Isnin, 3 Februari 2025

Awan Kelabu di Langit Wates

 AWAN KELABU DI LANGIT WATES

Abby Vancel



Sudah tiga bulan ini aku hanya terbaring di atas tempat tidur menyaksikan bayangan waktu yang berjalan perlahan di dinding kamar. Seperti awan kelabu yang menggantung di langit Wates, harapan dan kesedihanku bercampur menjadi satu.

Akhir-akhir ini, kurasakan tubuhku semakin hari semakin lemas, tak bertenaga karena efek dari kadar gula darah yang tinggi. Kadar gula di dalam darahku bahkan pernah mencapai di atas angka 500. Gula darah terus menggerogoti tenaga yang tersisa, membuat setiap helaan napasku terasa seperti perjuangan panjang.

Pernah aku mencoba bangkit, melawan kelemahan yang membelenggu. Tetapi, beberapa kali juga aku terjatuh. Itu membuat badanku semakin sakit dan memengaruhi syaraf-syaraf di kepalaku akibat benturan keras. Jatuh yang berulang kali mengingatkanku bahwa tubuh ini bukan lagi milikku.

Kini aku tidak dapat lagi beranjak dari tempat tidur. Makan dan buang air semua kulakukan di atasnya. Ipar perempuanku - Surni - yang menolongku, melakukan semuanya.

Setiap pagi, Surni akan datang dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Ia menyuapiku dengan tangan lembutnya, menggantikan popok dewasa yang membatasi sisa harga diriku, membersihkan kotoranku, mengusap tubuhku menggunakan tisu basah lalu memakaikanku baju daster.

"Mbak, mangan dhisik yo1," ujar Surni pelan sambil menyuapkan sesendok bubur.

Aku hanya tersenyum lemah. "Surni, kowe mesti kesel ngrawat aku saben dinane2.2]"

"Ojo ngomong ngono3, Mbak. Aku ikhlas," katanya, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh.

Surni seperti rembulan yang tak bosan menerangi malamku, menjaga dalam diam, merawat tanpa keluh. Aku berhutang banyak kepadanya, namun tak tahu bagaimana membalas budinya, selain dengan tatapan penuh terima kasih. Dapat kukatakan bahwa tidak ada yang bisa kulakukan tanpa bantuannya. Ragaku tidak dapat lagi menopang hidupku, meskipun jiwaku masih memiliki keinginan yang besar untuk tetap hidup.

 ayo makan dulu ya1

 kau pasti lelah merawatku setiap hari2

 jangan berkata begitu3


Sudah dua kali aku menjalani rawat inap di rumah sakit karena penyakitku ini. Terakhir, dua bulan lalu karena luka pada bagian tangan. Selama proses operasi hingga lukaku berangsur sembuh, Mas Ahmad datang menemaniku. Ia mengambil cuti kerja agar dapat menungguiku di rumah sakit. Bagiku, pengorbanan dan kesetiaannya itu sudah cukup menunjukkan bahwa ia memang mencintaiku, meskipun banyak perbedaan di antara kami berdua.

Usiaku dan Mas Ahmad terpaut cukup jauh. Mas Ahmad sepuluh tahun lebih muda dariku. Tetapi itu tidak membuatnya mundur memilihku sebagai istrinya, tujuh tahun lalu. Padahal statusku kala itu adalah seorang janda beranak tiga, yang usia mereka semuanya sudah beranjak dewasa.

Belakangan ini kurasakan Mas Ahmad mulai berubah. Ia mulai jarang pulang ke Wates. Selama ini kami memang menjalani hubungan jarak jauh. Mas Ahmad bekerja di Tangerang. Ia biasanya pulang ke Wates setiap satu atau dua minggu sekali. Namun, akhir-akhir ini kepulangannya tidak menentu, bahkan hanya sekali dalam sebulan, dan itu pun tanpa kehangatan yang dulu melekat dalam tatapannya.

Hari-hariku semakin sepi. Di malam-malam aku merasakan sakit yang menderaku, terasa lebih perih tanpa kehadiran Mas Ahmad. Kedua anakku juga sudah berkeluarga dan tinggal di ibu kota, sehingga hanya Surni yang selalu menemani kesendirianku.

"Mbak, opo pernikahan jarak jauh pancen kudu koyok ngene4?" tanya Surni suatu malam.

