Khamis, 20 Mac 2025

DI UJUNG SENJA, AKU MENYESAL

 DI UJUNG SENJA, AKU MENYESAL

Karya: Agustina Rahman



Langit pagi di madrasahku tampak biru jernih, sinar matahari yang lembut menyinari halaman yang tertata rapi. Suasana begitu damai, seakan langit yang cerah itu sengaja menyambut semangat baru di tahun ajaran yang baru. Aku, seorang siswa kelas XI yang dikenal cerdas, melangkah masuk ke gerbang madrasah dengan senyum tipis di wajahku. Seperti biasa, sebelum pembelajaran dimulai, aku dan seluruh siswa yang jumlahnya mencapai sekitar 1500 orang harus mengikuti kegiatan tadarrus di ruang indoor madrasah.

Kegiatan ini merupakan bagian dari upaya untuk membentuk karakter kami sebagai siswa madrasah, menciptakan kedamaian batin sebelum menghadapi pelajaran yang berat. Kurang lebih 30 menit aku mengikuti kegiatan ini, merasa sedikit lebih tenang, meskipun ada satu hal yang selalu mengganggu pikiranku. Setelah itu, aku bergegas menuju kelas. Namun, bukan buku atau pena yang aku genggam erat—melainkan sebuah ponsel yang layar kaca-nya selalu menyala, bagaikan sahabat yang tak pernah jauh dariku.

Madrasah ini baru saja menerapkan kebijakan baru setelah menjadi piloting Madrasah Digital Learning, sebuah program yang memperbolehkan gawai digunakan sebagai sarana pembelajaran. Para guru berharap kami bisa memanfaatkan teknologi dengan bijak. Namun bagi aku dan beberapa teman, kebijakan ini terasa seperti tiket emas untuk menikmati dunia maya tanpa batas.

Hari itu, kami sedang belajar Bahasa Indonesia, lebih tepatnya materi tentang karya ilmiah. Saat guru menerangkan materi di depan kelas, aku pura-pura serius menatap layar. Sesekali aku mengetik sesuatu di kolom pencarian, tetapi tanganku lebih sering tergelincir ke ikon media sosial. Dunia maya begitu menggoda—lebih menarik daripada materi yang ada di papan tulis. Notifikasi pesan berpendar di layar, bunyi klik game online terdengar samar dari balik meja. Seperti magnet yang tak bisa dihindari, aku terperangkap.

"Kamu, coba jelaskan kembali inti dari materi yang barusan kita bahas," suara Bu Sinta mengalun tenang, namun cukup membuat aku tersentak. Seisi kelas menoleh ke arahku. Aku menelan ludah, menutup layar ponselku dengan cepat. Otakku kosong, pikiranku masih tertinggal di dunia digital. Beberapa teman terkikik pelan, menikmati detik-detik kesulitan yang aku hadapi.

"Umm… tadi tentang…" Aku mencoba mengulur waktu, tetapi percuma. Aku hanya bisa menunduk malu, sementara sang guru menghela napas panjang.

"Andi, teknologi itu alat, bukan hiburan semata. Gunakan dengan bijak sebelum kau terjebak dalam jeratnya," suara Bu Sinta lebih terdengar sebagai nasihat daripada teguran. Aku diam, merenung. Mungkin ini hanya teguran kecil, tetapi entah mengapa kata-kata itu terus terngiang di telingaku. Namun, aku belum menyadari bahwa kelalaian ini akan membawa penyesalan yang lebih besar di kemudian hari.

Hari-hari berlalu, dan kebiasaanku semakin sulit untuk dikendalikan. Gawai yang seharusnya menjadi jendela ilmu, justru berubah menjadi jebakan yang perlahan menelan waktuku. Ketika guru menerangkan materi, aku asyik menggulir layar, berpindah dari satu video ke video lainnya, larut dalam dunia maya yang penuh warna. Sesekali aku membuka laman pencarian, hanya untuk menyamarkan bahwa aku tengah "belajar."

