Jumaat, 27 Jun 2025

RINTIK-RINTIK YANG MEMBISIKKAN NAMAMU

 Rintik-Rintik yang Membisikkan Namamu

Agustina Rahman

u.

Hujan turun perlahan, seolah langit sedang ragu untuk menangis. Dari balik jendela rumah tua peninggalan nenek, aku duduk membisu. Cangkir teh melati mengepul di genggamanku, menghangatkan telapak tangan tetapi tak juga menjangkau dingin yang bersarang di dada.

Namanya masih tinggal di sana, nama yang sudah terpahat dengan rapat di antara rintik-rintik yang jatuh tanpa suara. Adit. Dua tahun sudah aku mencoba melupakannya. Tetapi setiap kali langit menangis, memori itu kembali, menelusup lewat bau tanah basah dan bayangan payung biru yang dulu sering kami bagi berdua.

Kami berpisah di bawah hujan, di sebuah halte kecil dekat taman kota yang sering menjadi saksi bisu pertemuan kami. Hujan turun deras saat itu, membungkus tubuh kami dalam udara yang dingin, tetapi pelukannya tetap hangat seperti biasa. 

Matanya menatapku begitu dalam, seolah ingin menyampaikan lebih banyak daripada yang bisa diucapkan lewat kata. Lalu, dengan suara pelan yang hampir kalah oleh gemuruh hujan, ia berkata, “Tunggu aku, ya.” Aku mengangguk. Tidak bertanya kapan, tidak menuntut penjelasan. Seolah menunggu adalah hal paling mudah di dunia, padahal hatiku sudah mulai merasa kehilangan bahkan sebelum ia benar-benar pergi.

Namun, yang datang setelahnya bukan kabar, bukan kepastian, bukan tanda bahwa ia masih memikirkan janji yang sempat diucapkan. Yang datang hanyalah diam yang pekat, menyelinap ke dalam hari-hariku. Tak ada pesan, tak ada alasan, hanya kekosongan yang lambat laun berubah menjadi sepi abadi. Setiap malam, kesunyian itu mengetuk dengan halus, menyusup ke dalam mimpi, dan mengendap menjadi kristal yang tak sempat disuarakan. Hari demi hari, tanpa tahu kapan penantian ini berakhir, atau bahkan, untuk siapa sebenarnya aku masih menunggu.

Aku belajar berjalan sendiri. Menyibukkan diri dengan pekerjaan, membaca buku, dan merawat kebun kecil di belakang rumah. Orang-orang bilang aku kuat. Tetapi mereka tak tahu, kekuatan yang mereka lihat dibangun dari reruntuhan harapan yang kupendam sendiri.

Suatu sore yang mendung, ketika langit mulai berwarna kelabu dan angin mengusik dedaunan di halaman belakang, aku sibuk memindahkan pot mawar yang mulai meranggas. Tanahnya terlalu basah karena hujan semalam, dan batangnya mulai menghitam di bagian bawah. Aku menyentuh kelopaknya yang layu—lembut tetapi rapuh, seperti sesuatu yang dulu indah namun perlahan kehilangan daya hidup. Tiba-tiba, dari arah teras, suara ibu memecah kesunyian.

Ia berjalan pelan menghampiri, mengenakan sweater rajut yang sudah mulai melar di bagian lengan. Ia berhenti di sisi kiri, menatap bunga itu sejenak, lalu memandangku dengan sorot mata yang lembut tetapi tajam, seperti hendak menyibak sesuatu yang kusimpan rapat-rapat. Dengan suara setenang desir angin, ia bertanya, “Kamu masih menyimpan namanya, ya?”

Aku tak langsung menjawab. Hanya diam, membiarkan pertanyaannya menggantung di antara kami. Tanganku sibuk membersihkan sisa tanah dari pot, tetapi pikiranku berputar, mencari cara untuk merangkai kalimat yang tak bermakna pengingkaran, tetapi juga bukan pengakuan penuh. Aku menunduk pelan, menatap tanah yang lembab di bawah kakiku—tanah yang menyimpan air hujan semalam, seperti hatiku yang menyimpan sisa-sisa kenangan yang tak kunjung kering.

