Rabu, 26 Mac 2025

SESALAN DI UJUNG MALAM

 Sesalan di Ujung Malam

M. Miftahul Khoiri. S



Malam itu, angin berembus lembut, membelai dedaunan di halaman rumah. Di dalam, Yulia duduk termenung, matanya menatap jendela yang terbuka. 

Suara malam, dengan gemerisik daun dan gelegar suara serangga, seakan menjadi latar untuk pikirannya yang melayang ke masa lalu. Kenangan akan keputusan yang diambilnya dua tahun lalu kembali menghantuinya, setiap detik seperti duri yang menusuk.

Yulia adalah seorang penulis muda yang penuh semangat. Ia memiliki impian besar untuk menjadi penulis terkenal, dengan harapan novel pertamanya akan menjadi karya yang menginspirasi banyak orang. Namun, rasa takut dan keraguan menggerogoti hatinya. 

Ketika tawaran untuk menerbitkan novel pertama datang, hatinya bergetar penuh harapan. Namun, saat itu juga, suara kecil dalam hatinya berbisik, "Kau tidak cukup baik. Apa yang kau tahu tentang dunia ini?" Dengan berat hati, Yulia menolak tawaran itu dan memilih kembali ke rutinitas lamanya sebagai guru bahasa Indonesia di sebuah sekolah menengah. Hari demi hari berlalu, dan rasa sesal mulai merayap ke dalam jiwa. 

Yulia melihat teman-temannya yang lain melangkah maju dalam karier mereka, menerbitkan buku, berpartisipasi dalam festival sastra, dan meraih penghargaan. Ketika mereka berkumpul, cerita sukses mereka mengisi ruangan, sementara Yulia hanya bisa tersenyum pahit.

Ia merasa terasing, terjebak dalam pilihan yang tidak pernah ia inginkan. Terkadang, ia bertanya pada diri sendiri, "Apa yang akan terjadi jika aku mengambil risiko itu?" Pertanyaan itu sering kali menghantuinya dalam kesunyian malam.

Suatu malam, saat ia sedang menyiapkan materi ajar, Yulia menerima pesan dari sahabatnya, Rina. “Yul, ada lomba menulis cerpen. Tema bulan ini adalah Sesalan dan Keinsafan. Kenapa kamu tidak ikut? Ini kesempatanmu untuk mengekspresikan apa yang kamu rasakan.” Pesan itu membuatnya terdiam. Kenapa ia tidak pernah berpikir untuk menulis tentang perasaannya sendiri? 

Dalam keraguan dan ketidakpastian, Yulia memutuskan untuk menulis. Ia menyalakan laptop dan mulai mengetik. Setiap kata yang ia tulis adalah pelampiasan dari kekecewaannya. Ia menulis tentang mimpinya yang hilang, tentang harapan yang sirna. Dalam tulisannya, ia mengeksplorasi rasa sesal yang mendalam, bagaimana ia membiarkan ketakutannya menguasai hidupnya. 

Ia menulis tentang bagaimana ia melihat bayangan diri di cermin, seorang wanita muda yang tampak letih, seakan-akan hidupnya terhenti. Dalam tulisan itu, ia menemukan kembali bagian dari dirinya yang hilang selama ini, bagian yang berani dan penuh semangat.

Saat ia mengetik, kenangan-kenangan itu kembali berputar dalam benaknya. Ia teringat saat pertama kali menulis cerpen di bangku SMA. Dengan semangat menggebu, ia mengirimkan karyanya ke majalah sekolah, dan cerpennya berhasil diterbitkan. 

Rasa bangga yang ia rasakan saat melihat namanya tercetak di halaman majalah adalah salah satu momen terbaik dalam hidupnya. Namun, seiring berjalannya waktu, impian itu mulai memudar, terbenam dalam rutinitas sehari-hari.

Setelah beberapa jam menulis, Yulia menyadari betapa lelahnya dirinya, namun juga betapa puasnya. Seiring malam berganti pagi, Yulia menyelesaikan cerpennya. Ia merasa kepuasan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. 

