DI BALIK SENYUM YANG RETAK
Karya: Agustina Rahman
Namaku Andin. Aku adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Aku menjadi satu-satunya bunga di antara dua karang, membuatku sering disebut paling manis dan menarik. Ibuku telah pensiun, sedangkan ayahku adalah sosok tangguh, seperti baja, selalu bekerja keras tanpa mengenal lelah.
Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan dasar dan pendidikan tingkat pertama, aku pun memupuk harapan untuk menggapai jenjang yang lebih tinggi. Dengan semangat menggelora, aku memilih salah satu sekolah paling bergengsi dan ternama di kotaku, tempat yang selama ini hanya kulihat dari balik mimpi.
Tiga tahun telah berlalu, namun kenangan itu masih hangat di ingatanku. Betapa senangnya aku bisa menjadi bagian dari sekolah ini, sebuah tempat yang dulu hanya ada dalam khayalanku. Bagaimana tidak? Di tengah gemuruh tawa dan senyum kemenangan kami, terselip air mata dari mereka yang belum beruntung. Harapan mereka terbang tinggi, namun harus jatuh sebelum sempat menyentuh langit.
Hari pertama sekolah akhirnya tiba. Sejak semalam, mataku enggan terpejam, seolah waktu berjalan dengan langkah yang berat. Aku hanya bisa menatap langit-langit kamar, berharap pagi segera mengetuk jendela. Detik demi detik terasa menjelma menjadi jam, dan jam berubah menjadi hari. Pukul 06.30 WITA pun akhirnya datang. Dengan hati berdebar tetapi penuh semangat, aku melangkah menuju gerbang sekolah.
“Hai, perkenalkan, namaku Andin. Aku dikenal sebagai gadis yang ceria, ramah, dan mudah bergaul,” ucapku menyapa teman-teman baruku. Mereka datang dari berbagai latar belakang. Hari-hari kulalui dengan senyum yang tak pernah absen, penuh semangat dan kehangatan. Tentu saja, karena aku sedang hidup di dalam mimpi yang akhirnya menjadi nyata.
Di kelas itu, aku pernah menjadi matahari kecil—memberi kehangatan bagi yang lain, meski cahayaku tak pernah benar-benar menyilaukan. Tetapi suatu hari, sinar itu meredup. Ia hilang, ditelan awan kelabu bernama ejekan, cemooh, dan tawa yang menyayat seperti pecahan kaca yang menusuk diam-diam.
Entah apa sebabnya, aku sendiri tak benar-benar mengerti. Sikap teman-temanku berubah drastis, seakan dunia mereka berputar 180 derajat. Ada yang tiba-tiba menjaga jarak, ada yang mulai mengganggu dengan candaan yang tak menyenangkan, bahkan ada yang senang menyulut konflik kecil di antara kami. Perlahan, aku merasa terasing. Mereka mulai menyebutku “aneh,” seperti boneka usang yang retak dan tak pantas lagi dipajang, hanya layak disimpan di sudut gelap dan dilupakan.
Setiap hari terasa seperti sandiwara tanpa akhir. Kursiku sering ditarik diam-diam, sepatuku tiba-tiba menghilang entah ke mana, tasku berubah menjadi papan hinaan yang penuh coretan ejekan, dan kotak nasiku kadang sudah kosong sebelum sempat kusentuh. Itu belum semua—masih banyak kejadian kecil lainnya yang menusuk diam-diam, seperti jarum halus yang tak terlihat, namun terasa.
Awalnya, aku mencoba kuat, pura-pura tak peduli. Tetapi semakin hari, pundakku terasa berat menanggung semua ini. Aku mulai merasa lelah... lelah menghadapi teman-teman yang kini serasa menjadi bayangan gelap.
