napas dan melihat sekeliling. Yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana supaya cepat selamat dari orang potong kepala.

“Bubbb...” terdengar bunyi seseorang tercebur ke dalam air. Ternyata itu Minggus. Karena tali tasnya agak panjang, tali itu tertancap pada dahan anakan kayu liar. Suasana panik membuatnya tidak memperhatikan bahwa di sebelah kanannya ada kolam bekas galian lumpur. Ia menarik tasnya dengan keras. Tetapi pada saat yang sama posisi tubuhnya oleng sesaat sehingga tanpa daya ia tercebur ke dalam kolam. 

“Minggus… cepat…” kata Elvis, yang saat itu sudah di seberang mangrove. Demikian juga Denis, Bemi dan Inge yang menyusul. 

Meski kondisi mereka tidak seburuk Minggus yang basah akibat ceburan tadi, namun bau lumpur dan air rawa mangrove cukup menyengat tanpa ampun. Kepanikan itu membuat mereka terus berlari dengan kondisi tubuh yang gemetar, ibarat hidup dalam setarikan napas. Untunglah pemukiman warga desa tidak terlalu jauh dari situ hanya sekitar 150meter dari area hutan mangrove. 


Kehebohan warga desa

 “Inge, Denis, Elvis… mengapa kalian berlari seperti ini?” 

Terdengar suara teguran dari pak Lom, salah seorang warga yang kebetulan sedang membetulkan pagar kebunnya saat itu. Tetapi teguran itu tidak dihiraukan, mereka terus berlari hingga mencapai jalan utama tempat kendaraan lalu lalang. Melihat situasi Denis dan kawan-kawan yang ketakutan, Pak Lom pun datang dan bertanya kepada mereka tentang apa yang sedang terjadi. 

“Pak… Pak Lom… ada orang potong kepala tadi di pantai… mereka mengejar kami… ada karung dan parang di tangan mereka” kata Elvis kepada Pak Lom, seorang bapak yang tempat tinggalnya hanya sepelempar batu dari jalan utama itu. 

Pak Lom kaget dengan laporan Elvis dan teman-temannya. Dan tanpa menunggu lama, beliau kemudian berteriak sekuat tenaga memanggil beberapa warga sekitar. Beberapa saat kemudian mereka pun datang dan turut menanyakan apa yang sedang terjadi. Pak Lom kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa Elvis dan teman-temannya diteror oleh orang tidak dikenal ketika bermain di pantai. Minggus dan Inge pun mengatakan hal yang sama. Sejurus kemudian, warga pun turun ke pantai mencari para pelaku tersebut. Tetapi mereka tidak menemukan seorang pun di sana. Bahkan hingga sore tindakan pencarian itu pun masih dilakukan.


Merenungkan pilihan yang salah

Setelah dinasehati oleh Pak Lom dan beberapa orang dewasa tentang perlunya kewaspadaan dalam hal bermain di lingkungan sekitar, Denis dan teman-temannya disuruh untuk pulang ke rumah masing-masing siang itu. Elvis yang dalam keadaan telanjang sedikit, ditertawakan oleh teman-temannya. Tetapi itu dianggap hal biasa. 

“Kamu pakai ini saja,” kata Bemi sambil menyodorkan pakaian gantinya kepada Elvis.

“Makasih Bem…”

“Kita duduk dulu di sini sambil menunggu kabar dari bapak-bapak yang turun ke pantai… siapa tahu orang-orang itu ditangkap,” kata Inge sambil berbaring di atas jalan aspal.

“Demi Tuhan… saya tidak akan mau lagi turun ke pantai sampai kapan pun… saya takut… ternyata yang dibilang orang-orang itu benar, yang dibilang bapak saya juga benar. Kita hampir saja diculik…” kata Bemi sambil meneteskan air mata merenungkan kembali apa yang baru saja dialami.

“Saya pun tadi merasa kita tidak bisa terselamatkan. Tetapi puji Tuhan, Tuhan masih melindungi kita. Hanya karena upaya gila untuk menemukan sebutir, dua butir telur burung Maleo, hampir saja nyawa kita melayang,” kata Denis.

“Den… Bem… ayo kita pulang…” 

“Tapi sekolah bagaimana?” kata Denis.

“Kamu gila! bagaimana mungkin dengan kondisi seperti ini balik ke sekolah… gas pulanglah.”

Denis, Bemi, Inge, Minggus dan Elvis pun bergegas pulang ke rumah masing-masing. Beberapa dari mereka dimarahi orangtua, bahkan Denis pun dipukul karena masalah bolos sekolah. Tetapi lebih dari itu yang membuat mereka kemudian dibatasi jangkauan bergaul dan bermain adalah karena informasi tentang kejadian itu telah beredar luas di desa. 

Denis merasa sedikit tertekan dengan situasi pembatasan yang diberikan orangtuanya, karena sebagai anak-anak, yang ia perlukan hanyalah kesenangan bermain. Tetapi bagi orangtua, keselamatan anak dan pendidikan bagi masa depan adalah hal penting guna perubahan. Pengalaman hidup dari kejadian yang penuh risiko itu menjadi ingatan seumur hidupnya. Ia kemudian belajar bahwa hidup ini tidak selamanya indah, pasti ada kesulitan dan bahaya-bahaya yang harus dilewati guna mencapai kebahagiaan. Ia pun terus belajar untuk mawas diri dan insaf atas segala hal yang telah dan akan dilakukan. Bagi Denis, di balik setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup seseorang niscaya ada hikmahnya. 


Selesai



Selphinus Pariama, S.Pd., M.Th. Asal daerah Maluku. Pendidikan terakhir S2 bidang Teologi dari STT Biblika Jakarta. Saat ini Mengajar pada SMA Negeri 2 Kota Sorong. No Kontak [WA]: 082196619164 atau 081247090875.




Tiada ulasan:

TITISAN SUNYI

Titisan Sunyi Karya: Bunga Melor Rintik-rintik hujan, iringi kamar hati sunyi tanpa teman bicara. Senyum kuukir kutatap hujan di jendela sep...

Carian popular