Mengirimkan cerpen itu adalah langkah pertamanya untuk kembali ke dunia penulisan. Dalam hati, ia berjanji untuk tidak membiarkan rasa takut menghambat langkahnya lagi. 

Setelah mengirimkan cerpen, ia menutup laptop dan merasakan ketenangan yang mengalir dalam dirinya. Ia merasa seolah beban yang selama ini mengikatnya mulai terlepas.

Beberapa minggu kemudian, Yulia menerima kabar bahwa cerpennya terpilih sebagai salah satu yang terbaik dalam lomba tersebut. Kegembiraannya tak terkira. Ia merasa seolah beban yang mengikatnya selama ini terangkat. 

Dalam acara pengumuman pemenang, Yulia berdiri di depan audiens, jantungnya berdegup kencang. Rasa takut yang dulu menghalanginya kini berubah menjadi semangat. 

Ia berbicara tentang perjalanan penulisannya, tentang sesalan yang mengajarinya untuk bangkit dan memperjuangkan mimpinya. Ia membagikan kisahnya, bagaimana ketakutan dan keinginan kadang-kadang saling bertabrakan, tetapi keinginan untuk berkarya selalu lebih kuat.

Setelah acara, Yulia dikerumuni oleh teman-teman dan pendukungnya. Mereka mengucapkan selamat dan berbagi cerita tentang bagaimana karya-karya mereka juga terinspirasi dari pengalaman hidup. 

Yulia merasa terhubung dengan mereka, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa diterima. Dalam keramaian itu, ia melihat Rina, sahabatnya, tersenyum bangga. Yulia tahu bahwa tanpa dorongannya, ia mungkin tidak akan berada di tempat ini.

Malam itu, Yulia tidak hanya merayakan kemenangan, tetapi juga merayakan keinsafan. Ia menyadari bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensi. Kadang-kadang, kita harus menghadapi ketakutan untuk menemukan kekuatan dalam diri kita. 

Dalam perjalanan pulang, Yulia merenungkan pengalamannya. Ia tahu bahwa penolakan masa lalu bukanlah akhir, tetapi awal dari perjalanan baru. Dengan semangat yang baru, Yulia mulai mengembangkan ide untuk novel keduanya. 

Ia menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, ditemani secangkir kopi dan buku catatan. Setiap ide yang muncul, ia tuliskan dengan penuh semangat. Ia ingin menciptakan karakter yang kuat, yang dapat menginspirasi orang lain. 

Ia juga mulai membayangkan alur cerita yang dalam dan bermakna, yang bisa menyentuh hati pembacanya. Dalam proses penulisan, Yulia menyadari bahwa keinsafan bukan hanya tentang menerima kesalahan, tetapi juga tentang belajar dari pengalaman. 

Ia mulai menulis tentang karakter yang mengalami perjalanan serupa dengan dirinya. Karakter ini menghadapi ketakutan, keraguan, dan akhirnya menemukan keberanian untuk mengejar impian. 

Melalui karakter ini, Yulia menemukan cara untuk mengekspresikan perasaannya, dan itu membuatnya merasa lebih hidup. Ketika novel keduanya semakin mendekati penyelesaian, Yulia mulai merasakan kekhawatiran yang sama menghinggapi dirinya. 

"Apakah aku cukup baik untuk menerbitkan buku ini? Bagaimana jika orang tidak menyukainya?" Namun, kali ini, ia berusaha untuk tidak membiarkan ketakutan itu menguasainya. 

Ia mengingat semua pelajaran yang ia ambil dari pengalaman sebelumnya. "Aku harus berani," pikirnya. Setelah menyelesaikan naskah, Yulia merasa bangga. Ia mengirimkan naskah tersebut kepada beberapa penerbit, berharap ada yang tertarik untuk menerbitkannya. 

Dalam waktu yang terasa lama, ia menunggu kabar dari penerbit. Setiap hari, ia membuka kotak masuk emailnya dengan penuh harapan, meskipun sering kali diiringi dengan rasa cemas. Akhirnya, kabar itu datang. 