Suatu hari, Bu Sinta, guru Bahasa Indonesia yang dikenal bijak dan tegas, mengamati kami, para siswa dengan tatapan tajam. "Teknologi adalah pedang bermata dua," ucapnya suatu hari, suaranya seperti angin yang berembus menyejukkan, tetapi juga penuh peringatan. "Jika kalian tidak menggunakannya dengan bijak, ia akan menusuk balik tanpa ampun."
 Aku hanya menanggapinya dengan senyum tipis. Aku menganggap nasihat itu seperti angin lalu—datang sesaat, lalu menghilang tanpa bekas. Aku yakin bisa mengatur segalanya. Lagi pula, aku merasa masih mampu memahami pelajaran dengan baik, meski lebih banyak menghabiskan waktu di dunia maya.

Namun, keyakinanku mulai goyah ketika tiba hari yang tak aku duga—hari presentasi hasil pencarian informasi di dunia maya. "Andi, giliranmu," kata Bu Sinta sambil menatapku dengan ekspresi penuh harap.

Aku melangkah ke depan kelas dengan percaya diri, membuka gawaiku, berharap bisa mengandalkan hasil pencarian instan seperti yang biasa aku lakukan. Namun, tanganku gemetar saat menyadari bahwa tak banyak yang bisa aku sampaikan.
Kata-kataku tersendat, suaraku terdengar ragu. Slide presentasiku kosong dari pemahaman, hanya dipenuhi teks hasil salin-tempel yang tak aku pahami. Setiap mata di kelas tertuju padaku, sebagian menunggu dengan sabar, sebagian lagi menahan tawa.
 Di sisi lain, teman-temanku yang menggunakan gawai dengan bijak tampil memukau. Mereka menjelaskan dengan lancar, menghubungkan teori dengan contoh nyata, membuat kelas terpukau dengan wawasan mereka.

Aku menelan ludah. Keringat dingin mengalir di pelipisku. Untuk pertama kalinya, aku merasa seperti orang asing di tengah lautan ilmu. Aku ingin waktu berputar mundur, ingin kembali ke hari-hari di mana aku bisa memilih untuk lebih fokus, lebih mendengarkan, lebih memanfaatkan teknologi dengan bijak. Namun, seperti senja yang tak mungkin kembali menjadi fajar, aku tahu penyesalan ini datang terlambat.

Setelah insiden presentasi yang memalukan itu, aku bertekad untuk berubah. Aku tidak ingin lagi terjebak dalam ilusi kenyamanan dunia maya yang hanya memberiku kesenangan sesaat, tetapi merenggut banyak hal berharga. Maka, saat Bu Sinta mengumumkan tugas proyek baru—membuat artikel ilmiah berbasis sumber dari internet—aku melihat ini sebagai kesempatan emas untuk menebus kesalahanku.

"Ini bukan sekadar tugas," kata Bu Sinta di depan kelas. "Ini adalah pembuktian bahwa kalian bisa menggunakan teknologi sebagai jendela ilmu, bukan sekadar hiburan."

 Aku mengangguk mantap. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa kali ini aku akan fokus. Aku membuka laptop, mulai mencari referensi, membaca jurnal, dan mencatat poin-poin penting. Namun, seperti bayangan yang selalu mengikuti di bawah cahaya, godaan dunia maya terus mengintai.

Awalnya, aku hanya ingin mencari sedikit hiburan setelah membaca artikel panjang. "Lima menit saja," bisikku. Tetapi lima menit berubah menjadi sepuluh, lalu setengah jam, lalu entah berapa lama lagi. Aku kembali terperangkap dalam pusaran notifikasi, video pendek yang mengalir tanpa henti, dan permainan daring yang menjanjikan kesenangan instan.

 Hari berlalu bagai angin yang menyelinap tanpa jejak. Hingga akhirnya, tiba saatnya untuk menghadap waktu yang menuntut hasil—waktu untuk mengumpulkan tugas. Aku baru tersadar saat melihat Dika, teman sebangkuku, menyerahkan artikel ilmiah yang tersusun rapi. Setiap paragrafnya tampak kokoh, dipenuhi argumen yang kuat dan referensi terpercaya. Sementara itu, layar laptopku masih kosong, hanya beberapa baris pembuka yang bahkan belum tersusun dengan baik.