Dalam sunyi  aku berbicara, suara lirihku hampir tenggelam oleh desir angin dan gemericik air di selokan belakang. “Aku tidak menyimpannya, Bu,” kataku perlahan, tanpa menatap wajahnya. “Namanya tinggal di hujan.” Kalimat itu keluar lebih sebagai desahan daripada jawaban. Bukan karena aku ingin terdengar puitis, tetapi  kenyataannya memang demikian. Setiap kali langit mendung dan rintik mulai turun, namanya hadir tanpa diundang, mengetuk perlahan ingatan yang telah lama kutahan.

Ibu tersenyum, “Kalau begitu, mungkin kamu perlu menemuinya.” Ia berhenti sebentar, membiarkan kata-katanya meresap. “Bukan untuk kembali, bukan untuk membuka luka lama... tapi untuk membebaskan dirimu sendiri.” Tangannya menyentuh lenganku. Sebuah isyarat bahwa ia tahu: terkadang yang paling menyakitkan bukan kepergian, melainkan perasaan yang dibiarkan menggantung terlalu lama.

Kata-kata itu menancap begitu dalam. Esoknya, saat gerimis mengguyur kota, aku mengambil payung biru dari lemari tua dan melangkah menuju halte itu—tempat kenangan terakhir kami berlabuh, berharap dia hadir di tempat itu.

Tempat itu masih sama. Bangkunya dingin dan berkarat, dindingnya penuh coretan lama. Suara hujan di atap seng menciptakan irama yang  menenangkan. Aku duduk di sana, membiarkan waktu berjalan lambat. Tak menunggu siapa pun. Hanya ingin memastikan bahwa kenangan itu nyata.

Lalu, ada langkah terdengar. Pelan, nyaris tenggelam oleh suara hujan yang menimpa atap seng halte. Tetapi entah mengapa, langkah itu terasa berbeda—seolah dunia berhenti sejenak untuk memberi ruang pada sesuatu yang lama tertunda. Aku menoleh, perlahan, nyaris ragu, seolah takut harapan yang samar itu hanya permainan pikiranku sendiri.

Di ujung jalan, berdiri seorang pria. Jaket abu-abu yang membungkus tubuhnya tampak familiar. Tak salah lagi, itu jaket yang sama yang ia kenakan dua tahun lalu. Rambutnya kini sedikit lebih panjang, tergerai acak oleh angin dan hujan. Wajahnya juga berubah—ada garis lelah di bawah matanya, sedikit kerutan di dahi. Tetapi matanya... matanya masih sama. Mata yang dulu pernah kutatap begitu lama, begitu dalam. Mata yang kini kembali menatapku, membawa gelombang ingatan yang selama ini kusimpan rapat-rapat.

“Adit?” bisikku, nyaris tak terdengar di antara rintik hujan.

Namanya seketika bergaung dalam pikiranku, seperti gema yang membentur dinding hati yang belum sepenuhnya sembuh. Untuk beberapa detik, tubuhku terasa kaku, antara ingin berdiri atau tetap duduk, antara ingin lari atau menunggu. Hujan masih turun, gerimis halus membasahi ujung sepatu dan ujung jemari yang menggenggam pegangan bangku halte. Aku menahan napas, mencoba memastikan bahwa yang kulihat memang dia—bukan bayangan dari rasa rindu yang terlalu lama kupendam.

Ia melangkah perlahan, mendekat tanpa kata. Langkahnya berat, seolah keraguan juga membebani setiap gerakan. Aku hanya bisa menatapnya, mencoba membaca ulang wajah yang dulu begitu akrab. Ada sesuatu yang baru di sana—bukan hanya pada rambut yang lebih panjang atau guratan lelah di wajahnya, tetapi pada tatapan matanya. Tatapan yang tak lagi muda, tak lagi terburu-buru. Tatapan yang membawa penyesalan.

Adit berhenti beberapa langkah dariku. Ia tidak langsung duduk. Hanya berdiri di sana, diam, membiarkan hujan menyamarkan detik-detik canggung di antara kami. Lalu akhirnya ia duduk di sampingku, menjaga jarak, tidak menyentuh, tidak memaksa. Hanya duduk seperti seseorang yang tahu bahwa kedatangannya bisa saja terlalu awal, atau justru terlalu lambat.