Suatu hari, aku memberanikan diri membuka hati pada wali kelasku. Dengan suara lirih, aku mencurahkan semua yang selama ini kupendam—yang membuatku merasa seperti orang asing di tempat yang seharusnya menjadi rumah kedua. Beliau mendengarkan dengan sabar, lalu memanggil beberapa dari mereka untuk mencari akar masalahnya. Setelah pertemuan itu, keadaan sempat membaik. Aku merasa lega dan merasa aman. Tetapi itu tak berlangsung lama, semuanya kembali seperti mimpi buruk yang tak ingin kuingat. Mereka menghina, mengejek, merundung, dan bahkan lebih menyakitkan dari sebelumnya.
Aku tak sanggup lagi. Aku kehilangan rasa percaya diri. Aku berubah menjadi bayangan yang hanya berdiri di tepi kelas, diam nyaris tak terlihat. Suara tawa dan ejekan mereka menusuk perlahan, yang tak melukai kulit tetapi menembus batin. Luka itu tumbuh perlahan, seperti jamur di musim lembap, menyebar, menyelimuti tiap sudut pikiranku.
Akhirnya, aku berhenti sekolah. Bukan karena aku malas, tetapi karena jiwaku sudah kehilangan daya untuk melangkah. Kakiku terasa berat setiap pagi—bukan karena tumpukan buku di dalam tas, tetapi karena ada beban tak terlihat yang menggantung di punggungku, perasaan bahwa aku tidak berharga. Aku tidak sanggup menatap wajah-wajah yang dulu terasa akrab, tetapi kini tinggal bayang-bayang yang mengejek dalam diam.
Ayah dan ibuku heran bukan main ketika melihatku masih berada di rumah saat seharusnya aku sudah di sekolah. Mereka menatapku penuh tanya, tetapi aku hanya diam membisu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Mereka terus bertanya, satu demi satu, kenapa aku tidak pergi ke sekolah, apa sebenarnya yang terjadi? Tetapi aku tetap diam. Mulutku terkunci, bukan oleh rasa takut, melainkan oleh dinding tebal yang kubangun sendiri di dalam dada. Aku bungkam... diam seribu bahasa, seolah kata-kata telah tenggelam di lautan luka.
Kamarku menjadi tempat pelarian, sunyi dan remang, seperti gua tersembunyi dari hiruk pikuk dunia luar. Di sanalah aku berdiam diri, menjauh dari sorotan mata dan suara yang menusuk. Hanya dinding-dinding itu yang menjadi saksi bisu. Mereka tahu tentang air mata yang jatuh di tengah malam, tentang teriakan yang tertahan di tenggorokan, dan tentang keinginan untuk menghilang perlahan, setenang kabut yang memudar saat matahari terbit.
Setiap pagi, Ibu memanggil namaku. Aku tidak menjawab, diam dalam dunia kecilku yang hening. Sampai suatu malam, Ibu duduk di sampingku. Tak ada amarah di matanya, hanya kehangatan yang menetes perlahan bagai embun di pagi hari.
“Nak, kalau kamu terluka, katakan,” bisiknya lirih. “Meski lukamu tak terlihat oleh mata, Ibu percaya ia ada. Ibu di pihakmu. Ceritakan apa yang terjadi. Apa yang membuatmu memilih diam? Apa yang teman-temanmu lakukan hingga membuatmu menghilang dari hari-harimu?” Ia menyentuh pundakku, lalu berkata, “Jangan simpan semua sendiri. Jangan biarkan ucapan mereka menjadi rantai yang menahan langkahmu. Anggap saja semua ejekan itu angin lalu, sekadar usil yang tak punya makna.”
Kata-kata Ibu begitu lembut dan menyelinap masuk lewat celah tirai kamarku. Tidak menyilaukan, tetapi cukup hangat untuk menyadarkanku bahwa dunia ini belum sepenuhnya tenggelam dalam gelap. Perlahan, aku mencoba berdiri. Aku ingin kembali ke sekolah. Aku ingin menghadapi semuanya. Kali ini, bukan untuk melawan dengan amarah, tetapi dengan keberanian.