Salah satu penerbit menyatakan minat untuk menerbitkan novelnya. Kegembiraan meluap di dalam hatinya. Ia merasa semua usaha dan kerja kerasnya terbayar. Dalam proses penerbitan, Yulia belajar banyak tentang dunia sastra. 

Ia menghadiri lokakarya, berdiskusi dengan penulis lain, dan bahkan berbagi cerita di media sosial. Semua pengalaman itu semakin memperkaya pengetahuannya dan membantunya tumbuh sebagai penulis.

Ketika novel itu akhirnya diterbitkan, Yulia merasakan kebanggaan yang luar biasa. Buku itu tidak hanya menjadi cerminan dari perjalanan hidupnya, tetapi juga menjadi jembatan untuk menghubungkan dirinya dengan pembaca. 

Banyak orang menghubunginya, mengungkapkan betapa kisahnya menginspirasi mereka untuk mengejar impian meski di tengah ketakutan. Ia menerima berbagai pesan dari pembaca yang berbagi pengalaman mereka, dan itu membuatnya merasa bahwa dia tidak sendirian.

Yulia menyadari bahwa sesalan adalah bagian dari hidup, tetapi keinsafan adalah langkah menuju kebangkitan. Ia belajar untuk menerima masa lalunya dan tidak membiarkan kesalahan itu mendefinisikan dirinya. 

Kini, ia berdiri dengan kepala tegak, siap untuk menghadapi tantangan baru. Dengan semangat baru, Yulia berjanji pada dirinya sendiri. Tidak akan ada lagi penyesalan di masa depan. Ia akan terus menulis, berbagi cerita, dan menjadi inspirasi bagi orang lain. 

Setiap kali ia menatap jendela di malam hari, ia tidak lagi merasa terjebak dalam kenangan kelam. Sebaliknya, ia melihat harapan baru yang bersinar di ujung kegelapan. Dalam perjalanan kariernya yang baru, Yulia juga mulai terlibat dalam komunitas penulis. 

Ia menghadiri berbagai acara sastra dan berbagi tips dengan penulis pemula. Ia ingin membantu orang lain menemukan keberanian untuk menulis dan mengekspresikan perasaan mereka. 

Setiap kali ia melihat seseorang menceritakan kisahnya, ia merasa seolah-olah mengingatkan dirinya sendiri tentang perjalanan yang telah dilaluinya. Yulia juga mulai menerima undangan untuk berbicara di seminar-seminar dan acara literasi di sekolah-sekolah. Ia berbagi pengalamannya tentang perjuangan dan keberanian, dan bagaimana menulis bisa menjadi alat untuk menemukan jati diri. 

Ia ingin menginspirasi generasi muda untuk tidak takut bermimpi dan mengejar impian mereka, tidak peduli seberapa sulitnya perjalanan tersebut. Dengan setiap cerita yang ia bagi, Yulia merasa semakin kuat. Ia menyadari bahwa hidupnya kini penuh dengan makna baru. 

Ia tidak hanya menulis untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Ia bertekad untuk terus berkarya, menggali lebih dalam ke dalam hatinya dan menciptakan kisah-kisah yang bisa mengubah hidup orang lain.

Akhirnya, Yulia menyadari bahwa setiap sesalan yang pernah ia rasakan telah membentuknya menjadi orang yang lebih baik. Ia belajar untuk memanfaatkan setiap pengalaman, baik yang buruk maupun yang baik, sebagai pelajaran hidup. 

Dalam setiap detiknya, ia berusaha untuk hidup dengan penuh kesadaran, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya.

Dengan semangat yang membara, Yulia melangkah maju, siap menghadapi segala tantangan yang akan datang. Ia tahu bahwa dunia ini penuh dengan kemungkinan, dan ia ingin menjelajahinya, satu kata demi satu kata.

*****

Tiada ulasan:

TITISAN SUNYI

Titisan Sunyi Karya: Bunga Melor Rintik-rintik hujan, iringi kamar hati sunyi tanpa teman bicara. Senyum kuukir kutatap hujan di jendela sep...

Carian popular