Aku ingin berkata sesuatu, tetapi lidahku kelu. Semua pertanyaan yang selama ini bersarang di kepalaku mendadak kehilangan urutan. Aku hanya bisa menatap ke depan, ke jalanan yang basah dan lengang, sambil mencoba menenangkan degup jantungku yang tak biasa.

Dan di antara hening yang panjang itu, satu pertanyaan akhirnya keluar, nyaris hanya berupa bisikan.

“Kenapa kamu di sini?”

Suara itu keluar lebih lirih dari yang kukira. Mungkin karena aku takut mendengar jawabannya. Atau mungkin, karena bagian dari diriku masih belum siap mendengar alasan apa pun yang mungkin ia bawa setelah dua tahun diam.

Adit menunduk. “Aku... nggak tahu harus mulai dari mana,” katanya pelan, nyaris tak terdengar. “Aku juga nggak yakin kamu mau mendengarnya.”

Aku tetap menatap ke depan, membiarkannya bicara. Di dalam dada, ada benturan antara ingin tahu dan ingin selesai. Antara rindu dan luka.

“Aku pergi karena Ibu tiba-tiba jatuh sakit. Harus segera dibawa ke luar negeri untuk operasi,” lanjutnya. “Semua terjadi begitu cepat, Andin. Aku bahkan nggak sempat berpikir jernih. Aku... nggak sempat pamit.”

Aku mengangguk pelan. Bukan karena aku memakluminya, tetapi karena aku pernah menduga dan mendiamkan dugaan itu agar tidak menyakitkan. “Lalu kenapa nggak menghubungi setelahnya?” tanyaku, suaraku sedikit bergetar. “Kenapa membiarkan aku bertanya-tanya, setiap hari, setiap malam, selama dua tahun?”

“Aku takut… aku takut kamu masih menungguku... dan itu justru membuat aku merasa lebih bersalah. Karena aku nggak tahu kapan bisa kembali. Aku takut kalau aku bilang, kamu akan menahanku... dan aku nggak mau membuatmu menggantung di antara harapan dan ketidakpastian.”

Aku menarik napas panjang. Kata-katanya seperti peluru lambat yang menembus dinding emosiku satu demi satu. Ada pahit, ada lega. Ada marah yang masih tertinggal, tetapi juga ada sisa-sisa kasih yang tak tahu harus ke mana. “Kamu tahu, menunggu tanpa tahu harus menunggu siapa dan sampai kapan... itu lebih menyakitkan daripada ditinggal sepenuhnya.”

Ia terdiam. Matanya tertuju ke jalan basah yang mengilap, seakan mencari jawaban di antara pantulan lampu dan genangan. “Aku menulis surat, banyak. Tapi tak satu pun kukirim. Aku takut... kamu sudah membenciku.”

Aku menoleh, menatap wajah yang dulu begitu kucintai, kini tampak jauh. "Aku tidak membencimu, Adit," ucapku lirih, lebih kepada diriku sendiri. "Aku hanya... membenci caramu pergi. Tanpa kata, tanpa penjelasan. Seolah semua yang kita punya tak berarti apa-apa." Dadaku sesak, bukan karena marah—melainkan karena luka yang tak pernah benar-benar sembuh. "Kau pergi seakan aku mudah dilupakan, seakan cintaku tak layak untuk dipertahankan."

Hujan turun sedikit lebih deras. Udara dingin menampar lembut kulitku, tetapi anehnya, hatiku mulai terasa hangat—bukan karena pengakuannya, tetapi karena keberanianku mendengar dan membiarkannya selesai.

Adit menoleh padaku, matanya berkaca-kaca. “Kalau aku diberi satu kesempatan lagi...”

“Tak perlu,” potongku, lembut tetapi tegas. “Kita tidak bisa kembali ke waktu itu, Adit. Ada hal-hal yang memang sudah semestinya berakhir di titik tertentu. Dan itu tidak apa-apa.”

