Isnin, 19 Mei 2025

DI BALIK CERMIN SENJA

 DI BALIK CERMIN SENJA

Oleh: Warsono Abi Azzam


Lama aku menatap diriku di cermin, terdiam dalam hening yang hanya bisa kudengar sendiri. Di balik kaca bening itu, bayanganku tampak utuh. Rambut hitam yang sedikit berantakan, mata lelah yang menatap lurus tanpa nyawa, dan wajah yang tak lagi kukenal seperti dulu. Orang-orang mungkin tak akan menyadari, tetapi ada sesuatu yang retak di dalam sini, jauh di dalam, di balik kulit dan tulang yang terlihat utuh.

“Siapa kamu sebenarnya?”

Pertanyaan itu selalu datang tanpa diminta. Kadang di pagi hari saat aku baru membuka mata, kadang saat aku berada di tengah keramaian, kadang hadir di antara timbunan pekerjaan. Dan kadang, seperti sekarang, saat senja mulai tenggelam di luar jendela kamar.

“Aku ini siapa?”

Sebuah pertanyaan yang tampaknya sederhana, namun jawabannya selalu menguap di udara. Nihil! Hampa! Aku telah hidup selama lebih dari 28 tahun di dunia ini, nyaris 29,  tetapi tak pernah sungguh-sungguh tahu siapa diriku. Aku hanya mengalir, mengikuti arus waktu yang bergerak cepat, seperti daun yang hanyut di sungai tanpa tahu kapan dan di mana harus berhenti.

Setiap hari, aku bangun, mandi, bekerja, berbicara dengan orang-orang, tertawa di saat yang diharapkan untuk tertawa, mengangguk saat perlu, menggeleng saat diminta. Namun, di balik semua itu, ada kehampaan yang begitu sulit dijelaskan. Seperti ada ruang kosong yang terus-menerus kubawa, terus menerus mengikuti ke mana kaki melangkah, dan aku tak tahu dengan apa dan bagaimana harus mengisinya.

“Apakah aku hidup atau hanya menjalani rutinitas?”

Pertanyaan itu mengiang kembali. Selama ini, aku terus mengabaikannya, berharap dengan begitu ia akan hilang. Tetapi tidak, justru semakin aku abaikan, semakin kuat suaranya di dalam kepalaku. Dan setiap kali pertanyaan itu muncul, ada rasa cemas yang menggulung di dada, seperti ombak yang siap menghantam tepi pantai. Kecemasan yang tak pernah benar-benar kubagikan pada siapa pun.

Aku memalingkan wajah dari cermin, mencoba mengalihkan pikiranku ke hal lain. Mungkin aku butuh udara segar. Dengan langkah gontai, aku keluar dari kamar dan menuju balkon kecil di apartemenku. Matahari sudah hampir tenggelam, menyisakan langit yang berwarna jingga kemerahan. Cahaya senja selalu membuatku merasa seolah-olah dunia ini sedang berhenti untuk beberapa saat, memberi ruang bagi diriku untuk berpikir, atau mungkin, untuk menenangkan diri.

Namun, di dalam ketenangan itu, suara dalam kepalaku justru semakin nyaring, semakin kuat menuntut jawab. 

“Mengapa kamu merasa kosong?”

Pertanyaan itu tak pernah benar-benar terjawab. Mungkin karena aku takut untuk mencari jawabannya, atau mungkin, karena aku tak pernah tahu harus mulai dari mana. Hidupku tak pernah benar-benar buruk, tidak ada trauma besar, tidak ada luka yang menganga. Semuanya biasa saja. Tetapi mungkin, justru kebiasaan itu yang membuatku merasa hampa. Seperti menjalani hari demi hari dengan warna yang sama, tanpa ada perubahan, tanpa ada tujuan.

Aku ingat, dulu, ketika aku masih kecil, aku selalu berpikir bahwa hidup ini penuh dengan hal-hal besar. Aku bermimpi menjadi seseorang yang penting, seseorang yang dikenal, seseorang yang begitu dibutuhkan banyak orang, seseorang yang membawa perubahan bagi dunia, setidaknya di lingkungan kerjaku. Tetapi semakin aku tumbuh dewasa, semakin aku merasa terjebak dalam rutinitas yang membosankan. Semua mimpi-mimpi besar itu terasa jauh, dan makin menjauh. Celakanya, aku tak tahu bagaimana harus mencapainya.

“Apa yang sebenarnya kamu inginkan?”

Sekali lagi, pertanyaan itu datang. Dan seperti biasa, aku tak punya jawabannya. Belum, mungkin tepatnya.