 Panik merayapi tubuhku seperti kabut pekat di pagi buta. Keringat dingin mengalir di pelipisku. Aku mencoba mengetik dengan tergesa-gesa, tetapi waktu tak menungguku. Saat bel berbunyi, aku tahu segalanya sudah terlambat.

Dengan langkah berat, aku maju ke meja Bu Sinta. Napasku tersengal, jemariku gemetar. "Bu… saya…" Kata-kata itu tercekat di tenggorokanku.

Bu Sinta menatapku dalam-dalam, sorot matanya bukan kemarahan, melainkan kekecewaan yang lebih menusuk dari ribuan kata teguran. "Andi, aku tahu kau bisa lebih baik dari ini," katanya. "Aku memberimu satu kesempatan terakhir. Gunakan dengan bijak."

Aku menunduk. Kali ini, aku benar-benar merasa tenggelam dalam penyesalan. Namun, berbeda dari sebelumnya, kali ini aku tak ingin hanya menyesal—aku ingin memperbaiki semuanya, sebelum senja benar-benar menutup harapannya.

Langit sore merona jingga saat aku duduk di meja belajarku, menatap layar laptop yang kini bukan lagi jendela hiburan, tetapi gerbang ilmu. Aku menghela napas panjang, mengingat bagaimana diriku dulu terjebak dalam jerat dunia maya, membuang waktu tanpa sadar. Namun kali ini, aku tidak ingin jatuh ke lubang yang sama.

Dengan tekad baru, aku mulai mengatur ulang kebiasaanku. Aku menghapus aplikasi yang selama ini mencuri fokusku, membatasi waktu penggunaan media sosial, dan memasang pengingat di layar gawaiku. "Gunakan dengan bijak. Masa depanmu tergantung pada pilihanmu." Setiap kali tanganku gatal untuk membuka permainan daring atau menggulir media sosial, aku membaca pengingat itu dan mengingat kembali rasa malu serta penyesalan yang pernah aku rasakan.

Namun, aku sadar bahwa mengatur gawai saja tidak cukup. Aku perlu belajar cara menggunakannya dengan benar. Maka, aku mendekati Dika—teman yang selama ini aku anggap hanya sekadar siswa rajin, tetapi kini menjadi inspirasiku.

"Dik, ajarin aku cara mencari sumber yang kredibel, dong," ujarku dengan sedikit ragu. Dika tersenyum, tak menyangka Andi akhirnya meminta bantuan. "Gampang, An. Yang penting, jangan asal salin-tempel. Kita harus bisa memilih dan memilah mana informasi yang valid dan mana yang hanya sekadar opini."

Alhamdulillah, aku mulai memahami bagaimana cara mencari jurnal ilmiah, membaca artikel yang berbobot, dan menyusun tulisan yang sistematis. Aku belajar mengutip sumber dengan benar, memahami argumen dengan lebih kritis, dan yang paling penting—aku mulai menikmati prosesnya.

Tugas baru dari Bu Sinta: Menulis artikel ilmiah yang lebih kompleks. Kali ini, aku tidak lagi panik di menit-menit terakhir. Aku menyusun kata demi kata dengan teliti, memastikan setiap kalimatnya berdasar pada referensi yang akurat. Malam sebelum pengumpulan, aku membaca ulang tulisanku, memastikan tak ada kesalahan. Untuk pertama kalinya, aku merasa bangga dengan hasil kerjaku sendiri.

Hari pengumpulan tugas tiba. Saat Bu Sinta membaca artikelku, mata Bu Sinta berbinar. "Bagus, Andi. Aku bisa melihat usaha dan perubahanmu," ucapnya sambil tersenyum. Ucapan itu bagaikan embusan angin sejuk di tengah teriknya matahari dalam perjalanan panjang. Aku tersenyum, bukan karena pujian, tetapi karena aku tahu diriku telah menang—bukan atas orang lain, tetapi atas diriku sendiri.

