LEX. . . JANJIMU ADALAH LUKA
Ningsi Dara
Alexsander, kekasih hati yang telah menjalani hari-hari indah bersamaku selama lima tahun. Kisah cinta yang kami bangun sejak sama-sama masuk di Perguruan Tinggi yang sama di Surabaya. Banyak cerita, ada sedih pun bahagia. Kami kemudian berpisah setelah menyelesaikan pendidikan selama empat tahun di kampus untuk mencari pekerjaan di daerah kami masing – masing. Aku sebagai ASN dan Alex bekerja sebagai perawat di sebuah Rumah Sakit Swasta di Surabaya tempat asalnya.
Di tahun kelima ini kami memutuskan untuk menikah. Alex dan keluarganya datang untuk melamar dan bersama dengan keluarga besarku kami membuat kesepakatan waktu dan tempat untuk melakukan upacara pernikahan dan juga resepsi. Semua tradisi dilakukan, sesuai dengan adat istiadat yang ada di daerahku. Setelah semua urusan adatnya selesai, Alex dan keluarganya kembali ke Surabaya dan akan datang lagi pada tanggal yang telah kami sepakati.
Waktu berlalu, dua bulan sebelum pernikahan kami. Siang itu aku dikejutkan dengan berita yang sama sekali tidak aku harapkan. Alex meneleponku.
‘Na…’ Suara Alex di telpon sangat tak biasa, terdengar serak dalam tangis.
‘Kenapa Lex?’ tanyaku.
‘Aku bingung mau mulai dari mana bicaranya. Aku minta maaf ya…’ Suaranya amat pelan.
‘Iya Lex, kenapa?’ kataku dengan penuh tanya.
‘Pernikahan kita batal,’ kata Alex dalam tangis.
‘Apa?’ Suaraku melengking membuat mama yang ada di dapur datang mendekat.
HP ku terjatuh dan aku pingsan. Dalam kepanikannya mama dan bapak langsung membawaku ke Rumah Sakit. Saat tersadar aku telah berada di IGD Rumah Sakit. Orang tuaku belum mengetahui hal apa yang terjadi sehingga mama bertanya padaku.
“Ana…sebenarnya apa yang terjadi?” tanya mama sambil menggenggam erat tanganku.
“Alex Ma…” jawabku dengan linangan air mata.
“Kenapa dengan Alex?” lanjut mama.
“Alex membatalkan pernikahan kami,” jawabku masih dalam tangis.
“Alasannya apa?” tanya mama.
“Dia belum mengatakannya karena saat telpon dan dia mengatakan pernikahan kami batal aku langsung histeris dan pingsan,” jawabku sambil menangis.
“Kamu tenang, kamu harus telpon dan harus kuat untuk menanyakan pada Alex alasannya. Mama tahu Alex tidak akan melakukannya jika tanpa alasan. Atau Mama yang telpon Alex?” kata mama.
“Sebentar di rumah aku akan telpon Alex, Ma. Sekarang, Bapak selesaikan semua administrasi sehingga kita pulang, aku sudah lebih baik dan kuat untuk pulang,” jawabku meyakinkan mama dan bapak. Lalu bapak pun segera menyelesaikan administrasi dan juga mengambil obat di apotek sesuai dengan resep yang diberikan oleh dokter.
Setelah semua urusan di Rumah Sakit selesai, kami pulang. Aku dan mama saling diam dalam perjalanan. Lamunanku jauh pada Alex. Ah…Lex kenapa kamu setega ini? Banyak mimpi yang harus kita wujudkan dan juga janji yang harus kita penuhi. Apakah lima tahun itu akan hilang dalam sekejap? Segampang itu? Akankah kita saling kuat dalam langkah kita masing – masing? Mampukah kita menjalani hari yang bukan lagi kita? Alex……. Aku tersadar ketika mama menepuk bahuku dan mengajakku untuk turun dari mobil karena sudah sampai di rumah.
Mama menyiapkan makan malam tanpa banyak bicara seperti biasanya. Ia biarkan aku dalam kesendirian. Setelah makan malam dan mama melihatku semakin tenang, ia memintaku untuk menelpon Alex sehingga semuanya bisa terjawab dan terselesaikan. Akupun menelepon Alex di depan mama dan bapak. Kubiarkan speaker HP on sehingga mereka juga bisa mendengar pembicaraan kami.
‘Lex…’ kataku pelan.