Aku mendengar suara langkah kaki di bawah balkon, mengalihkan perhatianku sejenak. Ada sepasang pria dan wanita muda, mungkin sepasang kekasih berjalan beriringan.  Senda dan tawa kecil terdengar lepas di antara mereka. Si wanita bergelayut manja pada prianya. Mereka tampak bahagia, atau setidaknya, itulah yang terlihat dari luar. Aku tak pernah benar-benar tahu bagaimana rasanya menjadi begitu bebas, tanpa beban, tanpa rasa cemas yang menggelayut di dada.

Aku pernah mencoba, tentu saja. Berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa hidupku juga penuh warna. Aku tertawa bersama teman-teman, mentertawakan kekonyolan-kekonyolan yang kami ciptakan. Aku menghadiri pesta, aku bercanda tentang hal-hal kecil, tergelak lepas ketika salah seorang teman melakukan tindakan konyol, hingga kakinya terpeleset, membentur kaki meja di depannya, dan piring berisi kudapan dan gelas berisi minuman tumpah menimpa tubuhnya yang lumayan tambun. Aku menikmati keriuhan, menikmati warna-warni kehidupan yang kami ciptakan. 

Meski demikian, selalu ada bagian dari diriku yang tetap dingin, hambar, seolah-olah aku hanya seorang penonton dalam hidupku sendiri. Aku melihat diriku berbicara, mendengar suaraku sendiri, tetapi rasanya seperti orang lain yang melakukannya. Seperti aku hanya memakai topeng yang semakin lama semakin sulit untuk kulepaskan.

“Mungkin kamu hanya takut.”

Ya, mungkin aku memang takut. Takut untuk benar-benar jujur pada diriku sendiri. Takut untuk menghadapi kenyataan bahwa aku tak tahu apa yang sebenarnya kuinginkan dalam hidup ini. Takut untuk menerima bahwa aku mungkin tak pernah bisa menjadi seperti yang dulu kubayangkan, yang selalu menghiasi mimpi-mimpi malamku. Dulu, dulu sekali.

Aku menutup mata, merasakan angin sore yang mulai dingin. Rasanya nyaman, meski hanya sejenak. Tetapi bahkan dalam kenyamanan itu, ada suara kecil yang mengusik.

“Apakah kamu akan terus begini selamanya?”

Entah kenapa, kali ini pertanyaan itu terasa lebih menusuk. Mungkin karena aku tahu, aku tak bisa terus-menerus mengabaikan perasaan ini. Ada sesuatu yang harus kulakukan, tetapi aku belum tahu apa. Aku harus bangkit berdiri, bahkan kalau perlu berlari. Tetapi dari mana aku harus mulai melangkah, dan ke arah mana? Aargh... Suara itu masih saja berpusar di atas kepalaku. 

Langit mulai gelap, hanya menyisakan semburat cahaya oranye kemerahan yang memudar di cakrawala. Aku memutuskan untuk kembali masuk ke dalam. Ruangan apartemenku terasa dingin dan kosong, seperti cerminan dari pikiranku sendiri. Aku menatap sekeliling, melihat meja kerjaku yang penuh dengan kertas dan laptop yang masih menyala. Di sana ada sederet e-mail yang menunggu untuk dibalas, pekerjaan yang harus diselesaikan. Namun, semua itu terasa begitu jauh dari diriku saat ini.

Aku berjalan ke meja, duduk di kursi dengan perasaan berat. Tanganku terulur ke keyboard, tetapi aku ragu-ragu. Kepalaku terasa penuh, namun sekaligus kosong. Aku tidak tahu dari mana harus memulai. Rasanya seperti ada jarak antara diriku dan dunia di sekitarku, seolah aku hidup dalam gelembung yang tidak bisa disentuh oleh apa pun.

Mungkin inilah yang orang sebut dengan krisis eksistensial. Sebuah perasaan yang datang saat kita mulai mempertanyakan makna hidup dan keberadaan kita di dunia. Aku pernah membaca tentang itu di suatu artikel, tetapi tak pernah benar-benar memahaminya. Sekarang, mungkin aku sedang mengalaminya sendiri, meskipun aku tidak tahu bagaimana menghadapinya.

Aku menutup dan mematikan laptopku, bangkit lagi dari kursi. Seolah aku tak bisa duduk diam terlalu lama, karena itu hanya akan membuat pikiran-pikiranku semakin berputar tanpa henti. Aku berjalan menuju jendela, menatap kota yang mulai dipenuhi oleh lampu-lampu. Hiruk-pikuk di luar sana terus berlanjut, seolah-olah hidup tak pernah berhenti. Namun di sini, di dalam ruangan ini, waktuku terasa beku.