Aku menghela napas. "Ora kabeh.5 Tapi, banyak cerita pernikahan jarak jauh membuat kerenggangan dalam rumah tangga."

Aku tak tahu apa yang menyebabkan perubahan sikap suamiku itu. Aku juga tak pernah bertanya, hanya menunggu dalam diam. Selalu kuyakinkan diriku bahwa ia sibuk bekerja. Aku berusaha mengusir jauh-jauh pikiran negatif yang terkadang muncul di benakku. Meskipun, jika apa yang kutakutkan itu benar-benar terjadi maka aku pun sudah menyiapkan mental dan hatiku, bahkan yang paling menyakitkan sekalipun.

Sebagai seorang perempuan sekaligus istri, aku tidak bisa egois menahan keinginan suamiku yang usianya lebih muda dariku itu, yang tentu saja menginginkan pelayanan paripurna. Dengan kondisiku saat ini, sepertinya aku tidak dapat lagi memenuhi kewajibanku sebagaimana seharusnya dilakukan oleh seorang istri.

 Apa pernikahan jarak jauh harus seperti ini?4

 Tidak semuanya5

***

Ponselku berdering pertanda ada whatsapp masuk. Kondisi tubuhku masih lemas, tetapi aku berusaha membukanya. Biasanya di siang hari seperti ini, Mas Ahmad mengirimkan pesan kepadaku. Ia selalu bertanya bagaimana kondisiku, siapa yang menemani di rumah, apakah sudah makan atau belum, sudah minum obat atau belum.

Kuakui bahwa aku selalu rindu dengan sapaannya walaupun hanya lewat telepon. Aku pun masih berharap, di akhir pekan sosoknya muncul di pintu kamarku dengan senyuman khasnya. Paling tidak dengan kehadirannya, dapat menambah semangat hidupku.

Benar adanya, ada sebuah pesan dari Mas Ahmad. Kali ini pesannya lebih panjang dari biasanya. Dengan penglihatanku yang mulai kabur, aku membaca pesan itu perlahan-lahan. Kata demi kata kuselami. Untaian kalimat demi kalimat kucerna baik-baik.

Setelah selesai membaca pesan itu, kurasakan hatiku remuk. Aku berusaha menahan emosi dan sedih yang tiba-tiba membuncah di dada. Mataku menelusuri kata-kata itu berulang kali, mencari celah untuk menyangkal kenyataan. Tetapi, tak ada yang bisa diubah. Aku menggenggam ponselku erat-erat, seolah ingin menghancurkan kepedihan yang mengalir deras dari layar gawaiku itu.

Karena tak kuat menahan perasaanku yang campur aduk di tengah kondisi fisikku yang juga sedang tidak prima, tak terasa air mataku mengalir deras. Namun, tak ada isak tangis yang terdengar dari mulutku. Hanya sepi yang menggema dalam hatiku. Aku menangis dalam diam, memendam semuanya dalam batinku.

Pesan dari Mas Ahmad itu tidak langsung kujawab. Batinku yang terluka, pikiranku yang kalut, ditambah tubuhku yang lesu, membuatku kembali terlelap. Aku baru bangun ketika hari sudah menjelang malam. Surni yang membangunkanku. Rupanya, ia sudah kembali dari berjualan soto lalu bersiap hendak menyuapiku makan malam, kemudian dilanjutkan dengan minum obat-obatan.

Surni kaget melihat mataku sembab, “Kenapa Mbak?”

Aku hanya diam. Bibirku kelu. Kutunjukkan whatsapp dari Mas Ahmad.

Duuh Gusti!” Surni kaget, seolah tak percaya. Ia lalu memelukku erat. Kami berdua menangis tak kuasa menahan haru.

Malam itu aku terjaga hingga pukul tiga dini hari. Mataku susah terpejam. Berbagai hal menari-nari di pikiranku. Segala kenangan, segala rasa, hadir silih berganti. Suara hujan di luar seperti nyanyian duka yang menggema dalam ruang kosong di dadaku. Aku mencoba memahami, mencoba menerima. Cinta ini bukan paksaan, dan aku tak bisa memenjarakan seseorang dalam ikatan yang tak lagi membuatnya bahagia.

“Mas Ahmad wong apik, ning isih enom6,” gumamku. “Mungkin aku yang salah sejak awal, mengharapkan kesetiaan abadi dari laki-laki yang sebenarnya masih bisa menemukan jalan kebahagiaannya.”