Beberapa menit berlalu. Kami hanya diam, membiarkan hujan bicara. Tak ada yang lebih perlu dijelaskan. Tak ada yang harus dipaksa kembali seperti dulu. Kadang, memahami adalah bentuk cinta yang lebih utuh daripada memiliki.

Akhirnya, aku berdiri. “Aku harus pulang.”

Adit ikut berdiri, ragu. “Boleh aku mengantar?”

Aku tersenyum kecil, menggeleng. “Tak perlu, biarkan kali ini aku berjalan sendiri.” Lalu aku melangkah. Meninggalkan halte, meninggalkan Adit, meninggalkan semua tanya yang pernah kutinggalkan dalam diam. Hujan masih turun, tetapi kali ini, bukan luka yang kubawa pulang. Melainkan kepastian, bahwa aku sudah memaafkan dan aku telah melepaskan.

Dan di antara rintik-rintik itu, langit masih membisikkan namanya. Tetapi kali ini, tidak lagi menyayat. Hanya seperti lagu lama—yang masih kuingat nadanya, tetapi tak perlu kuulangi liriknya.

Makassar, 27 Juni 2025

BIONARASI

Hj. Agustina, S.Pd., M.Pd.  Lahir di Lemoa, Kab. Gowa Sulawesi Selatan, 10 Agustus 1975. Pendidikan terakhir S2 di Universitas Muhammadiyah Makassar. Mengajar di MAN 2 Kota Makassar. Fasilitator Provinsi PKB Guru mapel Bahasa Indonesia 2021-2024 dan Penulis Modul PKB Guru 2023 pada Kementerian Agama. Antologi Cerita Mistis/Horor (2024), Novel Sepenggal Kisah Kehidupan (2024),  Pentigraf Kanvas Kata Penuh Warna (2024), Antologi Jejak Masa Riuh Kenangan (2025), Penulis Antologi Sumbangsih Pemikiran Para Penulis Indonesia Maju, dan aktif menulis Puisi dan Cerpen di Blog KGS.

Hujan turun perlahan, seolah langit sedang ragu untuk menangis. Dari balik jendela rumah tua peninggalan nenek, aku duduk membisu. Cangkir teh melati mengepul di genggamanku, menghangatkan telapak tangan tetapi tak juga menjangkau dingin yang bersarang di dada.

Namanya masih tinggal di sana, nama yang sudah terpahat dengan rapat di antara rintik-rintik yang jatuh tanpa suara. Adit. Dua tahun sudah aku mencoba melupakannya. Tetapi setiap kali langit menangis, memori itu kembali, menelusup lewat bau tanah basah dan bayangan payung biru yang dulu sering kami bagi berdua.

Kami berpisah di bawah hujan, di sebuah halte kecil dekat taman kota yang sering menjadi saksi bisu pertemuan kami. Hujan turun deras saat itu, membungkus tubuh kami dalam udara yang dingin, tetapi pelukannya tetap hangat seperti biasa. 

Matanya menatapku begitu dalam, seolah ingin menyampaikan lebih banyak daripada yang bisa diucapkan lewat kata. Lalu, dengan suara pelan yang hampir kalah oleh gemuruh hujan, ia berkata, “Tunggu aku, ya.” Aku mengangguk. Tidak bertanya kapan, tidak menuntut penjelasan. Seolah menunggu adalah hal paling mudah di dunia, padahal hatiku sudah mulai merasa kehilangan bahkan sebelum ia benar-benar pergi.

Namun, yang datang setelahnya bukan kabar, bukan kepastian, bukan tanda bahwa ia masih memikirkan janji yang sempat diucapkan. Yang datang hanyalah diam yang pekat, menyelinap ke dalam hari-hariku. Tak ada pesan, tak ada alasan, hanya kekosongan yang lambat laun berubah menjadi sepi abadi. Setiap malam, kesunyian itu mengetuk dengan halus, menyusup ke dalam mimpi, dan mengendap menjadi kristal yang tak sempat disuarakan. Hari demi hari, tanpa tahu kapan penantian ini berakhir, atau bahkan, untuk siapa sebenarnya aku masih menunggu.