‘Na…aku minta maaf. Tak ada sedikitpun niat untuk membatalkan pernikahan kita. Aku terpaksa,’ kata Alex dengan suara serak. Aku tahu Alex menangis.
‘Aku hanya ingin tahu alasanmu,’ kataku berusaha tegas dan kuat walau hatiku amat sakit dan ingin rasanya aku berteriak
‘Kamu tahu profesi aku Na, perawat di ruang terapi untuk pasien yang gangguan mental. Sepulangnya dari urusan kita untuk mempersiapkan pernikahan kita, ada satu pasien yang aku rawat. Kency namanya. Anak tunggal dalam keluarga, bekerja di sebuah bank swasta. Depresi karena calon suaminya meninggal dalam kecelakaan motor. Hampir setahun dirawat di rumah tanpa ada pendampingan yang baik sehingga keluarganya memutuskan untuk melakukan terapi di Rumah Sakit. Aku profesional menjalankan tugasku sebagai perawat, namun hal yang tak diharapkan terjadi. Kondisi pasien semakin baik namun baginya aku adalah calon suaminya. Ia nyaris bunuh diri saat keluarganya menjelaskan panjang lebar tentang calon suaminya yang sudah meninggal dan aku hanyalah perawat Rumah Sakit yang ditugaskan merawat dan melakukan terapi,’ cerita Alex.
Sesekali kudengar isak kecil Alex. Alex menangis. Dan aku hanya diam membisu dengan linangan air mata.
‘Ana…aku mencintaimu dan kamu tahu seberapa kuat rasaku. Kamu tahu bahwa aku kuat, itu karena kamu. Aku berubah dari semua keberandalanku karena kamu. Kamu berarti untukku Na…aku mencintaimu. Aku mohon kamu bicara Na… apakah langkahku ini salah? Aku membatalkan pernikahan kita karena ada nyawa yang harus aku selamatkan,’ lanjut Alex.
‘Kalau memang itu keputusanmu, apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya bisa menerima, kan…?’ jawabku dengan suara serak dalam tangis.
‘Aku mohon Na…katakan apakah keputusanku ini salah atau benar,’ kata Alex dalam suara memohon.
‘Kamu sudah memutuskan menerima permintaan keluarga pasienmu dengan alasan menyelamatkan nayawa anaknya. Memangnya kamu pernah bertanya ke aku sebelum keputusan itu kamu ambil? Apakah kamu pernah berpikir tentang aku saat keputusan itu kami ambil?’ kataku dengan marah.
‘Na…maafkan aku,’ kata Alex dalam tangis.
‘Kamu sudah memutuskan tanpa meminta pendapatku. Kamu mengabaikan semua kesepakatan keluarga kita. Lalu apalagi yang mau kita bicarakan? Aku kecewa sama kamu Lex…’ jawabku dan langsung kumatikan telponnya. Mama langsung memelukku dan tangisanku semakin menjadi-jadi dalam pelukan mama. Bapak tanpa suara, hanya diam. Kulihat tetesan air mata mengalir di pipinya yang mulai keriput. Alex, kamu telah melukai kami semua. Kamu jahat!
Hari-hari selanjutnya terasa berbeda. Tak ada sapaan dan telepon di pagi hari untuk membangunkanku ataupun sebaliknya. Karena memang sejak telepon terakhir dengan Alex, aku langsung memblokir nomornya. Bagiku, Alex telah mati. Sejak itu juga, aku lebih banyak berdiam diri di kamar bahkan bisa berhari-hari tidak keluar kamar. Untuk makan dan minum, mama yang membawanya ke kamarku. Duniaku hancur. Alex, laki-laki yang sangat aku cintai, harapanku satu-satunya yang akan menemani sepanjang hidupku, nyatanya lebih peduli pada nyawa orang lain. Apakah cinta yang aku beri masih terkalahkan oleh rasa belas kasihan? Apakah janji yang telah kita jaga akan terkalahkan dengan hitungan bulan kebersamaan kalian? Kamu tahu aku sangat rapuh dan bergantung padamu tapi mengapa semua ini kamu lakukan?
Aku malu pada keluarga besar dan juga teman-temanku yang tahu semua rencana pernikahan kita. Apa yang akan aku katakan pada mereka? Dan apa kata mereka jika mereka tahu pernikahan kita batal karena kamu lebih memilih hidup dengan orang lain? Semakin hari kondisiku memburuk. Mama menelepon teman dokternya untuk datang ke rumah. Mama menceritakan semua masalahku dan dokter mendiagnosa aku mengalami depresi. Jika tidak segera diambil, tindakan bisa menjadi lebih buruk lagi. Melihat kondisiku yang demikian, mama dan bapak memutuskan untuk mengajukan surat cuti ke kantorku. Semua urusan cuti, mama meminta teman sekantorku untuk mengurusnya.