Di ujung senja itu, aku tidak lagi menyesal. Aku belajar bahwa perubahan memang tidak terjadi dalam semalam, tetapi selagi ada niat, selalu ada jalan untuk memperbaiki diri.

Senja kembali menyapa langit madrasahku, memancarkan semburat keemasan yang lembut. Di dalam kelas, aku duduk di bangkuku, menatap layar gawaiku—bukan untuk bermain atau membuang-buang waktu, tetapi untuk membaca artikel ilmiah yang sedang aku pelajari. Aku tersenyum kecil, menyadari betapa besar perubahan yang telah aku alami.

Dulu, gawai adalah jerat yang tanpa sadar menyeretku ke dalam lautan hiburan tanpa batas. Kini, gawai adalah jendela ilmu yang membawaku ke dunia yang lebih luas. Aku telah menemukan keseimbangan, memahami bahwa teknologi hanyalah alat—bagaimana aku menggunakannya yang menentukan apakah aku akan maju atau tenggelam dalam ketidaktahuan.

Tak ingin teman-temanku mengulangi kesalahan yang sama, aku mulai berbagi pengalaman. Aku bercerita bagaimana aku dulu kecanduan media sosial dan game, bagaimana aku gagal dalam tugas-tugasku, dan bagaimana akhirnya aku menemukan cara untuk mengendalikan diri.

"Serius, Di? Lo bisa berubah gitu?" tanya Raka, salah satu temanku yang juga sering terjebak dalam pesona dunia maya.

Aku mengangguk. "Iya. Awalnya sulit, tapi kalau kita sadar dan mau usaha, semuanya bisa berubah. Teknologi itu ibarat pisau, Rak. Kalau kita pakai dengan benar, kita bisa memanfaatkannya untuk hal-hal luar biasa. Tapi kalau kita lengah, kita malah bisa melukai diri sendiri."

Beberapa teman mulai tertarik mendengar ceritaku. Mereka mulai bertanya bagaimana cara mencari sumber yang kredibel, bagaimana mengatur waktu agar tidak kecanduan gawai, dan bagaimana tetap produktif tanpa harus mengorbankan kesenangan.

Bu Sinta, yang diam-diam memperhatikan dari kejauhan, tersenyum bangga. Dia melihat perubahan nyata dalam diri Andi—bukan hanya dalam caranya belajar, tetapi juga dalam caranya menginspirasi orang lain.

Langit senja semakin pekat, perlahan berganti malam. Namun, bagiku, ini bukan lagi senja yang penuh penyesalan. Ini adalah senja yang menandai awal dari perjalanan baru—perjalanan menuju masa depan yang lebih cerah, di mana teknologi bukan lagi musuh, melainkan sahabat dalam menuntut ilmu.

Makassar, 18 Maret 2025

 

 

BIONARASI

 


Hj. Agustina, S.Pd., M.Pd.  Lahir di Lemoa, Kab. Gowa Sulawesi Selatan, 10 Agustus 1975. Pendidikan terakhir S2 di Universitas Muhammadiyah Makassar. Mengajar di MAN 2 Kota Makassar. Fasilitator Provinsi PKB Guru mapel Bahasa Indonesia 2021-2024 dan Penulis Modul PKB Guru 2023 pada Kementerian Agama. Antologi Cerita Mistis/Horor (2024), Novel Sepenggal Kisah Kehidupan (2024),  Pentigraf Kanvas Kata Penuh Warna (2024), Guru Berprestasi (2023 dan 2024), Guru Teraktif dalam Pengembangan Diri (2025), Antologi Jejak Masa Riuh Kenangan (2025), dan aktif menulis Puisi di Blog KGS.

Tiada ulasan:

TITISAN SUNYI

Titisan Sunyi Karya: Bunga Melor Rintik-rintik hujan, iringi kamar hati sunyi tanpa teman bicara. Senyum kuukir kutatap hujan di jendela sep...

Carian popular