“Ayo, kamu pasti bisa, Tetap semangat, Jangan menyerah,” bisikku pada diriku sendiri. “Hadapi mereka, dan jangan biarkan rasa takut menang lagi.” Aku mulai percaya, meskipun langkahku kecil, itu tetap langkah menuju terang.
Aku membulatkan tekad untuk kembali ke sekolah. Aku ingin menghadapi semuanya, tak ingin lagi bersembunyi dalam bayang-bayang ketakutan. Aku melangkah dengan hati yang masih gemetar, tetapi penuh niat. Setibanya di kelas, suasana berjalan seperti biasa—mereka menyapa dengan caranya masing-masing: ada yang tertawa lepas, ada yang melempar senyum seolah tak terjadi apa-apa, ada pula yang bernyanyi seakan dunia tak menyimpan luka.
Aku mencoba melawan, menegakkan keberanian yang tersisa. Tetapi ternyata, langkahku masih goyah. Aku belum sanggup... namun aku tidak menyerah. Aku menggantungkan harapan pada sosok guru BK, guru yang selalu mendengar keluh kesahku. Kata-katanya menjadi penyejuk hati dan pengingat bahwa manusia seharusnya saling menguatkan, bukan menyakiti. Beliau datang seperti pelita di ruang gelap, mencoba menuntun dan menyelesaikan kekusutan yang terjadi di kelas.
Setelah melalui pembicaraan panjang dan pertimbangan matang dari guru BK, wali kelas, serta orang tuaku, akhirnya aku dipindahkan ke kelas lain. Aku melangkah dengan harapan baru—semoga kelas baru ini bukan sekadar ruang berbeda, tetapi tempat di mana luka bisa sembuh dan cahaya bisa tumbuh.
Aku mulai merasa aman—ibarat burung yang akhirnya menemukan sarang setelah terbang dalam badai. Di sini, aku bertemu sahabat yang tak hanya menemani, tetapi juga memberi semangat. Bersama mereka, aku mendapat energi baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Hangat, tulus, dan menguatkan. Hari-hariku kembali terisi dengan cahaya. Aku mengikuti pelajaran dengan penuh perhatian, menjalani ulangan harian dengan semangat, bahkan berhasil menghadapi ujian akhir semester.
Kini, aku bukan lagi siswa baru. Aku telah berhasil naik ke kelas XI. Langkah kecil yang menandai kemenangan besar atas luka dan ketakutan masa lalu. Itu artinya, aku harus belajar lebih giat lagi, dan menjalani hari-hari dengan semangat serta rasa percaya diri. Setiap hari kulewati dengan hati yang lebih tenang, tak lagi dibayangi rasa cemas yang dulu membelenggu. Aku kembali tersenyum dan kembali ceria. Rasanya seperti menemukan kembali diriku yang sempat hilang di tengah badai.
Hari ini aku belajar mata pelajaran favoritku: Seni Budaya. Aku begitu menyukai seni karena menari adalah hobiku sejak SD. Setiap kali ada acara sekolah, aku selalu tampil di panggung, seperti kupu-kupu kecil yang bebas menari di tengah taman bunga.
Lonceng istirahat berbunyi nyaring dan tegas, aku dan teman-temanku bergegas menuju kantin. Kami berlomba, ingin jadi yang tercepat agar tak harus mengantre panjang dan bisa kembali tepat waktu ke pelajaran selanjutnya. Namun, tanpa kuduga, di tengah langkah cepat menuju kantin, mataku menangkap sosok-sosok familiar—teman-teman dari kelasku yang dulu. Teman-teman yang pernah mengukir luka. Seketika, jantungku berdetak lebih kencang. Bayangan masa lalu kembali menari di benakku, mengoyak kepercayaan diri yang susah payah kuperbaiki.