Hari-hari semakin membosankan. Suatu malam, entah setan apa yang memenuhi otakku, aku berjalan ke dapur dan mengambil pisau nyaris menikam diriku sendiri. Beruntungnya, mama melihat kejadian itu dan berteriak memanggil bapak yang sedang menonton di ruang tengah. Mama segera menangkap tanganku yang memegang pisau, dan pisau itu terlepas. Bapak memeluk erat tubuhku dari belakang. Aku tersadar dan kaget, mengapa aku bisa ada di dapur?
“Ana… kamu kenapa Nak?” kata mama sambil memelukku.
“Ma…Ana juga bingung kenapa Ana bisa ada di sini. Ana di kamar seharian. Ana tidur Ma tadi,” jawabku.
“Ana…jangan seperti ini Nak.” Suara bapak terdengar pelan menahan tangis.
“Bapak…” kataku sambil berbalik memeluk bapak erat.
“Ana minta maaf Bapak, Ana tidak sadar,” jawabku dalam tangis.
“Sudah Na, ayo kita ke kamarmu,” kata mama.
“Tidak Ma, aku ingin ke kamar Mama dan Bapak. Boleh Ma, malam ini aku tidur dengan kalian?” pintaku.
“Dengan senang hati sayang, ayo.” Mama dan bapak merangkulku menuju kamar. Kami bercerita sambil tiduran. Aku merasa damai ada di antara mereka. Dalam pelukan mereka.
“Na, apa yang bisa Bapak dan Mama-mu lakukan untuk membantu menyembuhkan luka hatimu?” tanya bapak sambil menatap dan mengusap pipiku.
“Bapak... aku minta maaf karena telah mengecewakan kalian. Membuat kalian malu di hadapan keluarga dan juga lingkungan sekitar kita karena batal menikah dengan Alex,” kataku sambil menangis dalam pelukan bapak.
‘Bapak dan Mama sudah ikhlas Nak, mungkin Alex bukan jodoh kamu. Alex anak yang baik, apa yang dia lakukan juga karena terpaksa. Ia juga pasti sedih dan terluka dengan keputusannya. Kalian masih bisa berteman, kan?” tanya bapak.
“Tidak Bapak, sejak telpon malam itu aku memutuskan untuk melupakan Alex. Nomornya telah aku blokir dan hapus. Bagiku, Alex telah mati,” jawabku masih dalam isakan.
“Na… Mama dan Bapak mendukung keputusan apapun yang kamu buat. Kami ada untukmu dalam situasi apapun. Kami sudah ikhlas dengan apa yang terjadi,” kata mama sambil memelukku.
“Ma… maafkan aku karena belum bisa memenuhi keinginan kalian untuk secepatnya menikah karena kalian sangat merindukan cucu,” jawabku.
“Akan ada waktunya sayang, yakinlah pada Tuhan bahwa Ia akan memberi yang lebih baik lagi untukmu. Jangan pedulikan apa kata orang dengan kejadian ini. Mama dan Bapak akan selalu ada untukmu. Alex juga pasti akan menderita karena Mama sangat tahu kalau ia sangat mencintaimu. Ikhlaskan Alex,” kata mama sambil memelukku.
“Iya Ma. Aku pasti akan kuat bersama kalian,” jawabku sambil memeluk mereka. Tuhan terima kasih karena telah memberiku orang tua hebat yang selalu ada untukku. Aku kehilangan Alex, entah dengan cintanya. Tapi cinta orang tuaku akan ada selamanya ada. Dan aku tak butuh obat ataupun terapi untuk menyembuhkan lukaku karena cinta kedua orang tuaku adalah obat yang paling ampuh.
********
BIONARASI
Ningsi Dara, seorang guru pada SMPN 1 Atadei, Lembata NTT. Telah menulis bersama dalam beberapa antologi Puisi dan Cerpen. Sebagai anggota dari komunitas penulis, lokal maupun nasional. Sebagai salah satu penulis dalam buku Muatan Lokal Seni Budaya Lembata. Salam literasi dari timur Indonesia!
Tiada ulasan:
Catat Ulasan