Sabtu, 17 Mei 2025

HENING DI KEPALA ALYA

 Hening di Kepala Alya

Nelly Amalia


Aku lupa bagaimana rasanya tenang.

Bukan karena hidupku terlalu keras. Justru karena dari luar, segalanya tampak baik-baik saja. Aku punya keluarga, pekerjaan tetap, teman-teman yang kadang datang membawa tawa, dan rumah kecil yang kerap aku isi dengan lagu-lagu Nina Simone saat malam menjelma sepi. Tetapi di dalam kepalaku, seolah ada gema yang tak kunjung henti: sebuah ruang kosong yang dipenuhi suara-suara yang bukan milikku.

Namaku Alya. Umurku tiga puluh dua. Sejak usia dua puluh lima, aku hidup dengan gangguan kecemasan dan depresi yang datang silih berganti seperti musim yang tak pernah pasti.

Aku tidak tahu kapan semuanya mulai berubah. Tetapi aku ingat jelas satu sore di bulan September—saat aku duduk di pojok kamar, tangan gemetar, dada sesak seperti dicekik udara, dan air mata jatuh tanpa aba-aba. Tidak ada alasan yang bisa kupahami. Tidak ada kejadian tragis sebelumnya. Hanya saja dunia, tiba-tiba, jadi terlalu berat untuk kutanggung.

“Alya, kamu kenapa?” tanya Ibu dari luar kamar.

Aku tak bisa menjawab. Karena bahkan aku sendiri tak tahu kenapa. Satu-satunya kalimat yang bisa kususun waktu itu adalah: “Aku lelah.”

Dari situlah segalanya berubah.

Terapi pertama kujalani dengan tubuh yang kaku dan suara serak. Psikologku, Ibu Dian, perempuan paruh baya dengan mata lembut dan suara tenang, tak banyak bertanya hari itu. Ia hanya menatapku seperti aku bukan masalah yang harus dipecahkan, tetapi manusia yang perlu didengar.

“Apa yang paling sering kamu rasakan, Alya?” tanyanya pelan.

“Hening,” jawabku. “Tapi bukan hening yang menenangkan. Ini hening yang... menakutkan.”

Ia mengangguk, seperti memahami sesuatu yang bahkan aku tak bisa jelaskan.

Hari-hari setelah itu kuisi dengan membaca buku tentang otak, emosi, dan bagaimana tubuh manusia bereaksi terhadap luka yang tak terlihat. Aku pelajari bahwa trauma bukan selalu benturan besar. Kadang, ia hanyalah kesedihan kecil yang dipendam bertahun-tahun. Ketika tak diberi ruang untuk keluar, ia menumpuk—menjadi bom waktu yang meledak dalam bentuk tangis tiba-tiba, napas sesak, atau keinginan untuk menghilang.

Aku pernah ingin menghilang.

Bukan karena aku ingin mati. Tetapi karena aku lelah harus terus menjelaskan bahwa aku baik-baik saja, padahal tidak. Bahwa aku kuat, padahal aku rapuh. Bahwa aku bisa, padahal aku nyaris menyerah.

Satu-satunya yang membuatku bertahan waktu itu adalah keberadaan satu orang: Reza.

Reza bukan kekasih. Bukan juga sahabat yang sudah lama kukenal. Kami bertemu di ruang tunggu klinik psikiatri—dua orang asing yang sama-sama membawa luka, duduk berdampingan, tak berkata-kata.

Waktu itu aku menangis diam-diam, dan dia hanya mengulurkan tisu tanpa menoleh.

“Terima kasih,” kataku, hampir tak terdengar.

Ia hanya mengangguk.

Sejak itu, kami sering saling menyapa jika bertemu. Kadang hanya dengan senyuman tipis. Kadang dengan obrolan singkat tentang cuaca atau buku yang dibaca. Hingga suatu hari, ia berkata, “Aku kira aku satu-satunya orang yang merasa seperti berjalan dengan batu di dada. Tapi setelah lihat kamu... rasanya, aku nggak sendirian.”

Kalimat itu membekas di benakku. Karena selama ini, aku mengira hanya aku yang hancur dalam diam.

Kami mulai saling bertukar cerita. Tentang hari-hari di mana bangun dari tempat tidur adalah prestasi. Tentang pikiran-pikiran yang menakutkan, yang kadang datang seperti tamu tak diundang. Tentang keinginan untuk menjadi ‘normal’, meski tak tahu apa itu artinya.