Sesampainya di kelas, aku tak sanggup lagi menahan semuanya sendiri. Kata-kata mereka tadi masih terngiang di telingaku—menancap dan menyayat tanpa ampun. Dengan suara gemetar, aku ceritakan semuanya kepada sahabat-sahabatku. Tatapan mereka berubah seketika. Mata yang biasanya teduh kini menyala, dipenuhi amarah yang membara. Wajah mereka menegang. “Kita harus lakukan sesuatu!” seru salah satu dari mereka, suaranya setajam pedang yang terhunus.
Namun aku menatap mereka dengan mata yang basah, dan pelan aku menggeleng. “Jangan...” suaraku nyaris tak terdengar, tetapi cukup untuk membuat mereka terdiam. “Jangan kalian ikut ke dalam gelapnya dunia yang sedang menelanku.” Aku menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan sisa-sisa kekuatan yang masih tersisa. “Aku harus bisa berdiri, meski sendirian.”
Waktu seolah membeku. Detik-detik terasa menggantung, berat. Jam pulang masih satu jam lagi, tetapi jiwaku sudah letih, remuk. Aku ingin pulang bukan hanya ke rumah, tetapi ke pelukan ibuku ─ satu-satunya tempat di dunia ini yang terasa benar. Aku ingin menangis tanpa harus menjelaskan. Ingin runtuh tanpa takut dihakimi. Ingin menyampaikan luka hari ini tanpa harus berkata apa-apa—karena aku tahu, dengan satu pelukannya, semua luka akan mulai sembuh perlahan.
“Kenapa, apa lagi yang terjadi? Ceritakan pada Ibu, Nak. Jangan dipendam sendiri, nanti hatimu bisa terluka.” Ibu memeluk tubuhku erat dan membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. Aku menangis terisak-isak, membiarkan air mata mengalir deras dalam dekapan hangatnya. “Bu, kenapa hidupku selalu dipenuhi kesialan?” tanyaku dengan suara gemetar. Ibu menghela napas dan berkata pelan, “Cukup, Nak. Jangan terus menyalahkan dirimu sendiri. Kadang hidup memang tak selalu ramah, tapi kamu tidak sendiri.”
Aku kembali tenggelam dalam kesedihan. Aku lebih memilih mengurung diri di dalam kamar, menjauh dari dunia luar, dan menolak pergi ke sekolah karena bayangan wajah mereka masih menghantui pikiranku. Hari demi hari berlalu, dan kondisiku semakin memburuk—aku kehilangan nafsu makan, tubuhku melemah, stres, dan akhirnya jatuh sakit. Ibuku hanya bisa menatapku dengan mata yang berkaca-kaca, hatinya tercabik melihat anaknya yang dulu ceria, kini layu seperti bunga yang kehilangan sinar matahari.
Esokya, Ibu ke sekolah dengan wajah penuh kekhawatiran untuk bertemu wali kelasku. Dengan suara lirih namun tegas, beliau menceritakan keadaanku yang sebenarnya—betapa aku mulai menjauh dari dunia, enggan makan, dan diliputi kecemasan yang tak kunjung reda. Wali kelasku menanggapi dengan anggukan penuh empati, “Terima kasih atas informasinya, Bu. Insya Allah, semua akan kami tindak lanjuti sebaik mungkin.”
Melihat keadaanku yang semakin memburuk dari hari ke hari, Ibu akhirnya mengambil keputusan untuk membawaku ke psikiater. Ia sangat cemas, takut jika beban pikiranku yang terus menumpuk bisa menyeretku ke jurang gangguan mental. Esok paginya, aku diajak ke sebuah tempat yang awalnya terasa asing di mataku. Namun, bukan ruangan dingin dengan bau obat menyengat seperti bayanganku, melainkan tempat yang hangat dan menenangkan, dipenuhi warna lembut, suara yang mengayun pelan, dan tatapan penuh pengertian yang seolah berkata, “Kamu aman di sini.”
Namanya Bu Intan. Ia tidak memaksaku untuk berkata apa pun, hanya menyodorkan selembar kertas putih dan sebatang pensil. Dalam diam, aku mulai menggambar—sebuah kepala dengan mulut terkunci rapat oleh gembok besar. Setiap goresan terasa seperti suara yang tak sanggup keluar. Bu Intan memandangi gambarku sejenak, lalu dengan suara pelan dan penuh makna, ia bertanya, “Kenapa harus dikunci?”