Aku belajar berjalan sendiri. Menyibukkan diri dengan pekerjaan, membaca buku, dan merawat kebun kecil di belakang rumah. Orang-orang bilang aku kuat. Tetapi mereka tak tahu, kekuatan yang mereka lihat dibangun dari reruntuhan harapan yang kupendam sendiri.

Suatu sore yang mendung, ketika langit mulai berwarna kelabu dan angin mengusik dedaunan di halaman belakang, aku sibuk memindahkan pot mawar yang mulai meranggas. Tanahnya terlalu basah karena hujan semalam, dan batangnya mulai menghitam di bagian bawah. Aku menyentuh kelopaknya yang layu—lembut tetapi rapuh, seperti sesuatu yang dulu indah namun perlahan kehilangan daya hidup. Tiba-tiba, dari arah teras, suara ibu memecah kesunyian.

Ia berjalan pelan menghampiri, mengenakan sweater rajut yang sudah mulai melar di bagian lengan. Ia berhenti di sisi kiri, menatap bunga itu sejenak, lalu memandangku dengan sorot mata yang lembut tetapi tajam, seperti hendak menyibak sesuatu yang kusimpan rapat-rapat. Dengan suara setenang desir angin, ia bertanya, “Kamu masih menyimpan namanya, ya?”

Aku tak langsung menjawab. Hanya diam, membiarkan pertanyaannya menggantung di antara kami. Tanganku sibuk membersihkan sisa tanah dari pot, tetapi pikiranku berputar, mencari cara untuk merangkai kalimat yang tak bermakna pengingkaran, tetapi juga bukan pengakuan penuh. Aku menunduk pelan, menatap tanah yang lembab di bawah kakiku—tanah yang menyimpan air hujan semalam, seperti hatiku yang menyimpan sisa-sisa kenangan yang tak kunjung kering.

Dalam sunyi  aku berbicara, suara lirihku hampir tenggelam oleh desir angin dan gemericik air di selokan belakang. “Aku tidak menyimpannya, Bu,” kataku perlahan, tanpa menatap wajahnya. “Namanya tinggal di hujan.” Kalimat itu keluar lebih sebagai desahan daripada jawaban. Bukan karena aku ingin terdengar puitis, tetapi  kenyataannya memang demikian. Setiap kali langit mendung dan rintik mulai turun, namanya hadir tanpa diundang, mengetuk perlahan ingatan yang telah lama kutahan.

Ibu tersenyum, “Kalau begitu, mungkin kamu perlu menemuinya.” Ia berhenti sebentar, membiarkan kata-katanya meresap. “Bukan untuk kembali, bukan untuk membuka luka lama... tapi untuk membebaskan dirimu sendiri.” Tangannya menyentuh lenganku. Sebuah isyarat bahwa ia tahu: terkadang yang paling menyakitkan bukan kepergian, melainkan perasaan yang dibiarkan menggantung terlalu lama.

Kata-kata itu menancap begitu dalam. Esoknya, saat gerimis mengguyur kota, aku mengambil payung biru dari lemari tua dan melangkah menuju halte itu—tempat kenangan terakhir kami berlabuh, berharap dia hadir di tempat itu.

Tempat itu masih sama. Bangkunya dingin dan berkarat, dindingnya penuh coretan lama. Suara hujan di atap seng menciptakan irama yang  menenangkan. Aku duduk di sana, membiarkan waktu berjalan lambat. Tak menunggu siapa pun. Hanya ingin memastikan bahwa kenangan itu nyata.

Lalu, ada langkah terdengar. Pelan, nyaris tenggelam oleh suara hujan yang menimpa atap seng halte. Tetapi entah mengapa, langkah itu terasa berbeda—seolah dunia berhenti sejenak untuk memberi ruang pada sesuatu yang lama tertunda. Aku menoleh, perlahan, nyaris ragu, seolah takut harapan yang samar itu hanya permainan pikiranku sendiri.