***

Keesokan harinya, kukuatkan diriku untuk membalas pesan Mas Ahmad. Aku yakin ia sudah tidak sabar menunggu jawabanku.

Dengan jemari yang gemetar, aku membalas pesannya, [Aku mengerti. Jika itu membuat Mas bahagia, aku bersedia.]

Kukatakan juga bahwa aku telah membaca semu isi pesannya dan aku sungguh memakluminya. Meskipun hatiku hancur dan sedih, aku merelakannya menikah lagi dengan perempuan lain yang lebih muda. Aku juga tidak ingin menahan keinginannya itu karena kondisiku sudah tidak seperti dulu lagi. Aku bahkan tidak tahu sampai kapan aku masih bisa bertahan hidup.

Surni menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Mbak, sampeyan tenan-tenan rela7?"

Aku menarik napas panjang. "Mau gimana lagi, Surni? Aku hanya ingin Mas Ahmad bahagia, meskipun tidak lagi bersama."

***

Tubuhku terbaring lemah di atas ranjang ruang ICU RSUD Wates. Aku sudah tidak dapat membuka mataku lagi. Tetapi telingaku masih bisa mendengarkan suara-suara di sekitarku. Terdengar bunyi bip… bip… dari peralatan monitor pendeteksi jantung di samping ranjangku. Tak lama kemudian, sayup-sayup kudengar suara langkah kaki mendekat.

“Saya sudah menghubungi Mas Ahmad, dia sedang perjalanan ke sini Mbak,” bisik Surni di telingaku.

Aku diam tak memberi isyarat apapun. Ah, untuk apa lagi ia datang? Hatiku berkata bahwa aku tidak ingin menunggu lelaki itu lagi. Biarlah ia hanya akan menemui jasadku. Bulir-bulir air bening menetes dari sudut mataku. Lamat-lamat kudengar suara Surni membacakan ayat suci Al-Quran. Ada tangis yang tertahan di sela-sela bacaannya.

Sejurus kemudian, kurasakan napasku mulai tersengal. Perlahan, sesuatu menarikku. Seperti kabut yang berbisik, membelai lembut luka-lukaku. Aku melihat mereka, sosok-sosok berpakaian serba putih berdiri di hadapanku. Salah satu dari mereka tersenyum, mengangguk ramah dan mengulurkan tangan.

“Hermina, sudah tiba saatnya kami menjemputmu,” ucapnya.

Aku mengangguk meraih uluran tangan itu. Saat tubuhku bangkit, aku menoleh ke belakang, ke tempat tidur di mana tubuhku terbaring. Surni menangis sambil memegang tanganku. Mas Ahmad datang dengan wajah penuh penyesalan. Sudah terlambat untuk semua yang ingin ia sampaikan. Ia meraung-raung menangisi jasadku yang sudah tidak dapat lagi tersenyum manis kepadanya. Aku hanya melihatnya sekilas sebelum pergi.

Barisan sosok-sosok berpakaian putih itu bergeser, membukakan jalan untukku. Tak kuduga, di belakang barisan itu, berdiri dua sosok laki-laki yang sudah lama kurindukan - almarhum suami dan anak sulungku - yang telah lama berpulang. Mereka menungguku dengan senyum penuh cinta. Aku tahu, kini aku juga telah pulang.

Derai air hujan mengiringi keberangkatanku malam itu, menghadap Sang Khalik. Di langit Wates, awan kelabu perlahan bergerak, membawa semua cerita yang kutinggalkan.

 Orang baik, tapi masih muda6

 Kau betul-betul rela?7

*** SELESAI ***

 

BIONARASI

Abby Vancel adalah seorang penulis yang karya-karyanya sering kali mengangkat beragam tema. Sejak kecil, Abby telah terpesona oleh dunia sastra, dan mulai menulis cerita pendek dan puisi di masa remaja. Ia ingin menyampaikan kisah-kisah yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menggugah pemikiran pembacanya tentang kehidupan sehari-hari yang penuh dengan teka-teki dan makna tersembunyi.

Tiada ulasan:

TITISAN SUNYI

Titisan Sunyi Karya: Bunga Melor Rintik-rintik hujan, iringi kamar hati sunyi tanpa teman bicara. Senyum kuukir kutatap hujan di jendela sep...

Carian popular