“Aku capek harus selalu terlihat baik,” kata Reza suatu malam lewat pesan singkat.

“Jadi jangan,” jawabku.

“Tapi orang akan bertanya.”

“Biarkan saja. Kita hidup untuk sembuh, bukan untuk menjelaskan semuanya.”

Dan sejak saat itu, kami tak lagi berpura-pura kuat jika sedang rapuh. Kami saling jadi sandaran. Bukan untuk mengangkat beban satu sama lain, tetapi sekadar untuk menemani. Karena kadang, rasa sakit tak butuh nasihat—ia hanya butuh ruang untuk bernapas.

Aku mulai rutin menulis jurnal. Di sana, aku jujur pada diri sendiri. Bahwa kadang aku membenci pagi. Bahwa kadang aku iri pada orang-orang yang bisa tertawa tanpa beban. Bahwa aku lelah menjalani terapi, minum obat, dan mengulang cerita yang sama. Tetapi di sela-sela kejujuran itu, aku juga menulis tentang keberanian: bahwa meski lambat, aku tetap melangkah.

Ibu mulai belajar memahami. Ia tak lagi bertanya kenapa aku menangis. Ia hanya duduk di sampingku, menggenggam tanganku, dan berkata, “Kita di sini sama-sama, ya.”

Kata-kata itu, sederhana tetapi menyembuhkan.

Hari ini, setelah bertahun-tahun berjuang, aku belum sepenuhnya pulih. Tetapi aku juga bukan Alya yang dulu.

Aku sudah bisa tertawa lagi, meski kadang masih menangis tanpa sebab. Aku masih punya malam-malam yang gelap, tetapi kini kutahu, fajar akan datang. Aku masih minum obat dan rutin terapi. Tetapi aku juga belajar mencintai diriku yang ringkih.

Mental illness bukan sesuatu yang bisa dihapus. Tetapi ia bisa dirawat. Ia bisa dijinakkan. Ia bisa menjadi bagian dari cerita, bukan akhir dari segalanya.

Dan yang paling penting: aku tahu aku tidak sendirian.

Reza pindah ke luar kota setahun lalu. Tetapi kami masih bertukar kabar.

Terakhir ia menulis, “Alya, kamu tahu? Di tempat baru ini, aku menanam bunga matahari. Katanya, bunga itu selalu menghadap ke arah cahaya. Mungkin kita juga begitu, ya. Meski lambat, kita tetap mencari terang.”

Aku membaca pesannya berkali-kali.

Lalu menulis di jurnal: Aku belum sembuh sepenuhnya. Tetapi aku sedang tumbuh. Dan itu cukup.

Namun malam itu, setelah menutup jurnal, aku menatap langit-langit kamar lebih lama dari biasanya. Ada suara yang pelan-pelan bergema, bukan lagi seperti hening yang menakutkan. Melainkan seperti bisikan lembut dari diri sendiri: “Terima kasih sudah bertahan.”

Aku memejamkan mata, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku tidak takut pada keheningan. Aku tidak lagi berusaha mengisinya dengan lagu, tawa palsu, atau kesibukan yang melelahkan. Aku membiarkannya hadir, duduk bersamaku, menjadi bagian dari diriku.

Beberapa minggu kemudian, aku memutuskan kembali ke rumah masa kecilku di desa. Di sana, pepohonan masih setia tumbuh, dan angin membawa aroma tanah yang basah seperti pelukan ibu.

Di beranda rumah, aku duduk bersama Ayah. Kami tak banyak bicara. Ayah memang bukan orang yang pandai mengekspresikan perasaan. Tetapi hari itu, ia menatapku cukup lama sebelum berkata, “Dulu Ayah juga pernah merasa gagal jadi manusia. Tapi Ayah hidup terus, karena berharap suatu hari, kamu akan tumbuh jadi kuat. Sekarang Ayah tahu, kamu sudah jauh lebih kuat dari yang Ayah bayangkan.”

Aku tersenyum, menahan air mata. Karena ternyata, pelukan bisa hadir lewat kata-kata.

Sore itu, aku berjalan ke sawah belakang rumah. Langkahku lambat, menyentuh rumput liar dan menghirup bau petang. Ada keheningan yang indah di sana—hening yang menyembuhkan. Bukan karena tak ada suara, tetapi karena aku tak lagi mencari suara untuk melarikan diri.