Di ujung jalan, berdiri seorang pria. Jaket abu-abu yang membungkus tubuhnya tampak familiar. Tak salah lagi, itu jaket yang sama yang ia kenakan dua tahun lalu. Rambutnya kini sedikit lebih panjang, tergerai acak oleh angin dan hujan. Wajahnya juga berubah—ada garis lelah di bawah matanya, sedikit kerutan di dahi. Tetapi matanya... matanya masih sama. Mata yang dulu pernah kutatap begitu lama, begitu dalam. Mata yang kini kembali menatapku, membawa gelombang ingatan yang selama ini kusimpan rapat-rapat.

“Adit?” bisikku, nyaris tak terdengar di antara rintik hujan.

Namanya seketika bergaung dalam pikiranku, seperti gema yang membentur dinding hati yang belum sepenuhnya sembuh. Untuk beberapa detik, tubuhku terasa kaku, antara ingin berdiri atau tetap duduk, antara ingin lari atau menunggu. Hujan masih turun, gerimis halus membasahi ujung sepatu dan ujung jemari yang menggenggam pegangan bangku halte. Aku menahan napas, mencoba memastikan bahwa yang kulihat memang dia—bukan bayangan dari rasa rindu yang terlalu lama kupendam.

Ia melangkah perlahan, mendekat tanpa kata. Langkahnya berat, seolah keraguan juga membebani setiap gerakan. Aku hanya bisa menatapnya, mencoba membaca ulang wajah yang dulu begitu akrab. Ada sesuatu yang baru di sana—bukan hanya pada rambut yang lebih panjang atau guratan lelah di wajahnya, tetapi pada tatapan matanya. Tatapan yang tak lagi muda, tak lagi terburu-buru. Tatapan yang membawa penyesalan.

Adit berhenti beberapa langkah dariku. Ia tidak langsung duduk. Hanya berdiri di sana, diam, membiarkan hujan menyamarkan detik-detik canggung di antara kami. Lalu akhirnya ia duduk di sampingku, menjaga jarak, tidak menyentuh, tidak memaksa. Hanya duduk seperti seseorang yang tahu bahwa kedatangannya bisa saja terlalu awal, atau justru terlalu lambat.

Aku ingin berkata sesuatu, tetapi lidahku kelu. Semua pertanyaan yang selama ini bersarang di kepalaku mendadak kehilangan urutan. Aku hanya bisa menatap ke depan, ke jalanan yang basah dan lengang, sambil mencoba menenangkan degup jantungku yang tak biasa.

Dan di antara hening yang panjang itu, satu pertanyaan akhirnya keluar, nyaris hanya berupa bisikan.

“Kenapa kamu di sini?”

Suara itu keluar lebih lirih dari yang kukira. Mungkin karena aku takut mendengar jawabannya. Atau mungkin, karena bagian dari diriku masih belum siap mendengar alasan apa pun yang mungkin ia bawa setelah dua tahun diam.

Adit menunduk. “Aku... nggak tahu harus mulai dari mana,” katanya pelan, nyaris tak terdengar. “Aku juga nggak yakin kamu mau mendengarnya.”

Aku tetap menatap ke depan, membiarkannya bicara. Di dalam dada, ada benturan antara ingin tahu dan ingin selesai. Antara rindu dan luka.

“Aku pergi karena Ibu tiba-tiba jatuh sakit. Harus segera dibawa ke luar negeri untuk operasi,” lanjutnya. “Semua terjadi begitu cepat, Andin. Aku bahkan nggak sempat berpikir jernih. Aku... nggak sempat pamit.”

Aku mengangguk pelan. Bukan karena aku memakluminya, tetapi karena aku pernah menduga dan mendiamkan dugaan itu agar tidak menyakitkan. “Lalu kenapa nggak menghubungi setelahnya?” tanyaku, suaraku sedikit bergetar. “Kenapa membiarkan aku bertanya-tanya, setiap hari, setiap malam, selama dua tahun?”

“Aku takut… aku takut kamu masih menungguku... dan itu justru membuat aku merasa lebih bersalah. Karena aku nggak tahu kapan bisa kembali. Aku takut kalau aku bilang, kamu akan menahanku... dan aku nggak mau membuatmu menggantung di antara harapan dan ketidakpastian.”