“Apa yang harus aku lakukan?”

Suara dalam kepalaku menuntut jawaban. Aku tahu aku tak bisa terus-menerus bersembunyi dari pertanyaan-pertanyaan ini. Tetapi menemukan jawabannya terasa seperti mencari jalan di tengah kabut tebal—tak ada yang jelas, semuanya buram.

Aku menatap ke arah cermin lagi. Bayanganku masih di sana, tetapi kali ini, aku mencoba melihat lebih dalam. Mencari sesuatu yang lebih dari sekadar pantulan fisik. Ada mata yang menatapku balik, mata yang menyimpan banyak cerita yang belum terungkap. Aku bertanya-tanya, apa yang ada di balik tatapan itu? Apakah ada harapan yang tersisa, atau hanya kelelahan yang tak berujung?

“Mungkin kamu perlu berhenti sejenak.”

Suara itu kini terdengar lebih lembut, hampir seperti bisikan. Mungkin benar. Mungkin yang kubutuhkan bukanlah jawaban instan, melainkan waktu untuk berhenti dan benar-benar merasakan hidup. Selama ini, aku selalu terburu-buru, berlari mengejar sesuatu yang bahkan aku sendiri tak tahu apa.

Aku menghela napas panjang, membiarkan udara dingin memenuhi paru-paruku. Mungkin, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku harus belajar untuk duduk tenang dan mendengarkan diriku sendiri. Tidak dengan tergesa-gesa mencari jawaban, tetapi dengan menerima bahwa tidak apa-apa jika aku belum menemukannya. Pelantang suara dari surau seberang terus mengumandangkan puji-pujian dengan suara khas anak-anak. 

Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Air keran membasahi pergelangan tangan, wajah, lengan, kepala dan kedua kaki. Ada kesejukan menjalari sekujur tubuh. Ada semacam beban yang tiba-tiba terlepaskan, meluruh bersama air wudu. Sajadah merah darah yang sudah sekian lama tak kubentangkan, menjadi teman mencari jawab atas segala kehampaan,  atas segala kerontang jiwa. Lewat munajat panjang usai sembahyang, aku mencoba merayu Tuhanku agar berkenan memercikkan embun kesejukkan, menumbuhsuburkan kedamaian di segenap relung jiwa.

Kuikuti langkah kaki menuju meja di mana laptopku ada di sana. Kabel charger masih terhubung, tadi lupa mencabutnya. Kubuka dan kuhidupkan. Tangan ini lantas berselancar di penyimpanan media. Sejurus kemudian mengalunlah indah suara seorang qori’ internasional dalam alunan murottal. Lantunan surah Ar Rohman memenuhi ruangan. Berkali-kali lafaz Fabi ayyi ‘alaa robbikuma tuadzibaan serasa menampar-nampar dinding jiwa. Ada sesuatu yang berdenyut di dalam sana, mendesak-desak hingga tak terasa ada yang tumpah dan membasahi kudua pipiku. Sekian lama telingaku begitu abai pada suara-suara indah Kalam Suci Illahi. Sekian lama hati ini tertutup selaput yang begitu akut.

Setelahnya, aku kembali ke balkon, menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan di langit malam. Di balik keramaian kota dan suara bising kendaraan, ada keheningan yang kurasakan. Keheningan yang, untuk pertama kalinya, terasa begitu damai. Aku tahu, perjalanan ini masih panjang. Tetapi setidaknya, aku telah mengambil langkah pertama—mengakui perasaan-perasaan yang selama ini kusembunyikan dari diriku sendiri. Dan aku tahu, kepada siapa aku harus mengadu,  kepada siapa aku harus berbagi perasaan: Tuhan!


***

Cilacap, 2025



SEKILAS TENTANG PENULIS


Warsono Abi Azzam, nama pena dari Warsono, M.Pd, lahir dan besar di Banjarnegara, 6 Desember 1969. Bermukim di Cilacap, Jawa Tengah. Guru Matematika SMP yang menggemari dunia literasi membaca dan menulis. Bergiat di beberapa komunitas sastra berbasis dunia maya. Penulis bisa dihubungi melalui Telp/SMS/WA di 081542937101, Facebook: Warsono Abi Azzam, Instagram: @warsonoclp dan surel: warsono_clp@yahoo.co.id.

Tiada ulasan:

TITISAN SUNYI

Titisan Sunyi Karya: Bunga Melor Rintik-rintik hujan, iringi kamar hati sunyi tanpa teman bicara. Senyum kuukir kutatap hujan di jendela sep...

Carian popular