Di tepi pematang, aku duduk. Memandang langit kemerahan dan satu-satunya burung yang terbang sendiri, bebas.

Ponselku bergetar. Pesan dari Reza.

"Alya, bunga matahariku tumbuh tinggi. Tapi satu batangnya bengkok, seperti tak kuat menanggung cahaya. Kupindah ke tempat yang lebih teduh. Tahu tidak? Sekarang dia mekar."

Aku tertawa kecil.

Lalu kujawab:

"Mungkin kita bukan harus selalu mengejar terang. Kadang, kita hanya perlu tempat yang cukup nyaman untuk tumbuh. Bahkan jika itu bukan tempat yang diharapkan orang lain."

Beberapa bulan berlalu.

Aku memutuskan berhenti dari pekerjaanku di kota. Bukan karena kalah, tetapi karena aku ingin memberi ruang baru untuk diriku. Aku mulai menulis secara rutin—tidak hanya di jurnal, tetapi juga di blog. Menulis tentang luka, penyembuhan, dan perjalanan yang tak pernah sempurna. Awalnya hanya dibaca sedikit orang. Tetapi perlahan, pesan-pesan mulai datang dari orang-orang asing:

“Aku merasa kamu menulis tentang hidupku...”

“Terima kasih sudah berani jujur. Kini aku juga mulai berani bicara...”

Satu malam, aku menangis—bukan karena sedih, tetapi karena merasa terhubung. Karena rasa sakitku tidak sia-sia. Karena ternyata, kejujuran bisa menyelamatkan bukan hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain.

Suatu pagi, aku diundang untuk berbagi cerita di sebuah komunitas penyintas kesehatan mental. Di sana, duduk belasan orang dengan mata yang lelah tetapi hangat. Aku berdiri di depan mereka, gemetar, tetapi juga penuh harap.

“Namaku Alya,” kataku pelan. “Dan aku tidak akan bilang semuanya akan mudah. Tapi aku bisa janjikan satu hal: kamu tidak sendiri. Dan kamu tidak rusak. Kamu hanya sedang berproses.”

Ruangan hening. Tetapi kali ini, hening yang menguatkan.

Setelah acara, seorang gadis remaja menghampiriku. Ia tak berkata apa-apa, hanya memelukku lama sekali. Dalam pelukan itu, aku tahu: ini bukan tentang penyembuhan yang tuntas. Ini tentang keberanian untuk terus hidup, meski hari-hari tidak selalu baik.

***

Tiga tahun setelah hari pertama aku duduk di ruang terapi, aku menulis surat untuk diriku sendiri yang dulu:

"Alya sayang,

Maaf karena dulu aku memaksamu untuk selalu tersenyum.

Maaf karena menganggap tangismu sebagai kelemahan.

Terima kasih karena kamu bertahan, walau dunia terasa gelap.

Terima kasih karena kamu tetap percaya, bahkan saat rasanya semua hancur.

Sekarang, aku tidak ingin jadi 'normal'. Aku hanya ingin jadi manusia—yang merasa, yang belajar, yang kadang salah, tapi tetap memilih mencinta.

Aku bangga padamu."

Kini, aku tinggal di rumah kecil di desa. Halaman belakang penuh tanaman yang aku rawat sendiri. Setiap pagi, aku menyiram bunga sambil menyapa matahari. Kadang aku masih menangis tanpa sebab, masih ada hari-hari gelap. Tetapi aku tahu, itu bukan akhir. Itu hanya bagian dari menjadi manusia.

Mental illness tak pernah benar-benar pergi. Tetapi kini, ia tak lagi menakutkan. Ia seperti musim dingin yang datang dan pergi—dingin, tetapi tak membekukan hati.

Aku masih berjuang. Tetapi kini, aku tidak sendirian. Karena aku sudah berdamai dengan hening di kepalaku. Karena aku tahu, di tengah sepi, aku tetap hidup. Dan tumbuh.

Dan itu, lebih dari cukup.

SELESAI

Tiada ulasan:

TITISAN SUNYI

Titisan Sunyi Karya: Bunga Melor Rintik-rintik hujan, iringi kamar hati sunyi tanpa teman bicara. Senyum kuukir kutatap hujan di jendela sep...

Carian popular