Aku menarik napas panjang. Kata-katanya seperti peluru lambat yang menembus dinding emosiku satu demi satu. Ada pahit, ada lega. Ada marah yang masih tertinggal, tetapi juga ada sisa-sisa kasih yang tak tahu harus ke mana. “Kamu tahu, menunggu tanpa tahu harus menunggu siapa dan sampai kapan... itu lebih menyakitkan daripada ditinggal sepenuhnya.”

Ia terdiam. Matanya tertuju ke jalan basah yang mengilap, seakan mencari jawaban di antara pantulan lampu dan genangan. “Aku menulis surat, banyak. Tapi tak satu pun kukirim. Aku takut... kamu sudah membenciku.”

Aku menoleh, menatap wajah yang dulu begitu kucintai, kini tampak jauh. "Aku tidak membencimu, Adit," ucapku lirih, lebih kepada diriku sendiri. "Aku hanya... membenci caramu pergi. Tanpa kata, tanpa penjelasan. Seolah semua yang kita punya tak berarti apa-apa." Dadaku sesak, bukan karena marah—melainkan karena luka yang tak pernah benar-benar sembuh. "Kau pergi seakan aku mudah dilupakan, seakan cintaku tak layak untuk dipertahankan."

Hujan turun sedikit lebih deras. Udara dingin menampar lembut kulitku, tetapi anehnya, hatiku mulai terasa hangat—bukan karena pengakuannya, tetapi karena keberanianku mendengar dan membiarkannya selesai.

Adit menoleh padaku, matanya berkaca-kaca. “Kalau aku diberi satu kesempatan lagi...”

“Tak perlu,” potongku, lembut tetapi tegas. “Kita tidak bisa kembali ke waktu itu, Adit. Ada hal-hal yang memang sudah semestinya berakhir di titik tertentu. Dan itu tidak apa-apa.”

Beberapa menit berlalu. Kami hanya diam, membiarkan hujan bicara. Tak ada yang lebih perlu dijelaskan. Tak ada yang harus dipaksa kembali seperti dulu. Kadang, memahami adalah bentuk cinta yang lebih utuh daripada memiliki.

Akhirnya, aku berdiri. “Aku harus pulang.”

Adit ikut berdiri, ragu. “Boleh aku mengantar?”

Aku tersenyum kecil, menggeleng. “Tak perlu, biarkan kali ini aku berjalan sendiri.” Lalu aku melangkah. Meninggalkan halte, meninggalkan Adit, meninggalkan semua tanya yang pernah kutinggalkan dalam diam. Hujan masih turun, tetapi kali ini, bukan luka yang kubawa pulang. Melainkan kepastian, bahwa aku sudah memaafkan dan aku telah melepaskan.

Dan di antara rintik-rintik itu, langit masih membisikkan namanya. Tetapi kali ini, tidak lagi menyayat. Hanya seperti lagu lama—yang masih kuingat nadanya, tetapi tak perlu kuulangi liriknya.

Makassar, 27 Juni 2025

BIONARASI


Hj. Agustina, S.Pd., M.Pd.  Lahir di Lemoa, Kab. Gowa Sulawesi Selatan, 10 Agustus 1975. Pendidikan terakhir S2 di Universitas Muhammadiyah Makassar. Mengajar di MAN 2 Kota Makassar. Fasilitator Provinsi PKB Guru mapel Bahasa Indonesia 2021-2024 dan Penulis Modul PKB Guru 2023 pada Kementerian Agama. Antologi Cerita Mistis/Horor (2024), Novel Sepenggal Kisah Kehidupan (2024),  Pentigraf Kanvas Kata Penuh Warna (2024), Antologi Jejak Masa Riuh Kenangan (2025), Penulis Antologi Sumbangsih Pemikiran Para Penulis Indonesia Maju, dan aktif menulis Puisi dan Cerpen di Blog KGS.

Tiada ulasan:

RINTIK-RINTIK YANG MEMBISIKKAN NAMAMU

 Rintik-Rintik yang Membisikkan Namamu Agustina Rahman u. Hujan turun perlahan, seolah langit sedang ragu untuk menangis. Dari balik jendela...

Carian popular