“Karena kalau kubuka... suara-suara itu bisa keluar, aku takut,” ucapku pelan, nyaris seperti bisikan yang tercekat. Bu Intan tidak tertawa—berbeda dari mereka yang dulu menertawakanku tanpa ampun. Ia hanya menatapku dalam, dengan mata yang seolah berkata bahwa aku berarti. Untuk pertama kalinya, aku merasa utuh—bukan barang cacat yang dibuang, tetapi seseorang yang masih punya nilai di dunia ini.
Hari-hari selanjutnya, aku mulai belajar memahami luka-luka yang pernah kuabaikan. Aku menulis—bukan sekadar kata, tetapi tentang pergolakan hebat yang pernah berputar di dalam dadaku, tentang malam-malam sunyi yang terasa dingin menusuk, dan tentang senyum yang selama ini kupakai seperti topeng yang retaknya tak kasatmata. Sedikit demi sedikit, awan kelabu yang dulu pekat mulai memudar.
Hari ini aku kembali menginjakkan kaki di sekolah. Langkahku pelan, ringan tetapi tak mantap, rapuh namun tetap maju. Beberapa orang masih menatapku dengan pandangan tajam, seolah sedang menilai benda di etalase. Tetapi di antara tatapan-tatapan itu, ada juga sepasang mata yang memandangku seperti sesama manusia—bukan cerita buruk yang harus dijauhi, melainkan seseorang yang sedang mencoba bangkit.
Seseorang menyapaku pelan, “Hai, Andin.” Aku tak menjawab, tetapi kali ini aku juga tak melangkah pergi. Mungkin mereka tak akan pernah benar-benar mengerti tentang riuh pertempuran yang telah lama berlangsung di dalam pikiranku dan tentang malam-malam sepi yang menyesakkan, tentang luka yang tak berdarah tapi menyengat dari dalam.
Namun, aku tak lagi menunggu pemahaman dari mereka. Aku telah berubah. Aku berdiri di sini bukan untuk membalas, melainkan untuk menjadi bukti bahwa luka bisa sembuh, dan jiwa bisa tumbuh kembali. Aku sadar, aku tak butuh izin atau alasan untuk tetap bertahan. Yang terpenting, aku masih di sini—masih berdiri, masih bernapas, dan masih berjuang untuk hidup, meski tertatih. Dan saat aku menoleh pelan ke arah suara itu, aku tersenyum—bukan untuk siapa-siapa, tetapi untuk diriku sendiri. Karena aku tahu, bertahan pun bisa menjadi bentuk keberanian yang paling sunyi.
BIONARASI
Hj. Agustina, S.Pd., M.Pd. Lahir di Lemoa, Kab. Gowa Sulawesi Selatan, 10 Agustus 1975. Pendidikan terakhir S2 di Universitas Muhammadiyah Makassar. Mengajar di MAN 2 Kota Makassar. Fasilitator Provinsi PKB Guru mapel Bahasa Indonesia 2021-2024 dan Penulis Modul PKB Guru 2023 pada Kementerian Agama. Penulis Antologi Cerita Mistis/Horor (2024), Novel Sepenggal Kisah Kehidupan (2024), Pentigraf Kanvas Kata Penuh Warna (2024), Antologi Jejak Masa Riuh Kenangan (2025), Penulis Antologi Sumbangsih Pemikiran Para Penulis Indonesia Maju (2025), Antologi Puisi Riuh dalam Sunyi (2025), Antologi Senandung Syair (2025), 99 Cerita Edukasi (2025), Antologi Ramadan Hadiah dari Rabb untuk Kita (2025), Antologi Puisi Bait Terakhir (2025), The Female Muse (2025), dan aktif menulis Puisi dan Cerpen di Blog KGS.